Tuesday, August 12, 2008

Pembentukan Suaka Perikanan

Suaka perikanan didefinisikan sebagai suatu kawasan sub-tidal di perairan laut kabupaten (<4 mil laut) yang dilindungi secara permanen, dimana pengambilan sumberdaya ikan sama sekali dilarang. Suaka perikanan berfungsi sebagai tempat yang aman untuk mencari makan dan bertelur bagi beberapa biota laut, serta tempat persembunyian mereka dari gangguan manusia.Suaka perikanan sangat penting dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Di dalam suaka perikanan, kegiatan yang bersifat ekstraktif (eksploitasi) sama sekali tidak diperbolehkan. Sedangkan kegiatan yang non-esktraktif sangat dibatasi.

Suaka perikanan menyediakan tempat bertelur bagi ikan yang masak gonad, tempat tumbuh menjadi besar bagi larva dan anakan ikan (juvenile), atau tempat ikan bersembunyi dari penangkapan. Di Apo Island, Filipina, penutupan suatu kawasan dari kegiatan penangkapan telah meningkatkan populasi ikan di kawasan yang "ditutupi" tersebut. Bahkan, populasi ikan di sekitar kawasan yang tertutup tersebut juga ikut meningkat, karena ikan-ikan dari populasi yang telah padat di dalam suaka perikanan bermigrasi ke kawasan yang lebih sedikit populasinya, yaitu di kawasan penangkapan ikan. Hal ini menunjukkan bahwa suaka perikanan tidak hanya dapat mengekspor larva dan anak ikan, tetapi juga mengekspor ikan-ikan yang dewasa ke habitat di sekitarnya.
Contoh lain dari keberhasilan suaka perikanan dapat dilihat di Belize. Carter dan Sedberry (1997) melaporkan bahwa dua tahun setelah daerah Hol Chan ditutup sebagai suaka perikanan, keanekaragaman relatif dan keanekaragaman spesies ikan jauh lebih tinggi dari pada di daerah penangkapan di daerah Tres Cocos. Jenis ikan yang kelimpahannya meningkat termasuk kerapu dan kakap.

Di sebagian besar negara, kawasan pesisir dan laut dianggap sebagai milik umum (common property), yang berarti bahwa kawasan ini merupakan kawasan yang tidak boleh dimiliki oleh perorangan atau lembaga tertentu, melainkan semua warga masyarakat memiliki hak yang sama atas kawasan tersebut (Salm et al, 2000). Karenanya pengelolannya harus dilakukan secara bersama antara warga masyarakat dan pemerintah. Pengelolaan semacam inilah yang dikenal sebagai pengelolaan yang partisipatif atau pengelolaan kooperatif (Co-management).

Untuk memperoleh pengakuan masyarakat, maka semua proses yang berkaitan dengan penetapan lokasi, luasan, dan awig-awig kawasan tentang suaka perikanan yang disepakati dilakukan melalui taha pan-taha pan tertentu. Langkah-langkah tersebut dilakukan dengan memodifikasi langkah kerja yang dilakukan oleh Sondita et al, (2000); Crawford et al, (2000); IIRR, (1998) berikut ini.

a. Pengenalan Masyarakat
Suaka perikanan merupakan hal baru di Indonesia. Untuk itu kegiatan pengenalan masyarakat merupakan hal yang paling awal dilakukan. Selain melakukan pengenalan terhadap masyarakat, fasilitator juga melakukan pengamatan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Ini dimaksudkan agar para anggota tim (terutama para fasilitator) lebih memahami kondisi masyarakat yang akan menjadi mitra kerjanya nanti, walaupun secara umum.

b. Diskusi Kelompok Terfokus
Diskusi kelompok terfokus (focused group discussion, FGD) merupakan metode studi dengan mengumpulkan masyarakat dari berbagai elemen masyarakat. Kelompok masyarakt tersebut dapat terdiri dari nelayan, tokoh agama, tokoh masyarakat, pamswakarsa, pengusaha perikanan, pemerhati lingkungan, yang bergerak dalam bidang pengelolaan sumber daya perikanan, wanita nelayan, dan aparat desa. Dalam diskusi inilah didiskusikan berbagai substansi yang akan diatur dalam awig-awig.
Dalam diskusi inilah berbagai permasalahan yang berkaitan dengan kegiatan penataan suaka perikanan dibahas. Peranan masyarakat dalam pengelolaan suaka perikanan yang dibentuk ini nantinya akan sangat besar. Karenanya, sebelum menetapkan suatu lokasi sebagai kawasan suaka, fasilitator memberikan beberapa persyaratan yang hendaknya dipertimbangkan dan dibahas dalam diskusi. Persyaratan tersebut meliputi:
• lokasinya relatif dekat dengan pemukiman desa sehingga mudah diawasi,
• ukurannya masih sanggup ditangani oleh petugas atau masyarakat desa,
• kondisi ekosistem yang akan dilindungi masih bagus, ada kesepakatan
dan komitmen masyarakat,
• untuk terumbu karang daerahnya memiliki sedimentasi yang rendah dan
jauh dari sumber polusi.
Hal lain yang dibahas adalah batas-batas, dan aturan-aturan pengelolaan suaka perikanan. Penyusunan awig-awig ini merupakan salah satu rangkaian yang paling banyak menghabiskan waktu.

c. Sosialisasi
Sosialisasi memegang peranan yang sangat penting dalam penyusunan awig-awig. Rumusan substansi hasil rapat/diskusi yang diperoleh segera disosialisasikan agar diketahui oleh masyarakat. Hal ini penting dilakukan agar awig-awig yang dihasilkan mendapatkan pengakuan/validasi dari masyarakat.
Kegiatan sosialisasi dilakukan baik secara lisan maupun tulisan. Sosialisasi secara lisan diberikan melalui pertemuan-pertemuan di desa. Selain itu, untuk dapat menjangkau sasaran yang lebih luas, pemasangan poster-poster di berbagai tempat seperti papan-papan pengumuman yang telah disediakan dan tersebar di berbagai lokasi. Sosialisasi tertulis juga dilakukan di tempat-tempat strategis yang sering dijadikan tempat berkumpulnya masyarakat seperti Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI), tempat pelelangan ikan (TPI), mesjid, rumah Kepala Dusun, dan lain-lain.

d. Penetapan Melalui Rapat/Diskusi Paripurna
Langkah terakhir adalah dengan melakukan penetapan lokasi suaka perikanan dengan menandatangi ketetapan yang dituangkan dalam bentuk surat keputusan desa.

Disadur dari berbagai sumber.

No comments: