Wednesday, April 16, 2008

Peluang Investasi di Wilayah Segitiga Terumbu Karang


Potensi keanekaragaman hayati laut yang dimiliki bangsa Indonesia amat berlimpah, baik dalam dimensi ekologis, ekonomis maupun sosial. Indonesia juga dikenal sebagai pusat “The Coral Triangle“ di dunia yang memiliki keanekaragaman terumbu karang dengan variasi spesies ikan yang sangat tinggi beserta keragaman asosiasi biota laut lainnya. Potensi wilayah pesisir dan laut dengan keanekaragaman terumbu karang tinggi memiliki lebih dari 70 genera dan 500 jenis karang (lebih dari 75% jenis karang yang telah dikenali), menyimpan sebanyak 53% potensi terumbu karang dunia, lebih dari 3000 jenis spesies ikan serta merupakan kawasan mangrove terluas di dunia. The Coral Triangle yang meliputi enam negara yaitu Malaysia, Philipina, Timor Leste, Papua, Indonesia dan Solomon Islands, menjadikan posisi terumbu karang Indonesia sangat penting, karena disamping menjadi sumber penghidupan masyarakat Indonesia juga bagi dunia.

Sebagai pusat segitiga terumbu karang, potensi bahari Indonesia selain keindahan terumbu karang di bawah laut, terdapat juga keindahan panorama ekosistem pantai yang menarik sebagai tempat pariwisata. Potensi wisata bahari yang kita miliki merupakan peluang yang diharapkan dapat dimanfaatkan untuk membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara ini. Harapan ini adalah suatu tantangan bagi kita semua agar dapat kita temu kenali berbagai faktor yang mempengaruhinya.

Tantangan mendasar dalam rencana pengembangan potensi bahari di pusat segitiga karang dunia ini adalah “layakkah potensi bahari di kawasan ini dikembangkan dan dijual?” Memang, dalam upaya membangun dan mengembangkan potensi bahari di kawasan ini membutuhkan suatu pendekatan pemikiran pro bisnis yang berorientasi terhadap peluang pasar. Pemikiran ini memandang bahwa potensi bahari dipahami sebagai produk “barang dan jasa” yang dihasilkan.

Disisi lain, karakteristik kawasan pusat segitiga terumbu karang yang merupakan wilayah kepulauan, menjadikan permasalahan yang dihadapi menjadi semakin kompleks, dimana keterbatasan daya dukung lingkungannya mempunyai konsekwensi terhadap terbatasnya “skala ekonomi” dari kegiatan yang akan dikembangkan dan produk yang dihasilkan, dan sekaligus menjadi pembatas terhadap jenis-jenis kegiatan yang dapat dikembangkan. Faktor keterisolasian sangat mewarnai ciri dari wilayah kepulauan tersebut. Sebaliknya bila kita ingin melakukan pembangunan potensi bahari di wilayah kepulauan tersebut, pertimbangan kelestarian lingkungan menjadi salah satu faktor utamanya. Pengelolaan kawasan ini sangat berbeda perlakuannya dan nilai ditentukan oleh manfaat kawasan tersebut dalam menghasilkan nilai ekonomi.

Hal startegis yang perlu dipikirkan dalam upaya pengembangan potensi bahari di kawasan pusat segitiga terumbu karang ini adalah bagaimana dapat menghasilkan “barang & jasa” yang memiliki nilai tinggi. Pemikiran ini menjadi sangat penting karena ada dua pertimbangan, yakni: pertama, adalah kekuatan atau kemampuan serap pasar internal sangat terbatas, dan kedua adalah biaya transportasi dari dan ke wilayah pengembangan yang relatif sangat tinggi. Namun demikian upaya untuk merebut pasar nasional dan dunia kiranya menjadi sesuatu yang cukup menjanjikan bila ingin mewujudkan pembangunan sosial-ekonomi di kawasan ini.

Sebagaimana disampaikan di depan, pengembangan pariwisata kawasan pusat segitiga terumbu karang dunia sebagai pemanfaatan peluang investasi diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan. Wisata bahari dengan kesan penuh makna bukan semata-mata memperoleh hiburan dari berbagai suguhan atraksi dan suguhan alami bawah laut, dan ekosistem pesisir, tetapi juga diharapkan wisatawan dapat berpartisipasi langsung untuk mengembangkan konservasi terumbu karang sekaligus pemahaman yang mendalam tentang seluk beluk ekosistem terumbu karang sehingga membentuk kesadaran bagaimana harus bersikap untuk melestarikan terumbu karang dimasa kini dan masa yang akan datang.
Dalam mengembangkan wisata bahari perlu diperhatikan lima faktor batasan dalam penentuan prinsip utama wisata bahari, yaitu : Pertama, wisata bahari bertumpu pada lingkungan alam, budaya yang relatif belum tercemar atau terganggu; Kedua, wisata bahari harus memberikan manfaat ekologi, sosial dan ekonomi langsung kepada masyarakat; Ketiga, wisata bahari harus dapat meningkatkan pemahaman akan lingkungan alam dan budaya dengan adanya pengalaman yang dimiliki; Keempat, wisata bahari dapat memberikan sumbangan positif bagi keberlanjutan ekologi lingkungan baik jangka pendek maupun jangka panjang; dan Kelima, wisata bahari harus dikelola secara baik dan menjamin keberlanjutan lingkungan alam, budaya yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan sekarang maupun generasai mendatang.

Dalam mengembangkan potensi wisata ada tiga aspek utama yang harus diperhatikan dalam perencanaan tapak wisata baharinya yaitu : Pertama, Keterpaduan rencana dan desain; aspek ini mencakup profesionalisme dalam pengembangan kawasan pemilik, pengembang, bank, industri, partisipasi masyarakat dan sebagainya. Kedua, Kriteria desain yang digunakan mencakup kriteria fungsional, keterpaduan dengan perencanaan lainnya, pengalaman pengunjung, otentik, kepuasan, estetika; Ketiga, Sustainability dari tapak; aspek ini mencakup etika desain ekologi, tempat -tempat kultural, proteksi sumberdaya alam, peraturan pemerintah dan sebagainya.

Kita menyadari bahwa pengembangan wisata bahari di Indonesia masih banyak masalah yang dihadapi, seperti :
• Belum adanya perencanaan terpadu antar berbagai sektor;
• Belum tersedianya infrastruktur pelabuhan khusus untuk kapal pesiar;
• Belum adanya tour operator yang khusus menangani wisata kapal pesiar,
• Kurangnya promosi obyek wisata bahari, dan
• Prosedur birokrasi yang panjang untuk mendapatkan “Cruising Approval for Indonesian Territory – CAIT” (political clearance; security clearance; and sailing permit).

Berbagai upaya harus kita lakukan agar pengembangan potensi wisata bahari dapat menjadi salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi negara ini. Pemerintah, baik pusat maupun daerah harus mengambil posisi dalam pengambilan kebijakan yang menguntungkan, perencanaan yang terpadu, mempermudah birokrasi, penyediaan infrastruktur pendukung, dan membantu mempromosikan potensi wisata bahari. Pengusaha sebagai pelaku pemanfaat investasi, harus mampu memanfaatkan peluang investasi wisata bahari yang ada dan terpendam, melakukan promosi baik di dalam maupun luar negeri, dan membuka jaringan usaha wisata dengan berbagai pihak.

Upaya yang penting dilakukan juga harus dilakukan oleh masyarakat. Masyarakat harus ikut menjaga dan mengawasi lingkungan, meningkatkan kemampuan diri untuk tidak bergantung terhadap terumbu karang, dan menyiapkan diri apabila wisata bahari berkembang.

Thursday, April 10, 2008

Menyikapi Kemelut Perikanan

Kompas, Kamis, 10 April 2008 | 11:57 WIB

Sebagai negara maritim terbesar di Asia Tenggara dengan panjang pantai lebih dari 80.000 kilometer, Indonesia memiliki peluang besar menjadi negara produsen unggulan di bidang perikanan. Apalagi, perikanan merupakan urat nadi penghasilan bagi mayoritas penduduk di kawasan pesisir. Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) 2007, Indonesia menempati peringkat kelima dunia pada tahun 2004 sebagai produsen perikanan tangkap dan budidaya. Peringkat pertama adalah China, disusul Peru, Amerika Serikat, dan Cile.

Produksi perikanan tangkap Indonesia pada 2007 berkisar 4,94 juta ton dan perikanan budidaya sekitar 3,08 juta ton yang menyumbang produk domestik bruto sekitar 3 persen. Meski demikian, kiprah Indonesia masih tertinggal ketimbang negara tetangga dalam perdagangan internasional. Di Asia, Indonesia hanya menduduki peringkat keempat sebagai eksportir perikanan sesudah China, Thailand, dan Vietnam.

Ekspor perikanan Vietnam kini sudah menembus 3 miliar dollar AS, sedangkan nilai ekspor perikanan Indonesia selama 2007 hanya 2,3 miliar dollar AS dengan pasar ekspor terbesar adalah AS, Jepang, dan Uni Eropa (UE). Pemerintah menargetkan nilai ekspor perikanan mencapai 3 miliar dollar AS pada 2009.

Namun, belum lagi mencapai target ekspor itu, Indonesia dihadang persoalan serius dalam stok perikanan nasional. Stok perikanan pada 2007 berkisar 6,4 juta ton dengan pemanfaatan mencapai 5,8 juta ton (90,6 persen) atau melampaui batas pemanfaatan sebesar 80 persen dari total stok. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) memperkirakan, Indonesia memasuki krisis ikan pada 2015 jika ekosistem tak diselamatkan.

Persoalan ancaman stok perikanan itu ditengarai merupakan akumulasi dampak dari penangkapan ikan yang berlebihan (overfishing), maraknya penangkapan ikan secara ilegal, dan perusakan ekosistem laut. Penurunan produksi diperparah dengan gangguan iklim dan cuaca yang merusak sejumlah peralatan nelayan dan lahan budidaya perikanan akibat terjangan banjir dan gelombang laut.

Komitmen hukum

Persoalan perikanan ilegal sebenarnya sudah berulang kali dibicarakan dalam forum-forum internasional, yang ditindaklanjuti dengan proyek-proyek pelatihan pengelolaan perikanan di negara-negara Asia Tenggara dalam beberapa tahun terakhir. Namun, wujud komitmen beberapa negara Asia Tenggara dalam mengatasi perikanan ilegal belum efektif. Pengawasan perikanan tangkap dan penegakan hukum terhadap penangkapan ikan ilegal (illegal fishing) hingga kini belum optimal dan kalah cepat ketimbang laju kejahatan perikanan.

Dalam pertemuan ke-14 Pusat Pengembangan Perikanan Asia Tenggara (SEAFDEC) yang diikuti para pejabat negara ASEAN, di Bali, 7-10 April, disepakati perlunya tindakan konkret untuk menekan penangkapan ikan ilegal di tingkat regional. Tindakan itu berupa peningkatan pengawasan perikanan dan penegakan hukum terhadap penangkapan ikan ilegal oleh setiap negara. Selain itu, solusi meningkatkan produksi perikanan melalui pengembangan budidaya atau penangkaran. Sebab, volume perikanan tangkap di laut yang menurun tidak bisa diandalkan untuk memenuhi permintaan konsumen pada masa mendatang.

Dirjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan Made L Nurdjana, yang menjadi pimpinan forum ke-14 SEAFDEC, mengatakan, pengembangan perikanan budidaya diperlukan untuk memperkuat volume dan nilai produksi serta mengurangi pengerukan sumber daya laut. Beberapa komoditas perikanan budidaya Indonesia meliputi udang, rumput laut, nila, kerapu, bandeng, patin, lele, gurame, kakap, dan kepiting. Produk budidaya didominasi rumput laut, yaitu 1,62 juta ton (52,45 persen), dan udang (11,5 persen).

Permintaan terus naik

Permintaan pasar dunia untuk konsumsi ikan diprediksi terus menguat. Beberapa negara maju diperkirakan menjadi importir bersih produk perikanan pada 2030 dengan volume impor mencapai 21 juta ton. Pasar ekspor China juga dinilai potensial dengan konsumsi diprediksi naik dari 33 juta ton pada 1997 menjadi 53 juta ton pada 2020.

Persoalannya, perikanan budidaya kerap menghadapi kendala dalam perdagangan internasional. Persyaratan ketat dari negara importir terhadap proses produksi dan produk budidaya membuat produk Indonesia beberapa kali ditolak pasar karena dianggap belum memenuhi persyaratan kesehatan, di antaranya embargo produk perikanan oleh China serta produk udang di UE dan Jepang. Meski embargo akhirnya dicabut, penolakan produk perikanan itu menghambat kinerja ekspor.

Made mengemukakan, importir perikanan di sejumlah kawasan menerapkan sertifikasi dan standardisasi produk yang ketat guna menjamin kualitas, ketertelusuran, dan keamanan pangan produk budidaya. Standardisasi itu meliputi proses budidaya hingga mutu produk. Namun, standar yang ditetapkan terkadang tidak masuk akal bagi negara berkembang seperti Indonesia. Importir asal UE menetapkan persyaratan terketat di dunia dengan ambang batas antibiotik maksimal 1 miligram per ton (ppb). Di tingkat hulu, tambak harus terbebas dari burung, tikus, ayam, dan cacing. Padahal, di Indonesia terdapat 450.000 hektar tambak udang sehingga sulit menjaga agar organisme, seperti cacing, tidak masuk ke areal tambak.

Selain itu, importir asal UE kerap menerapkan standar ganda dalam mengimpor produk perikanan. Contohnya, ketentuan tarif bea masuk untuk eksportir asal Afrika ditetapkan nol persen, sedangkan produsen asal Asia Tenggara dikenai tarif masuk hingga 7 persen.

Deputi Dirjen Departemen Perikanan Thailand Wimol Jantrarotai, yang juga menjabat Alternate Council Director SEAFDEC untuk Thailand, mengatakan, peningkatan keamanan pangan dengan menghilangkan kandungan kimia, obat-obatan, dan residu produk tidak bisa ditawar lagi. Namun, persyaratan oleh importir juga diharapkan rasional dan mengacu pada standar dunia. Forum ke-14 SEAFDEC menyepakati perlunya meningkatkan posisi tawar negara-negara produsen di Asia Tenggara dalam perdagangan internasional, di antaranya melobi kepada negara importir bahwa proses produksi dan produk budidaya perikanan dari Asia Tenggara memenuhi standar kelayakan dan keamanan pangan meskipun tak memenuhi seluruh persyaratan yang dipatok importir.

Direktur Riset dan Kajian Strategis IPB Arif Satria menilai, persoalan perikanan budidaya tidak cukup diselesaikan melalui negosiasi dengan importir. Tak kalah pentingnya adalah mendorong usaha kecil perikanan budidaya guna meningkatkan kualitas dan mutu produk sesuai standar internasional serta diversifikasi pasar.

Menurut Arif, pemerintah hingga kini belum serius mendorong penyuluhan, pelatihan, dan penerapan teknologi kepada pelaku usaha budidaya guna meningkatkan mutu produk perikanan dan keamanan pangan. Kualitas tenaga penyuluh perikanan selama puluhan tahun juga tak optimal karena merangkap sebagai penyuluh pertanian. Padahal, pengembangan mutu dan nilai tambah budidaya perikanan membutuhkan pemahaman khusus tentang budidaya dan standar pasar internasional.

Sementara itu, sejumlah pembudidaya rumput laut di Nusa Penida, Bali, yang terpuruk akibat lahan mereka terempas gelombang laut awal 2008, mengeluhkan belum adanya inisiatif pemerintah untuk menolong petani. Selama ini, ratusan petani rumput laut di Bali mengembangkan budidaya secara tradisional dan turun-temurun. Akibatnya, pengetahuan soal cara budidaya yang baik dan berkualitas sering kali diwarnai ketidakpastian. (BM Lukita Grahadyarini/AYS/Kompas)

Rumput Laut di Kojadoi, Sikka



Desa Kojadoi merupakan sebuah desa pulau di Maumere yang posisinya terletak di Teluk Maumere. Beberapa tahun yang lalu, masyarakat di desa ini sebagian besar hidup dari mata pencaharian penangkapan ikan di laut. Namun, beberapa tahun ini, masyarakat sebanyak 90 persen beralih pekerjaannya menjadi pembudidaya rumput laut (seaweed). Produksi tinggi yang dihasilkan dari usaha budidaya ini tidak dibiarkan begitu oleh para pengusaha setempat, sehingga hasil produksinya sudah banyak diekspor.

Usaha berhasil yang telah dilakukan di desa ini bukan tidak begitu saja dicapai dengan mudah. Setelah kegiatan awal berhasil, pada tahun 1992 kegiatan usaha rumput laut ini hancur akibat gempa dan tsunami yang terjadi di perairan ini. Berkat adanya dukungan pemerintah khususnya melalui Program Coremap (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) yang dimulai pada tahun 1998, desa ini bangkit kembali pada tahun 2000. Dukungan pemerintah pusat dan daerah serta berbagai pihak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berusaha kembali membangun usaha budidaya rumput laut.

Dukungan melalui Program Coremap ini dilakukan melalui pembantuan bibit, permodalan dan pembinaan akhirnya dapat memberikan hasil bagi peningkatan pendapatan masyarakat setempat. Usaha budidaya rumput laut yang dilakukan oleh masyarakat di desa ini memberikan aktifitas nyata dalam rangka pelestarian terumbu karang, karena :
  • kegiatan terbatas pada budidaya rumput laut sehingga mengurangi kegiatan penangkapan ikan yang secara langsung maupun tidak langsung merusak terumbu karang
  • dengan adanya kegiatan budidaya rumput laut, secara langsung masyarakat menjaga perairan di sekitarnya dari kegiatan masyarakat lain yang merusak terumbu karang
  • kegiatan usaha dapat memberdayakan anggota keluarga yang lain, sehingga kegiatan usaha ini dapat terus dikembangkan dan memberikan peningkatan pendapatan
Pertanyaannya adalah, bagaimana kondisi perairan di bawahnya? dan apakah kegiatan usaha rumput laut ini dapat dikembangkan di wilayah Anda?

IMPLEMENTASI GOOD ENVIRONMENTAL GOVERNANCE

Oleh :

Arief. B. Purwanto
Achmad Rizal

Research Associate
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB Bogor,
ariefpur@indosat.net.id



ABSTRAK

Dengan jumlah pulau sekitar 17.508 dan garis pantai sepanjang 81.000 km, Indonesia juga dikenal sebagai negara mega-biodiversity dalam hal keanekaragaman genetik, spesies, dan ekosistem pesisir dan lautan. Dengan perkataan lain, dari sisi kemampuan memproduksi (supply capacity) barang dan jasa pesisir dan lautan, sesungguhnya Indonesia memiliki potensi pembangunan yang masih besar dan terbuka lebar untuk berbagai pilihan pembangunan.

Oleh karena itu, jika dikelola dengan tepat dan benar, sumberdaya pesisir dan lautan sesungguhnya dapat merupakan tumpuan dan sumber pertumbuhan baru bagi pembangunan ekonomi Indonesia secara berkelanjutan guna mewujudkan masyarakat yang maju dan mandiri serta adil dan makmur. Lebih dari itu, melalui sentuhan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) dan manajemen profesional serta Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal, sumberdaya pesisir dan lautan juga sebenarnya dapat didayagunakan untuk membantu bangsa Indonesia dari krisis eknomi dan moneter.

Pola pembangunan pesisir dan lautan dalam kurun PJP I cenderung bersifat ekstraktif, kepentingan ekonomi pusat lebih diutamakan daripada ekonomi masyarakat setempat (pesisir), dan penuh kesenjangan. Kecenderungan ini tercermin pada praktek pengaturan penyelenggaraan pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan yang jauh dari kebaikan (good governance), yang antara lain seharusnya bersifat partisipatif, transparan, dapat dipertanggungjawabkan (accountable), efektif dan efisien, pemerataan, dan mendukung supremasi hukum.

Perubahan tata aturan (governance) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan merupakan suatu keharusan. Untuk sampai kepada suatu good governance dalam sektor kelautan harus ada perubahan yang mendasar dalam beberapa hal meliputi : transparancy, accountability, equity, sustainability dan responsibility.



I. PENDAHULUAN
Sebagai negara kepulauan, tentunya Indonesia memiliki banyak wilayah pesisir sebagai bagian dari kedaulatan negaranya. Dalam hal ini, wilayah pesisir mempunyai potensi yang signifikan dalam kerangka pengelolaan sumberdaya nasional. Konsep wawasan nusantara menganggap seluruh wilayah baik darat, laut serta udara sebagai suatu kesatuan yang utuh, termasuk di dalamnya wilayah pesisir yang diantaranya menjadi wilayah perbatasan dengan negara lain. Tentunya hal ini menyangkut sistem pertahanan dan keamanan wilayah, terutama dalam hal pengelolaan sumberdaya, baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya buatan.

Wilayah pesisir yang termasuk kawasan lindung maupun budidaya, mempunyai potensi tersendiri dalam kerangka pengelolaan lingkungan guna kepentingan pembangunan. Pelajaran yang dapat ditarik berdasarkan pengalaman pemanfaatan wilayah pesisir selama ini, pemanfaatannya haruslah disesuaikan terlebih dulu dengan tata ruang wilayahnya, serta harus melibatkan masyarakat setempat sedini mungkin dan tidak diartikan pembangunan tersebut sebagai beban bagi masyarakat dan lingkungan.

Pola pembangunan pesisir dan lautan selama ini cenderung bersifat ekstraktif, kepentingan ekonomi pusat lebih diutamakan daripada ekonomi masyarakat lokal (pesisir), dan penuh kesenjangan. Kecenderungan ini tercermin pada praktek pengaturan penyelenggaraan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan yang jauh dari kebaikan (good governance), yang antara lain seharusnya bersifat partisipatif, transparan, dapat dipertanggungjawabkan (accountable), efektif dan efisien, pemerataan dan mendukung supremasi hukum, yang terjadi malah sebaliknya. Bukti hal itu tidaklah sulit untuk ditemukan, sebagai contoh kasus lihatlah reklamasi yang terjadi di beberapa kota yang berada di wilayah pesisir, seperti Jakarta, Manado, Semarang dan yang lainnya.

Kecenderungan pembangunan sumberdaya pesisir ke arah yang tidak berkelanjutan (unsustainable development), sebagaimana tercermin di atas, pada dasarnya disebabkan karena paradigma dan praktek pembangunan yang selama ini diterapkan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance).

Sesungguhnya istilah penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) yang bercirikan pemerintah yang bersih (clean government) atau bebas dari praktek KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) serta responsif dan inovatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, di masa Orde Baru sudah dikenal dan telah menjadi wacana. Namun, ia tidak dapat dipraktekkan karena sistem politik rezim Orde Baru bercorak otoriter dan sentralistik, sementara penerapan good governance, tidak mungkin tidak, harus didukung oleh sistem politik yang demokratis.

Kinerja pemerintahan dalam sistem politik otoriter cenderung tidak efisien dan penuh dengan penyelewengan. Prinsip-prinsip prosedural birokratis yang memang harus ada dalam penyelenggaraan organisasi pemerintahan, yang merupakan mekanisme administratif untuk melayani dan mengelola berbagai kepentingan publik, malah lebih diperumit lagi, bukannya dideregulasi untuk memperluas pilihan kesempatan bagi warga masyarakat dalam melaksanakan berbagai aktivitas sosial-budaya dan ekonomi.

Satu hal yang lebih memprihatinkan adalah, bahwa kecenderungan (trend) kerusakan lingkungan pesisir dan lautan di era reformasi ini pada umumnya justru semakin memburuk. Hal ini terutama disebabkan kebutuhan mendesak di kalangan masyarakat maupun pemerintah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin mahal karena depresiasi nilai rupiah terhadap mata uang asing (khususnya dolar Amerika Serikat) yang sangat drastis, keharusan untuk menampung tenaga kerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan upaya untuk meningkatkan perolehan devisa.



II. KONSEP

Williamson (1994) mengungkapkan bahwa governance merupakan sistem yang diimplementasikan akibat adanya kontrak hubungan antara setiap pihak (stakeholders) dalam hubungan kelembagaannya. Sementara hubungan kelembagaan yang dimaksud adalah hubungan organisasional yang memiliki insentif struktural dan interaksi publik di dalamnya. Dalam substansi yang lebih kurang sama United Nations Development Programme (UNDP, 1997) mendefinisikan governance sebagai pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa. Governance dikatakan baik (good atau sound) apabila pengelolaan sumberdaya alam dan masalah-masalah publik dilakukan secara efektif, efisien yang merupakan respons terhadap kebutuhan masyarakat. Tentu saja pengelolaan yang efektif, efisien dan responsif terhadap kebutuhan rakyat menuntut iklim demokrasi dalam pemerintahan. Untuk itu, pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan dan pengelolaan masalah-masalah publik mesti didasarkan pada keterlibatan masyarakat, akuntabilitas, serta transparan. Dengan begitu, good governance merupakan tuntutan imperatif, yang harus dilaksanakan.

Di dalam praktek good governance dalam konteks pemanfaatan wilayah pesisir dan lautan guna pembangunan ekonomi, pemerintah perlu mengurangi keterlibatannya dalam wilayah-wilayah di mana pasar bekerja atau dapat dijadikan bekerja dengan cukup baik. Pemerintah perlu membiarkan kompetisi di antara para pelaku ekonomi domestik dan internasional merebak.

Namun pada saat yang bersamaan, pemerintah perlu lebih banyak berbuat di wilayah-wilayah di mana pasar tak dapat diandalkan atau banyak mengalami distorsi. Dan untuk mengatasi tugas-tugas tersebut pemerintah harus menanamkan investasi langsung pada peningkatan kemampuan sumberdaya manusia, membangun infrastruktur sosial dan fisik bagi kegiatan publik, serta melindungi lingkungan hidup. Tetapi untuk bisa melaksanakan semua itu mensyaratkan dilakukannya penguatan pada lembaga-lembaga politik, sosial, dan ekonomi masyarakat serta kebijakan yang lebih efisien dan efektif bagi redistribusi dan pertumbuhan ekonomi.

Secara lebih rinci Anthony Giddens (1999) menguraikan apa saja yang menjadi tugas pemerintahan dalam kerangka good governance ini: menyediakan sarana untuk perwakilan kepentingan masyarakat yang beragam; menawarkan sebuah forum untuk rekonsiliasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing; menciptakan dan melindungi ruang publik yang terbuka, di mana debat bebas mengenai isu-isu kebijakan bisa dilanjutkan; menyediakan beragam hal untuk memenuhi kebutuhan warga negara, termasuk bentuk-bentuk keamanan dan kesejahteraan kolektif; mengatur pasar menurut kepentingan publik, dan menjaga persaingan pasar ketika monopoli mengancam; menjaga keamanan sosial melalui kontrol sarana kekerasan dan melalui penetapan kebijakan; mendukung perkembangan sumber daya manusia melalui sistem pendidikan; menopang sistem hukum yang efektif, yang menjamin perselisihan ditangani secara adil, tanpa bias ke arah negara atau kepada kepentingan swasta besar.

III. OTORITARIANISME BIROKRASI

Pemerintah Orde Baru boleh dikatakan "anti" terhadap lembaga-lembaga politik, ekonomi, ataupun sosial masyarakat yang mencoba mempersoalkan cara kerja atau kebijaksanaan yang dibuatnya. Bila ada lembaga masyarakat yang sedikit kritis, ia akan dituduh bertindak subversif. Dan, hampir tidak ada kekuatan kelompok sosial-ekonomi atau sosial-politik formal maupun informal yang bisa mengawasi pemerintah. Peran pemerintah telah terlepas dari kontrol (untouchable) institusi-institusi di luar dirinya.

Itulah sistem politik kenegaraan yang bercorak otoritarianisme-birokratik (OB) (bureaucratic-authoritarianism), yaitu suatu bentuk negara otoriter yang kuat dan terpadu, dengan posisi lembaga eksekutif yang sangat dominan dan determinan, dan mampu mensubordinasikan kelompok-kelompok politik, sosial, dan ekonomi masyarakat.

Dalam sistem OB keterlibatan negara tidak sekadar dalam politik formal, tetapi masuk sampai ke dalam aktivitas ekonomi, sosial, dan kultural masyarakat sehari-hari dan secara geografis menyebar sampai jauh ke pelosok, dan secara sosiologis masuk ke dalam aspek kehidupan yang paling kecil seperti rumah tangga dan individu.

Tindakan negara OB kerap kali menggunakan kekuatan represif yang ditujukan untuk meredam partisipasi masyarakat. Di bidang administrasi, negara sangat tergantung pada struktur birorkasi yang rumit yang fungsi sebenarnya adalah untuk mengontrol prilaku-prilaku atau kegiatan-kegiatan masyarakat.

Memang dalam negara OB ini secara formal terlihat ada lembaga-lembaga yang mewakili masyarakat, baik dalam bentuk partai politik, organisasi sosial, ekonomi, dan kultural. Tetapi, institusi-institusi kemasyarakatan itu bersifat korporatis, yaitu suatu sistem perwakilan kepentingan di mana unit-unit yang membentuknya diatur dalam organisasi-organisasi yang jumlahnya dibatasi serta bersifat tunggal atau seragam; tidak diperbolehkan untuk saling berkompetisi, dan diatur secara hirarkis; yang diakui dan diberi izin (kalau tidak diciptakan sendiri oleh negara) serta diberi hak monopoli untuk merepresentasikan kepentingan dalam bidangnya masing-masing sebagai imbalan atas kesediaan memenuhi pengendalian-pengendalian tertentu.

Di samping itu, pimpinan institusi tersebut harus melalui penyaringan yang ketat dari aparat negara. Semua cara pengendalian itu diarahkan supaya tidak terjadi pertentangan antar kelas atau kelompok kepentingan serta terciptanya keselarasan, kesetiakawanan, dan kerja sama dalam hubungan antara negara dan masyarakat.

Karena negara Orde Baru merupakan rezim otoriterisme birokratis, dengan sendirinya good governance tidak bisa diimplementasikan. Sistem otoritarianisme birokratik dengan good governance bertentangan satu sama lain, bukan pasangannya. Yang menjadi pasangan dari sistem otoritarianisme birokratis adalah penyelenggaraan pemerintahan yang birokratis, tidak efisien, penyimpangan dalam penggunaan dana-dana pembangunan, pengambilan keputusan yang tertutup dan sentralistik, serta melakukan pembungkaman terhadap kelompok-kelompok masyarakat.


IV. PELUANG YANG TERBUKA

Reformasi yang mulai bergulir sejak tiga tahun lalu, yang dimotori golongan mahasiswa yang kemudian didukung pula oleh kelompok-kelompok sipil masyarakat, dalam batas-batas tertentu, telah dapat menumbangkan rezim Orde baru. Sedikit banyak kini sistem otoritarianisme birokratis memudar dan kekuasaan mulai menyebar pada berbagai lembaga-lembaga politik formal negara di luar institusi pemerintah. Lembaga legislatif, apakah itu di pusat maupun di daerah, juga tidak lagi sepenuhnya terkooptasi dan tersubordinasikan, perannya sebagai pengawas tindakan dan kinerja lembaga eksekutif sedikit banyak telah dapat kembali dipegang.

Demikian pula dengan peran LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), asosiasi-asosiasi profesi, media, dan kelompok-kelompok keagamaan dan sosial-budaya lainnya yang merupakan representasi dari kelompok-kelompok sipil masyarakat, posisi dan peran mereka menjadi signifikan. Sekarang ini institusi-institusi masyarakat sipil telah kembali memiliki suara dan membangun kekuatan penekan (pressure group) agar pemerintah dalam menelorkan kebijaksanaannya berorientasi pada kepentingan publik yang luas.

Premis ilmu sosiologi menyebutkan, bahwa setiap institusi akan mengalami kesukaran untuk bisa memperbaiki citra dan kinerjanya bila tidak memperoleh "bantuan" dan sekaligus "pengawasan" dari institusi di luar dirinya. Konsep good governance dilandasi oleh premis ilmu sosiologi ini, bahkan menjadikannya prasyarat untuk implementasinya.

Harus diakui, penerapan good governance tidak akan sekali jadi seperti membalikkan telapak tangan. Di sini masalahnya adalah menyangkut pengalaman, bahwa lembaga pemerintahan sekarang ini belum memiliki banyak pengalaman dalam melaksanakan konsep good governance. Oleh karenanya dalam konteks implementasi good governance itulah, sejalan dengan premis ilmu sosiologi, pertama, khususnya dalam hubungan dengan belum dimilikinya pengalaman yang memadai, kelompok-kelompok sipil masyarakat harus "membantu" dengan sungguh-sungguh proses pembelajaran lembaga pemerintah dalam upaya menerapkan konsep good governance.

Dan kedua, di samping memberikan dukungan dan konsultasi, juga kelompok-kelompok sipil masyarakat harus berperan sebagai penekan agar pemerintah memiliki kemauan politik untuk menerapkan good governance dan sekaligus menjadi pengontrol dari praktek good governance tersebut.



V. PERGESERAN PARADIGMA

Untuk urusan pengelolaan wilayah pesisir, pendapat kalangan yang mengatakan problemnya hanyalah pada kekurangan dana dan peraturan sungguh suatu penyederhanaan yang luar biasa, terlepas sebaik apa pun iktikadnya. Karena pengalaman selama ini mengajarkan bahwa peraturan dan dana yang dikeluarkan akan sia-sia belaka tanpa melibatkan stakeholders. Tampaknya belum disadari bahwa semua kebijakan (pemerintah) adalah eksperimen yang tidak terlepas dari peluang kegagalan (Ostrom, 1999).

Langkah yang diambil pemerintah tadi hanya mengulang sebuah pola lama. Pemerintah merasa memiliki otoritas untuk menentukan solusi bagi persoalan wilayah pesisir dan lautan. Pada dasarnya persoalan wilayah pesisir dan lautan bukan urusan teknis belaka, sehingga hanya menempatkan masyarakat sebagai instrumen. Padahal masyarakat adalah pelaku. Sungguh tepat apa yang ditulis oleh Nigel Cross (2001): ''If sustainable development is to be realised it has to be built on the consent and support of those whose lives are affected''. Masyarakat yang kena-mengena dengan persoalan wilayah pesisir dan lautan, tidak dapat ditinggal begitu saja dalam pengambilan keputusan.

Aksi ''solo'' pemerintah itu menunjukkan kebutuhan akan pemahaman yang lebih utuh terhadap persoalan wilayah pesisir dan lautan. Seringkali solusi persoalan wilayah pesisir dan lautan jauh lebih mudah diidentifikasi daripada menguak akar masalahnya. Dalam konteks yang lebih kurang sama, dua puluh tahun lalu, aktivis lingkungan Barbara Ward (1982), telah menegaskan ''For an increasing number of environmental issues the difficulty is not to identify the remedy, because the remedy is now well understood. The problems are rooted in the society and the economy - and in the end in the political structure ''.

Kegagalan penanganan masalah pesisir dan lautan selama ini, membuka ruang untuk koreksi - dari pendekatan yang mengandalkan pengaturan dan pengawasan ke arah pendekatan yang lebih mengandalkan inisiatif otonom perorangan atau lembaga.

Sudah saatnya, penanganan masalah pesisir dan lautan didekati dengan paradigma governance sebagai sebuah paradigma sosial baru - yang oleh Fridjof Capra (1986) didefinisikan sebagai himpunan konsep, nilai, persepsi dan tindakan yang diterima oleh masyarakat, yang membentuk cara pandang terhadap realitas dan kesadaran kolektif sebagai dasar masyarakat menata dirinya sendiri. Salah satu unsur yang paling dibutuhkan dalam pengelolaan pesisir dan lautan saat ini adalah akuntabilitas.

Pergeseran paradigma di atas menjawab tuntutan perubahan sasaran dari sekedar pemerintahan yang efisien dan kompeten ke pemerintahan yang accountable bagi warga negara dan masyarakat. Kata governance tidak hanya mencakup lembaga politik dan administratif dalam pemerintahan, tetapi juga mencakup hubungan antara pemerintah dan masyarakat. Sebagai konsekuensinya, pemerintah dituntut untuk bekerja sama dengan semua stakeholders pihak-pihak yang merasakan manfaat dan menanggung dampak kerusakan pesisir dan lautan - yaitu masyarakat. Dengan proses identifikasi yang hati-hati, kepentingan stakeholders dapat diwakili oleh kelompok swadaya masyarakat (KSM) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), kalangan bisnis dan industri, perguruan tinggi, media serta instansi pemerintah.



VI. PERUBAHAN KE ARAH GOOD ENVIRONMENTAL GOVERNANCE

Ketidakteraturan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yang kini berlangsung dan telah terbukti berkontribusi atas sejumlah kerusakan lingkungan, pada intinya disebabkan oleh ketiadaan detail tata ruang yang dapat dijadikan sebagai rujukan pengembangan oleh semua pihak yang berkepentingan. Akibatnya, terjadilah konflik penggunaan yang sangat kontraproduktif terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan.

Penataan ruang secara detail sesuai dengan peruntukannya, juga sangat diperlukan dalam pengembangan budi daya laut sebagai alternatif atas usaha perikanan tangkap yang selama ini dianggap bersifat ekstraktif dan eksploitatif. Ketiadaan tata ruang secara detail dalam pengembangan teknologi budidaya laut, khususnya udang, yang saat ini sangat membantu dalam perolehan devisa negara telah berdampak negatif berupa, di antaranya, terjadinya konversi besar-besaran kawasan mangrove menjadi kawasan budidaya. Akibatnya, keuntungan yang didapatkan dari usaha tersebut tak sebanding dengan kerugian berupa hilangnya segenap fungsi ekosistem yang sangat bernilai. Terjadinya abrasi laut, erosi pantai, perubahan iklim lokal dan hilangnya sejumlah biota potensial yang saat ini terjadi di banyak kawasan di Indonesia sebagai buah dari tidak tertata dan terencananya pengelolaan kawasan pesisir merupakan kerugian yang mestinya tidak perlu terjadi.

Karena itu, agar kerugian serupa tidak terulang, penataan ruang secara detail sesuai dengan peruntukannya berdasarkan atas pertimbangan aspek sosial, ekonomi dan ekologi mutlak diperlukan. Untuk itu, beberapa hal di bawah ini perlu dilakukan oleh semua stakeholder pesisir dan lautan khususnya pemerintah:

Pertama, Rehabilitasi kawasan-kawasan pesisir dan lautan yang telah mengalami kerusakan, baik karena pencemaran, sedimentasi, overeksploitasi sumberdaya, maupun perusakan habitat secara fisik.

Kedua, Internalisasi biaya eksternalitas ke dalam setiap kegiatan pembangunan. Sebagaimana dimaklumi, bahwa beberapa kegiatan pembangunan mengeluarkan “eksternalitas” (externality). Artinya, kegiatan pembangunan selain menghasilkan manfaat sesuai dengan yang diharapkan juga menimbulkan dampak negatif yang harus ditanggung oleh pihak lain yang umumnya tidak turut menikmati manfaat pembangunan dimaksud. Kasus kematian udang di Pantura Jawa, ikan sapu-sapu akibat pencemaran limbah industri di Lampung beberapa waktu lalu, merupakan biaya eksternalitas yang harus ditanggung oleh para petani tambak/ikan. Padahal, para petani ikan umumnya tidak mendapatkan manfaat apapun dari industri yang menghasilkan limbah tersebut. Adanya kasus biaya eksternalitas ini telah menimbulkan permasalahan penting di wilayah pesisir dan lautan yang perlu mendapatkan perhatian. Selama ini, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, laut telah menjadi tempat pembuangan limbah oleh sejumlah industri. Adanya limbah ini telah berdampak negatif yaitu turunnya kualitas lingkungan laut yang berimplikasi terhadap penurunan jumlah hasil tangkapan ikan dan berkurangnya turis yang berminat menikmati kebeningan dan kesejukan alam. Kondisi ini bila tidak dilakukan upaya pembenahan, akan semakin memperburuk kualitas lingkungan laut karena tidak adanya beban yang harus ditanggung oleh penghasil limbah.

Untuk itu, maka perhitungan setiap nilai kerusakan oleh kegiatan pembanguan perlu dilakukan kemudian diinternalisasikan sebagai komponen biaya produksi bagi pihak-pihak yang menimbulkan eksternalitas. Dengan demikian, akan timbul rasa tanggung jawab pelaksana pembangunan atas setiap kerusakan lingkungan yang dihasilkan. Dalam pada itu, agar proses internalisasi ini dapat terlaksana dengan baik perlu kiranya dibuat suatu sistem perundang-undangan yang dapat mendukung konsep tersebut.

Ketiga, Penerapan Retribusi atas Setiap Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dan lautan. Laut sebagai sumberdaya milik bersama sering diartikan sebagai barang gratis (free goods) yang setiap orang boleh mengeksplotasi sekehendak hatinya. Konsekuensinya, laut menjadi tempat penampungan sampah dan sumberdaya yang paling layak untuk eksploitasi. Pengertian yang demikian tentu salah karena berpotensi terjadinya eksplotasi yang tak terkendali. Apabila eksploitasi ini melewati ambang batas pembaharuan dirinya, maka akan terjadi penipisan stok, seperti misalnya dilakukan pada perikanan tangkap. Demikian juga, bila limbah yang dibuang ke laut melebihi daya purifikasinya, kemampuan laut untuk menyerap limbah akan berkurang, dan terjadilah pencemaran laut.

Untuk membatasi eksploitasi yang berlebihan sudah saatnya dilakukan pembatasan dengan menggunakan instrumen ekonomi, yaitu penerapan sistem pajak atau retribusi atas setiap pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan. Bahkan, di sejumlah negara maju, dalam membatasi tangkapan ikan selain retribusi juga diterapkan sistem kuota. Apabila angka kuota tersebut terlewati, pengusaha akan mendapatkan sanksi yang sangat berat.

Penerapan sistem retribusi dalam pemanfaatan sumberdaya laut, sebenarnya telah diterapkan di beberapa daerah di Indonesia berupa retribusi yang dikenakan pada nelayan setiap kali melaut. Demikian juga, retibusi yang dikenakan kepada setiap turis agar dapat menikmati objek wisata pantai dan bahari. Hal yang menjadi persoalan adalah besarnya retribusi tersebut apa telah sesuai dengan jasa lingkungan yang dimanfaatkan atau belum dan bagaimana dengan pengelolaan dananya. Untuk itu, perlu dibentuk lembaga khusus yang menangani masalah ini. Adanya lembaga ini diharapkan dana yang terkumpul akan dapat dimanfaatkan sebagai dana pembinaan dan pengelolaan sumberdaya yang dimanfaatkan. Dengan demikian, kasus penyalahgunaan dana reboisasi di sektor kehutanan tidak akan terulang.

Selain penggunaan instrumen ekonomi, pembatasan eksploitasi sumberdaya laut juga dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen hukum. Artinya, perlu kiranya diterbitkan produk hukum yang jelas dengan sanksi yang tegas, serta dibarengi dengan pengawasan yang ketat oleh aparat penegak hukum dan masyarakat. Agar pengawasan ini berjalan baik perlu juga diberlakukan sistem insentif, penambahan anggaran, perbaikan fasilitas, peningkatan kualitas personal, sehingga kekurangan yang ada saat ini dapat dieliminasi.

Keempat, Laut sebagai Milik Rakyat yang Harus dikelola secara Co-Management. Bumi, air dan segala yang terkandung didalamnya merupakan kekayaan milik negara yang harus dikelola untuk kemakmuran rakyat sebagai mana tercantum dalam pasal 33 UUD 1945, adalah salah satu pasal yang paling kontroversial dan sering dituduh sebagai alat penguasaan negara atas sumberdaya alam. Bukan karena penguasannya yang sering dipersoalkan tapi pengelolaan kekayaan tersebut yang dirasakan sangat tidak adil. Tidak berlebihan, apabila pasal tersebut yang paling banyak digugat di era reformasi ini. Kerena kalimat untuk kemakmuran rakyat yang tercantum pada pasal tersebut pada kenyataannya hanya merupakan suatu retorika belaka yang dalam implementasinya tidak ada.

Pengklaiman bahwa laut merupakan kekayaan milik negara sebenarnya kurang sejalan dengan hukum kepemilikan, dimana sumberdaya alam pada umumnya merupakan kekayaan milik bersama. Artinya, rakyat yang mempunyai akses langsung terhadap kekayaan tersebut memiliki hak atas pengelolaan, pemanfaatan dan pemeliharaannya. Lebih tegas lagi, rakyat yang ada di daerah, dalam hal ini adalah masyarakat lokal yang paling berhak atas manfaat sumberdaya alam tersebut.

Selama ini pengelolaan sumberdaya alam yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan dari mulai perencanaan, sampai pada tahap evaluasi dilakukan oleh pemerintah pusat (top down), tanpa melibatkan masyarakat lokal sedikitpun. Sehingga masyarakat lokal yang notabene mempunyai hak atas sumberdaya alam tersebut tidak bisa menikmatinya atau bahkan mendapatkan akibat dari pengelolaan yang tidak berkelanjutan. Oleh karena itu, saat ini dan di masa mendatang pemerintah harus memberikan sebagian kewenangannya dan mempercayakan kepada masyarakat setempat dalam pengelolaan sumberdaya alam tersebut. Pemerintah harus menyertakan masyarakat sebagai mitra, sekaligus juga mendengarkan keinginan dan nuraninya dalam setiap pengambilan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam termaksud. Inilah merupakan pendekatan kebijakan yang memadukan antara keinginan pemerintah pusat (top down) dan suara dari bawah atau masyarakat (bottom up).

Kelima, Reorientasi laut sebagai milik negara ke milik rakyat juga harus direalisasikan dalam bentuk desentralisasi kewenangan pengelolaan (sesuai dengan UU No. 22/1999). Dalam aspek politik international dan pertahanan keamanan, wewenang pemerintah pusat sesuai dengan yurisdiksinya harus tetap dipertahankan. Artinya, pengertian desentralisasi hanya sebatas pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung didalamnya agar dapat lebih bermanfaat bagi kebanyakan masyarakat.

Keenam, Wilayah pesisir dan lautan harus dianggap sebagai bagian dari ekosistem global. Selama ini, ada suatu pemikiran yang keliru dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan, yaitu anggapan pesisir dan lautan sebagai komponen yang terpisah dan bebas dari komponen lain dalam suatu ekosistem global. Anggapan seperti ini jelas merupakan kesalahan karena akan berakibat sangat membahayakan kelestarian ekosistem pesisir dan lautan bagi kesinambungan pengelolaannya. Karena anggapan pesisir dan lautan sebagai komponen yang berdiri sendiri akan memposisikannya sebagai sumberdaya ekonomi yang dapat dieksploitasi untuk menghasilkan uang secara semena-mena. Untuk menjamin sumberdaya pesisir dan lautan sebagai sumberdaya yang memberikan manfaat berkesinambungan, anggapan yang salah tersebut harus segera diluruskan, dengan menyadari bahwa sumberdaya pesisir dan lautan merupakan salah satu komponen yang tak terpisahkan dari ekosistem dunia (global).

Perubahan tata aturan (governance) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan merupakan suatu keharusan. Untuk sampai kepada suatu good governance dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan harus ada perubahan yang mendasar dalam beberapa hal, yaitu:

Pertama, Kriteria Keberhasilan Pembangunan. Agar pelaksanaan pembangunan pesisir dan lautan untuk mewujudkan pembangunan nasional secara berkelanjutan dapat berjalan, diperlukan reorientasi kebijakan pembangunan yang lebih mengindahkan pertimbangan lingkungan. Salah satu yang mendesak adalah perlunya memodifikasi kriteria daya dukung lingkungan bagi keberhasilan pembangunan dari suatu unit wilayah administrasi (propinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa) atau sektor pembangunan. Selama ini kriteria keberhasilan pembangunan suatu wilayah masih berdasarkan pada pertumbuhan ekonominya, sedangkan kriteria berdasarkan lingkungan mempunyai porsi penilaian sangat kecil.

Kedua, Perubahan peraturan dan perundang-undangan yang lebih memihak kepada kepentingan rakyat kebanyakan daripada hanya melindungi kepentingan segelintir orang/pengusaha.

Ketiga, Perlu UU pemerintahan daerah yang memberikan kewenangan lebih besar kepada daerah dalam hal pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, dan memberikan perimbangan keuangan yang adil. Direvisinya UU otonomi daerah memberikan pelajaran bahwa masing-masing daerah harus segera membuat suatu rencana tata ruang untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan, sesuai dengan kewenangan yang dimiliki; peraturan tentang pemanfaatan sumberdaya hayati secara optimal dan lestari; dan peraturan mengenai pengendalian pencemaran serta pengendalian perusakan fisik habitat pesisir dan lautan.

Keempat, pemerintah harus memiliki keberanian politik melakukan dan membuat berbagai kebijakan secara transparan, adil, efisien dan bertanggung jawab. Komponen bangsa lainnya, yaitu masyarakat, swasta dan pihak-pihak yang berkepentingan juga harus berperan aktif dan terlibat dalam segenap proses kebijakan yang dilindungi oleh UU. Hukum sebagai institusi tertinggi harus benar-benar ditegakan dan semua pihak harus tunduk dan berada di bawah hukum tersebut.



VII. PENUTUP

Pergeseran dan perubahan yang mesti dilakukan menuntut perubahan pola pikir dari ''mendukung pemerintah'' ke ''memperbaiki kepemerintahan''. Keberhasilan pemerintah tidak sekadar ditentukan berdasarkan keberhasilan menjalankan kebijakannya sendiri, melainkan juga kemampuannya dalam mendorong usaha-usaha LSM, dunia usaha, dan kelompok masyarakat lain.

Perubahan pola kerja itu mensyaratkan cara kerja baru yang efektif dan tidak bertumpu pada pemerintah saja. Pergeseran paradigma sosial dari government ke governance menuntut bentuk baru pengambilan keputusan dan definisi baru untuk tanggung jawab dan kemitraan. Sikap positif dalam interaksi sangat dituntut, tidak diwarnai syak wasangka (prejudice). Kreativitas lebih dituntut daripada pendekatan rutin.

Pengetahuan, pemahaman, dan kepedulian akan arti penting dan strategis pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan bagi pembangunan nasional, sehingga perlu dipelihara kelestariannya perlu terus disebarluaskan ke berbagai kalangan, khususnya para anggota legislatif, kalangan pengambil keputusan di pemerintahan maupun swasta.

Beberapa hal yang dikemukakan di atas merupakan "daftar panjang" yang musti dipikirkan bersama atau bahkan harus menjadi aksi bersama sehingga beban tidak berada di pundak pemerintah saja tetapi juga berada di pundak semua stakeholder pesisir dan lautan agar harapan bahwa masa depan Indonesia ada di laut benar-benar terwujud.



DAFTAR PUSTAKA

  1. PKSPL-IPB, 1998. Penyusunan Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan - Institut Pertanian Bogor dan Direktorat Pembangunan Daerah - Depdagri, Bogor.
  2. Bengen, D. G, dan Achmad Rizal. 2002. Menyoal Pengaturan Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan. Artikel Warta INCUNE. Edisi Tahun 2 Nomor 1.
  3. Boyce, T.M. and J. Catena. 1991. The Living Ocean Understanding and Protecting Marine Biodiversity, Washington, D.C. Covelo, California.
  4. Cicin-Sain, B. and R.W. Knecht. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management: Concepts and Practices. Island Press, California.
  5. Cross, N. 2001. The Future is Now.
  6. Dahuri, R., J. Rais, S.P. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
  7. Kartasasmita, Ginandjar. 1996. Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. CIDES. Jakarta.
  8. Hanna, S., 1999. Strengthening governance of ocean fishery resources. www.erlsevier.com/locate/ecolecon.
  9. Giddens. A. 1999. The Third Way.
  10. Hardin. 1968. Tragedy of the Commons.
  11. Lindley, D. 1988. Is the Earth Live or Death? Nature.
  12. Ostrom, E. 1999. Annual Review of Political Science 2: 493-535.
  13. Santoso, Mas Achmad. 2001. Good Governance dan Hukum Lingkungan. ICEL. Jakarta.
  14. UNDP. 1997. Reconceptualising Governance. UNDP Discussion Paper 2. Management Development and Governance Division Bureau for Policy and Programme Support.
  15. Ward, B. 1982. Down to Earth. London, Temple Smith.
  16. Williamson, O.E., 1994. Transactions cost economics and organization theory. In: Smelser, N.J., Swedberg, R. (Eds.), The Handbook of Economic Sociology. Princeton University Press, Princeton, NJ. Pp. 77-107.

Wednesday, April 9, 2008

COOPERATIVE COASTAL TOURISM PLANNING: REFINING THE PROCESS AND OUTCOME BY INVOLVING COMMUNITIES, NGOs AND PRIVATE/PUBLIC SECTOR PARTNERSHIPS

by:

Nina P. Hadley
Tidal Delta Consulting

Successful community-based tourism succeeds when based on a dialogue among experts and locals. These projects require an understanding of the larger world (and specialized niches such as “tourism” or “conservation”) and an appreciation of what makes a place unique. ~Ron Mader, “Understanding Community Tourism”

INTRODUCTION


For many coastal communities of the Pacific, tourism development is increasingly carrying poignant political, economic, and environmental implications. Addressing these touristic implications can be seen as one necessary facet to resource conservation and sustainable development, and therefore a part of integrated coastal management (ICM). Community tourism in coastal areas frequently represents an alternative means for economic development (versus fishing or some other extractive behavior) that is both ecologically sustainable and culturally sensitive. Additionally, in an effort to reduce economic costs of procurement and management of marine protected areas (MPAs) for conservation and research, resource managers (government agencies and non-governmental organizations[NGO]) are seeking creative partnerships among themselves and adjacent communities in the development of sustainable community tourism.

Historical ecologists emphasize that environments have histories from which human cannot be excluded (Agrawal and Gibson, 1999). Yet such a simple statement supports the fact that people exist, impact and move among natural and social environments—the true foundation of tourism. The impacts of coastal tourism—both positive and negative—are undeniable and therefore make it a politically charged concept. Tourism managers are often criticized for not taking steps to conserve the very resources and communities that they rely upon.

The aim of this writing is to present a community-based process for addressing resource management challenges and improve the well-being of coastal communities through cooperative and integrated tourism planning. The ideas presented herein are an initial exploration and discussion of planning processes necessary for sustainable coastal community tourism and is derived from work currently being done with regard to ICM for communities in the Pacific region.


COASTAL COMMUNITIES AND TOURISM


Put simply from a human geography perspective, “community” defines a group of people living in the same village or town, interacting through means that give structure to the group. Although current writings on community-based conservation do assert that community is central to renewable resource management, they seldom devote much attention to analyzing the concept of community or explaining precisely how community affects outcomes (Agrawal and Gibson, 1999).

Community is only as strong, educated, progressive, and enlightened as its members and elected officials. Equally, community tourism will only be as successful as the actors (locals, brokers, and tourists) and sustainable as the natural and social setting (infrastructure, culture, history, ecology, environment, etc.) both in the short and long term. Therefore, for coastal community tourism to be successful and sustainable, integrated planning is necessary.

Perhaps this is where we look to integrated coastal management (ICM) for clues. In the Pacific, an approach to integrated coastal zone management has emerged which is based on the specific geophysical characteristics of the islands, and which seeks to meet the particular developmental and socio-cultural needs and expectations of island communities (Cornforth, 1994). As such, integrated coastal community tourism brings stakeholders and concepts together into a complete “product” or destination.



THE PROCESS OF PLANNING



Community tourism planning and development is a necessarily slow process. Pre-assessment of challenges including geographic and financial must be done as an initial phase. Most importantly however, is an assessment of the selected community’s desires and sensitivities with regard to tourism development.

In dealing with small or rural coastal communities, NGOs continually tout the importance of building personal relationships with the local people they work with. Gaining confidence, trust and respect from a community takes time. However, once this work is done the potential for success increases greatly. Local people and leaders should be brought into the planning process from the beginning—giving them an essential feeling of ownership to the project.

During the site analysis phase, locals that have a deep knowledge of the site are first identified and then asked to provide additional details that are used to increase understanding of the site. An essential component of this phase is the formal integration of community values, perspectives, goals and desires into the developing tourism concept. At the same time, outside planners should help the local community understand the components of the site analysis work that has been done prior to the visit (Mehta, 2002).

The second stage involves a community stakeholder meeting so that planners can ascertain the expectations of the local people. Presentations are made at this time on program development and changes made according to the feedback received in the meeting. At this time, several individuals are asked to represent the community and participate in the designing of the tourism concept strategy plan (Mehta, 2002)

Consideration about the project size and resources involved is critical. Experience shows that encouraging communities to use what they have instead of relying on outside goods is beneficial. Reusing, reducing and recycling make sense and are simply good business practices. Starting small and being resourceful does not however imply that the communities and their projects need to stay small.

Marketing are also a presents a significant planning challenge and is frequently omitted or overlooked in the planning stages. Understanding the market and being able to generate ample business to make community tourism profitable and attractive for the local community and any outfitter working with the community is essential. Lastly, targeted marketing efforts based on extensive background research can help ensure success.



THE POWER OF NGO PARTNERSHIPS


Current international activities in community tourism planning and development reflect a strong interest and involvement by NGOs, particularly those focused on resource conservation (i.e., The Nature Conservancy, WWF, Conservation International). While funding and promotion remain rather limited, new synergies have arisen that connect localities with regional and international tourism entities (Mader, 2002).

The role of NGOs in community tourism planning still remains highly debatable. Organizations from outside the community can bring state-of-the art technical assistance, training, political support, as well as assistance in seeking funders (if necessary and/or desirable) interested in offering financial cooperation for the implementation of a tourism project.

Its is also possible that outside organizations may simply act as facilitators to an already ongoing process or series of workshops. These people are often skilled outsiders from an NGO, who have the community’s and surrounding resource’s best interests at stake versus monetary gain. Although involvement in community tourism is a natural fit for many organizations that work in community-based natural resource management, the experience level and dedication to sustainable tourism must be assessed.

NGOs and other partners in a community-based tourism project also have an opportunity to use existing relationships with government and the private sector to further marketing efforts in a coordinated and integrated fashion. Pooling resources saves time and financial resources while achieving and reach to potential visitors if done correctly as in the establishment of a local reservation center. It remains important that those individuals who are directly involved in community tourism development to be involved with the marketing.



Delivering an experience that satisfies tourists and meets their expectations is critical for success. NGOs initiating and promoting community tourism frequently do not have much, if any, experience in hospitality management. This is a challenge. Training and education of the local community is often necessary through other means.

Partnerships with local universities, specifically those having a tourism department, can facilitate students’ learning about community development through tourism, coastal ecology and resource conservation, and cultural preservation among others topics.



MPA PROFILE: A PUBLIC/PRIVATE COOPERATIVE AT MIDWAY ATOLL NATIONAL WILDLIFE REFUGE


In 1997, Midway Atoll National Wildlife Refuge (Northwestern Hawaiian Islands, United States) was established as the first-ever national wildlife refuge to promote commercial tourism operations using a cooperative public/private sector management structure. Research was conducted using a tourism planning process and a tourism assessment model to develop a tourism strategy that integrated the distinct missions of the cooperative effort between the U.S. Fish and Wildlife Service, a private corporation, and a NGO (Hadley, 2001).

The preparation of Midway Atoll NWR’s tourism strategy was only the first step in the tourism planning process, yet it provided a basic framework from which additional planning, development and management would be drawn. As with any strategic document, the issues, objectives, and recommendations made were preliminary and intended to be adaptable. Pertinent public use and tourism management issues put under consideration are highlighted below.

Public Use Issues
In fostering public use of the Refuge, there were a number of key issues identified that need to be addressed by the stakeholders:

  • · How to identify the types of touristic activities that are appropriate on the Refuge, and the type and standard of amenities that should be provided and their associated level of use;
  • · How to provide the optimal level of access for the public to the Refuge;
  • · How to protect the value of islandness;
  • · How to continue to protect wildlife and wildlife areas and the range of recreational wildlife-dependent opportunities that exist; and
  • · How to mitigate and minimize conflicts caused by the variety of recreational opportunities and those tourists who pursue them.



Tourism Management Issues
In approaching the provision of visitor amenities and activities by the public and private sector brokers, a number of issues were raised:

  • · How to create a coordinated approach to tourism planning and avoid ad hoc tourism management;
  • · How to identify the type and extent of tourism operations that are appropriate on the Refuge and what standards they should follow in providing facilities and services to tourists;
  • · How to take a coordinated approach granting opportunities to private sector brokers to provide amenities and activities for tourists. In particular, avoiding reacting to proposals in an ad hoc manner and preventing an overprovision of opportunities;
  • · How to create and protect the value of islandness from intrusive activities;
  • · How to monitor conflicts between public and private tourism brokers’ operations; and
  • · How to deal with an increase in private sector tourism operations on the Refuge without jeopardizing Refuge goals.


CONCLUSION


An opportunity exists to refine the increasingly necessary process of establishing partnerships and integrating communities into the tourism planning process

especially for coastal communities in the Pacific region. ICM strategies already being employed in this region present a pragmatic framework that should be consulted for this reason. Considering the aspects of community involvement and broker cooperatives presented here, we as managers can increase the likelihood of long term success of such projects.



REFERENCES CITED


Agrawal, A. and C.G. Gibson. Enchantment and Disenchantment: The role of community in natural resource conservation. World Development, 27(4): 629-649.

Cornforth, R. 1994. Integrated Coastal Zone Management: The Pacific Way. Marine Pollution Bulletin, 29(1-3): 10-13.

Hadley, N.P. 2001. Cooperative Tourism Management of Midway Atoll National Wildlife Refuge: Planning, assessment, and strategy. Tourism, 49(3):189-202.

Johnson, S.P. (ed.) 1993. The Earth Summit: The United Nations Conference on Environment and Development (UNCED), London: Graham & Trotman / Martinus Nijhoff.

Mader, R. 2002. Understanding Community Tourism. Online: http://www.planeta.com/ecotravel/tour/community.html

Mehta, H. (ed.) 2002. International Ecolodge Guidelines. Burlington, VT: The International Ecotourism Society.



Contact Information

Nina P. Hadley, M.M.A., Principal
Tidal Delta Consulting

5632 20th Avenue NE

Seattle, WA 98105 U.S.A.

Phone 206.527.0885

nina@tidaldelta.com

www.tidaldelta.com

THE IMPORTANCE OF HERBIVORES AND NUTRIENTS ON CORAL ALGAL INTERACTIONS DURING REEF DEGRADATION: SCIENTIFIC AND MANAGEMENT PERSPECTIVES FOR INDONESIAN

Oleh:
Jamaluddin Jompa1,2,3) and Laurence J. McCook3)


1) Pusat Studi Terumbu Karang, Universitas Hasanuddin, Makassar, Indonesia

2) Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar, Indonesia

3) Australian Institute of Marine Science and CRC: Reef Research Centre, Australia


SUMMARY


Coral reef degradation commonly involves a so-called “phase-shift” from reefs dominated by abundant corals to reefs dominated by abundant benthic algae. Both top-down and bottom-up explanations for coral reef phase shifts depend on coral-algal competition. If increased nutrient supply enhances algal growth or production, this can only enhance algal abundance or biomass, and consequently enhance algal competitive overgrowth of corals, if algal consumption remains unchanged. Empirically, this is only the case where herbivores are scarce; in general on coral reefs, algal consumption can increase dramatically to match production, leaving little algal production to accumulate as increased biomass, thereby blocking any competitive consequences for corals. In contrast, changes in algal consumption by herbivores can result in dramatic changes in algal abundance. The key distinction in this perspective is that algal consumption and production are not independent, nor reciprocally dependent: consumption will track production (when herbivores are sufficiently abundant), but not vice versa. However, sufficient reduction in herbivores will allow excess production to accumulate as increased biomass of algae. However, the competitive consequences, for coral populations, of any change in algal abundance, due either to increased production or decreased consumption, will depend critically on the nature of the competitive interaction between corals and algae. Our series of experiments clearly demonstrate the relative importance of herbivores compared to nutrients, but their effects on coral mortality largely depended on algal overgrowth (competition). Concerns need to be addressed for Indonesian coral reefs, in this perspective, where many areas have undergone over fishing including on herbivore fishes. Understanding how variable herbivores and nutrients may affect coral algal competitive outcomes have important implications for the interpretation and prediction or prevention of reef degradation or phase shifts and management of Indonesian coral reef in the future.

PENDAHULUAN

Proses degradasi terumbu karang biasanya melalui suatu peristiwa terjadinya pergeseran keseimbangan (phase-shift), dimana suatu terumbu yang tadinya didominasi oleh karang keras (Scleractinian) menjadi terumbu yang didominasi oleh ganggang-ganggang makro (Done 1992; Hughes 1994; McCook 1999). Beberapa penelitian terdahulu memunculkan suatu kontropersi yang akhir-akhir ini didiskusikan di jurnal ilmiah tentang faktor mana yang memberikan kontribusi terbesar terhadap phase-shift yang terjadi di daerah terumbu karang Carribean; yakni apakah unsur hara (model bottom-up) yang digagas oleh Lapointe (1997 dan 1999) ataukah herbifora (model top-down) yang didukung oleh Hughes (1994), Hughes et al. 1999, Aronson dan Precht (2000), serta Jompa dan McCook (in press).

Dalam model Top-down lebih ditekankan pada proses peningkatan unsur hara sebagai penyebab utama meningkatnya biomassa alga makro akibat percepatan pertumbuhan alga (misalnya; Hanisak 1979; Lapointe 1997; Schaffelke dan Klumpp 1998), yang pada akhirnya dapat meningkatkan daya kompotisi alga terhadap karang, membunuh karang, atau bahkan menyebabkan terjadinya degradasi ekosistem terumbu karang (Smith et al. 1981; Pastorok and Bilyard 1985; Bell 1992; Naim 1993). Sedangkan model bottom-up menganggap bahwa peningkatan biomassa alga makro dalam peristiwa phase-shift lebih disebabkan oleh berkurangnya kontrol atau konsumsi hewan-hewan herbifora terhadap alga makro yang ada (misalnya: Hay 1981, 1984; Lewis 1985, 1986; Hughes 1994; McCook 1997; Jompa, 2001). Lebih lanjut, terdapat beberapa bukti ilmiah dimana pada daerah terumbu karang yang populasi hewan herbiforanya baik, maka konsumsi hewan-hewan ini terhadap alga biasanya dapat mengimbangi atau mengontrol perubahan produksi biomassa alga, sehingga peningkatan pertumbuhan alga (misalnya oleh peningkaran unsur hara yang tersedia) tidak selamanya menyebabkan meningkatnya akumulasi (standing stock) biomassa alga di daerah terumbu karang (Hatcher and Larkum 1983; Carpenter 1986; Hatcher 1988; Russ and McCook 1999).

Apapun penyebabnya yang dominan (peningkatan unsur hara atau penurunan populasi herbifora atau kedua-duanya), proses phase-shift atau pergeseran keseimbangan yang mengarah pada degradasi termbu karang tersebut juga tergantung pada jenis alga makro dan jenis karang yang ada. Beberapa jenis alga makro ternyata memiliki dampak yang bervariasi terhadap jenis karang yang berbeda pula (Jompa, 2002).

PENTINGNYA FUNGSI HERBIFORA

Salah satu unsur penting dalam komunitas ekosistem terumbu karang adalah hewan-hewan herbifora, baik yang berupa ikan maupun yang berupa hewan avertebrata seperti bulu babi. Hewan herbifora ini disamping sebagai salah satu bagian penting dalam rantai makanan, juga memiliki fungsi sebagai pengontrol melimpahnya ganggang dalam ekosistem terumbu karang. Pada perinisipnya keberadaan ganggang dalam ekosistem ini adalah hal yang sangat mutlak dan telah menjadi bagian penting ekosistem terumbu karang sebagai salah satu produser primer, hanya saja karena ganggang makro ini membutuhkan substrat untuk melekat dan berkembang, maka keberadaannya menjadi pesaing utama bagi hewan karang yang juga membutuhkan substrat dasar untuk berkembang. Disamping itu, karena pertumbuhan ganggang jauh lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan karang, maka melimpahnya ganggang ini pada umumnya dapat mengakibatkan tertutupnya hewan karang dan pada beberapa kasus (misalnya Hughes, 1994; Jompa, 2002) keberadaan alga makro ini dapat membunuh hewan karang.

Beberapa hasil penelitian terdahulu telah membuktikan pentingnya keberadaan hewan herbifora, baik melalui pengamatan jangka panjang di lapangan maupun dalam bentuk percoban-percobaan. Salah satu contoh adalah yang terjadi di Jamaica, dimana Hughes (1994) mencatat menurunnya secara drastis populasi karang dari sekitar 50 % menjadi kurang dari 5 % dan meningkatnya penutupan alga makro dari sekitar 10% menjadi 90%. Hal ini terjadi akibat matinya secara massal populasi hewan bulu babi (herbifora utama pada saat itu) oleh suatu penyakit. Pada daerah terumbu karang yang masih relatif sehat, hewan herbifora biasanya didominasi oleh jenis-jenis ikan, namun karena di Jamaika pada saat itu telah terjadi overfishing yang berlangsung lama, maka hewan herbifora yang dominan mengontrol populasi ganggang adalah jenis bulu babi. Oleh karena itu, ditinjau dari segi manajemen ekosistem terumbu karang, maka diversifikasi jenis-jenis herbifora juga perlu diperhatikan.

Contoh tersebut memiliki implikasi yang penting dalam manajemen terumbu karang di Indonesia, terutama karena adanya indikasi kuat telah terjadinya overfishing di banyak daerah terumbu karang akibat penggunaan alat tangkap yang berbahaya seperti pemboman ikan. Ancaman alat tangkap seperti ini adalah karena bukan hanya secara langsung menghancurkan terumbu karang, tapi juga tidak selektif dalam mematikan semua jenis ikan yang ada termasuk ikan-ikan herbifora serta semua ukuran mulai yang besar sampai yang berukuran kecil termasuk jevenil/benih organisme laut. Jika kondisi ini tidak mendapat perhatian serius, maka bukan tidak mungkin apa yang terjadi di Jamaika (Hughes, 1994) bisa saja terjadi di Indonesia.

Penelitian-penelitian manipulasi hewan herbifora di daerah terumbu karang (Sammarco, 1980; Lewis, 1986; Stachowicz & Hay 1999; Jompa dan McCook in press-b) memberikan bukti yang sangat kuat tentang pentingnya peranan hewan herbifora dalam mengatasi invasi (overgrowth) alga makro terhadap hewan karang yang ada di sekitarnya. Misalnya, Jompa dan McCook (in press-b) mencatat adanya pengaruh yang sangat signifikan dari perlakuan kurungan (caging) terhadap kematian karang (lihat Gambar 1). Pengaruh perlakuan kurungan ini berdampak langsung pada berkurangnya akses herbifora terhadap areal terumbu karang tersebut yang pada gilirannya mengakibatkan meningkatnya biomassa algae yang menutupi polyp dan secara langsung membunuh hewan karang.

DAMPAK PENINGKATAN UNSUR HARA / EUTROFIKASI

Walaupun unsur hara (nutrient) sangat penting dalam suatu ekosistem terutama sebagai sumber penyusunan bahan organik oleh produser primer, akan tetapi peningkatan unsur hara pada ekosistem terumbu karang dinilai justru dapat berpengaruh negatif terhadap perkembangan ekosistem ini. Hal ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa terumbu karang justru berkembang dengan baik pada daerah yang relatif jauh dari sumber unsur hara dan sebaliknya tidak berkembang pada daerah yang mendapat suplai unsur hara yang tinggi. Adanya sisklus nutrient yang efektif dalam ekosistem terumbu karang merupakan kunci utama tingginya produktifitas ekosistem ini walaupun jauh dari sumber nutrient. Menurut Lapointe (1997), salah satu penyebab utama terjadinya blooming alga makro pada ekosistem terumbu karang di Jamaika adalah meningkatnya unsur hara yang menyebabkan peningkatan laju pertumbuhan alga sampai pada kondisi dimana ketersediaan populasi hewan herbifora tidak sanggup lagi mengontrol kelimpahan alga ini yang pada gilirannya menyebabkan kematian karang akibat tertutup alga. Walaupun hipotesa ini mendapat kritikan dari Hughes dkk. (1999) serta Aronson dan Precht (2000), tapi dari banyak penelitian sebelumnya telah terbukti bahwa peningkatan unsur hara pada ekosistem terumbu karang baik cepat atau lambat akan menyebabkan perubahan keseimbangan (phase shift) menuju ke terumbu yang didominasi oleh alga makro.

Mekanisme lain yang mungkin terjadi dengan peningkatan unsur hara atau eutrofikasi pada ekosistem terumbu karang adalah semakin menurunnya populasi hewan-hewan herbifora akibat pengaruh langsung dari perubahan kualitas perairan. Dengan demikian, maka eutrofikasi ini berpeluang meningkatkan kelimpahan alga makro dari dua arah; yang pertama secara langsung meningkatkan pertumbuhan alga, dan yang kedua mengurangi konsumsi alga oleh hewan herbifora. Pengaruh eutrofikasi tidak hanya berpengaruh terhadap peningkatan kelimpahan alga makro sebagai pesaing utama hewan karang, akan tetapi juga secara langsung berpengaruh negatif terhadap fisiologi dan perkembangan hewan karang tersebut, misalnya terhadap perkembangan embrio dan planula karang (Tomascik dan Sander, 1987). Dampak lain yang juga bisa timbul adalah meningkatnya bioerosi akibat perubahan komunitas ekosistem terumbu karang (Hallock, 1988).

Dengan demikian, konsekwensi eutrofikasi sangat penting untuk diperhatikan dalam manajemen ekosistem terumbu karang, karena dampak yang ditimbulkan cukup serius baik jangka pendek lebih-lebih dalam jangka panjang. Apalagi jika hal ini ditinjau dari potensi lain ekosistem terumbu karang sebagai obyek wisata bahari, maka bisa dipastikan bahwa nilai estetika dari daerah yang terkena dampak eutrofikasi ini akan sangat berkurang atau malah mungkin dapat hilang sama sekali.

IMPLIKASI TERHADAP INTERPRETASI DAN MANAGEMENT

Penelitian yang mencoba menguji secara faktorial kedua unsur utama (herbifora dan nutrient) terhadap perkembangan alga (Hatcher dan Larkum 1983; Miller dan Hay 1998; Miller dkk. 1999; Jompa dan McCook in press-a) memberikan hasil yang menarik dimana pada umumnya sepakat bahwa kedua faktor tersebut penting dalam peningkatan ketersediaan (standing stock) alga makro, akan tetapi pengaruh nutrien hanya signifikan pada saat pengaruh herbifora ditiadakan, dan sebaliknya pengaruh herbifora signifikan pada semua tingkatan kadar nutrien. Hal ini menunjukkan bahwa dampak nutrien terhadap interaksi antara karang dan alga sangat tergantung pada kemampuan herbifora untuk mengontrol kelimpahan alga.

Oleh karena itu, proses-proses tentang bagaimana pengaruh dari perubahan populasi hewan herbifora, peningkatan unsur hara, dan gangguan-gangguan alam terhadap kompetisi antara alga makro dan karang, memiliki implikasi yang penting terhadap interpretasi dan manajemen serta pencegahan degradasi terumbu karang atau phase-shift. Mengingat banyak daerah terumbu karang di Indonesia yang rentang terhadap eutrofikasi dan overfishing, maka observasi dan penelitian yang lebih detail tentang aspek ini sangat perlu diangkat ke permukaan. Dampak yang ditimbulkan kemungkinan tidak dilihat secara langsung, akan tetapi dalam jangka panjang bisa membahayakan kelestarian ekosistem ini. Hal lain yang perlu diingat bahwa akibat perubahan atau pergeseran keseimbangan ini bisa jadi menjadi pemicu ketidak mampuan ekosistem ini untuk menghadapi atau sembuh/recovery dari gangguan-gangguan alam yang sering terjadi seperti pemutihan karang (bleaching), badai, serta penyakit. Jika terumbu karang tidak sanggup lagi untuk recovery maka bisa diprediksi bahwa hal ini akan membawa implikasi yang serius terhadap kualitas, produktifitas, dan keberlanjutan dari ekosistem terumbu karang itu sendiri.


REFERENSI:
Aronson RB, Precht WF (2000) Herbivory and algal dynamics on the coral reef at Discovery Bay, Jamaica. Limnol Oceanogr 45:251-255
Bell PRF (1992) Eutrophication and coral reefs - some examples in the Great Barrier Reef lagoon. Water Res 26:553-568
Carpenter RC (1986) Partitioning herbivory and its effects on coral reef algal communities. Ecol Monogr 56:345-363
Done TJ (1992) Phase shifts in coral reef communities and their ecological significance. Hydrobiologica 247:121-132
Hanisak MD (1979) Nitrogen limitation of Codium fragile ssp. tomentosoides as determined by tissue analysis. Mar Biol 50:333-337
Hatcher BG (1988) Coral reef primary productivity: A beggar's banquet. Trends Ecol Evol 3:106-111
Hatcher BG, Larkum AWD (1983) An experimental analysis of factors controlling the standing crop of the epilithic algal community on a coral reef. J Exp Mar Biol Ecol 69:61-84
Hay ME (1981) Herbivory, algal distribution, and the maintenance of between-habitat diversity on a tropical fringing reef. Am Nat 118:520-540
Hay ME (1984) Predictable spatial escapes from herbivory: how do these affect the evolution of herbivore resistance in tropical marine communities?. Oecologia 64:396-407
Hughes TP (1994) Catastrophes, phase shifts, and large-scale degradation of a Caribbean coral reef. Science 265:1547-1551
Hughes TP, Szmant AM, Steneck R, Carpenter R, Miller S (1999) Algal blooms on coral reefs: What are the causes? Limnol Oceanogr 44:1583-1586
Jompa, J. (2002). Interactions between macroalgae and scleractinian corals in the context of reef degradation. PhD Thesis, James Cook University, Australia.
Jompa J. & L. McCook (in press-a). The effect of nutrients and herbivores on competition between a hard coral, Porites cylindrica and a brown alga, Lobophora variegata. Limonology and Oceanography.
Jompa, J. & L. McCook (in press-b).The effect of herbivores on competition between a hard coral and a macroalga. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology.
Lapointe BE (1997) Nutrient thresholds for bottom-up control of macroalgal blooms on coral reefs in Jamaica and southeast Florida. Limnol Oceanogr 42:1119-1131
Lapointe BE (1999) Simultaneous top-down and bottom-up forces control macroalgal blooms on coral reefs (reply to the comment by Hughes et al.). Limnol Oceanogr 44:1586-1592
Lewis SM (1985) Herbivory on coral reefs: algal susceptibility to herbivorous fishes. Oecologia 65:370-375
Lewis SM (1986) The role of herbivorous fishes in the organization of a Caribbean reef community. Ecol Monogr 56:183-200
McCook LJ (1997) Effects of herbivory on zonation of Sargassum spp. within fringing reefs of the central Great Barrier Reef. Mar Biol 129:713-722
McCook LJ (1999) Macroalgae, nutrients and phase shifts on coral reefs: Scientific issues and management consequences for the Great Barrier Reef. Coral Reefs 18:357-367
Miller MW, Hay ME (1998) Effects of fish predation and seaweed competition on the survival and growth of corals. Oecologia 113:231-238
Naim O (1993) Seasonal responses of a fringing reef community to eutrophication (Reunion Island, Western Indian Ocean). Mar Ecol Prog Ser 99:137-151
Pastorok RA, Bilyard GR (1985) Effects of sewage pollution on coral-reef communities. Mar Ecol Prog Ser 21:175-189
Russ GR, McCook LJ (1999) Potential effects of a cyclone on benthic algal production and yield to grazers on coral reefs across the central great barrier reef. J Exp Mar Biol Ecol 235:237-254
Sammarco PW (1980) Diadema and its relationship to coral spat mortality: grazing, competition, and biological disturbance. J Exp Mar Biol Ecol 45:245-272
Schaffelke B, Klumpp DW (1998) Nutrient-limited growth of the coral reef macroalga Sargassum baccularia and experimental growth enhancement by nutrient addition in continuous flow culture. Mar Ecol Prog Ser 164:199-211
Smith SV, Kimmerer WJ, Laws EA, Brock RE, Walsh TW (1981) Kaneohe Bay sewage diversion experiment: Perspectives on ecosystem responses to nutritional perturbation. Pac Sci 35:279-385
Stachowicz JJ, Hay ME (1999) Mutualism and coral persistence: the role of herbivore resistance to algal chemical defence. Ecology 80:2085-2101
Tomascik T, Sander F (1987) Effects of eutrophication on reef building corals: III. Reproduction of reef-building coral Porites porites. Mar Biol 94:77-94

Thursday, April 3, 2008

PEMANFAATAN SUMBER DAYA HAYATI LAUT BERBASIS MARIKULTUR DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI TRANSPLANTASI KARANG SEBAGAI CONTOH PENGELOLAAN

Oleh:
Aspari Rachman
Syaffiuddin

CV. DINAR DENPASAR,BALI-FIELD STASIUN UNHAS,MAKASSAR
e-maill: aspari@indosat.net.id


ABSTRAK
Pemanfaatan sumber daya hayati laut berbasis marikultur merupakan sistem produksi perikanan secara komersil melalui serangkaian penerapan teknologi pembibitan, pelepasan, pemeliharaan dan penangkapan hasil-hasil laut dengan memanfaatkan kemampuan alam atau lingkungan laut terkontrrol. Dengan penerapan teknologi tersebut, pemanfaatan sumber daya hayati laut dapat dilakukan secara terus-menerus (berkelanjutan), dan dapat memacu pengkayaan stok di alam, sehingga produksi dapat ditingkatkan. Walaupun transplantasi karang tergolong teknologi rendah dan mudah untuk diterapkan, tetapi karena sifat bio-ekologi karang yang kompleks maka dalam pengelolaannya cukup rumit sebab harus berdasarkan prinsip-prinsip ekosistim teknologi (ekotek) dan juga melibatkan semua pihak dengan pola kemitraan (stakeholders). Masalah-masalah kepemilikan lahan dan pengaturan pemanfaatannya cukup mendasar, disamping tingkat kerusakan karang akibat manusia dan alam yang sama-sama sulitnya dihentikan. Walaupun demikian, dengan potensi lahan terumbukarang yang luas, biodiversiti tinggi, adanya kemajuan teknologi dan usaha pemanfaatan multiguna, serta menghadapi era pasar bebas sehingga teknologi transplantasi karang mempunyai prospek untuk dikembangkan.


PENDAHULUAN

Dewasa ini pemanfaatan sumber daya hayati laut masih berorietasi pada penangkapan (dominan) dan melalui usaha budi daya laut. Kedua kegiatan tersebut disadari cenderung berdampak pada terjadinya kerusakan kelestarian sumber daya hayati karena kelebihan tangkap dan kerusakan lingkungan (ekosistim).
Upaya penyelamatan terhadap kerusakan sumber daya hayati laut tersebut masih terbatas dan pengelolaannya cenderung berbasis pada ekosistim. Sedangkan pengelolaan yang berbasis komuditas belum banyak dilakukan.
Pemanfaatan sumber daya hayati laut berbasis merupakan salah satu alternatif pengelolaan yang perlu diupayakan. Menurut Hanamura (1973), perikanan berbasis budidaya merupakan campur tangan manusia dalam sistim produksi perikanan secara komersil melalui serangkaian penerapan teknologi pembibitan, pelepasan, pemeliharaan, dan penangkapan hasil-hasil laut dengan memanfaatkan kemampuan alam atau lingkungan laut terkontrol.
Pengelolaan dengan cara tersebut dapat menjamin pemanfaatan sumber daya hayati berkelanjutan dan sekaligus dapat meningkatkan upaya pemanfaatan secara lestari dan keragaman hayati (biodiversiti) laut tetap dipertahankan, termasuk jenis-jenis karang.
Karang merupakan hewan laut yang memiliki sifat-sifat bioekologi yang kompleks, merupakan komponen utama pembentuk ekosistim terumbu dan sekaligus dapat menunjang ekosistim laut lain di sekitarnya. Sehingga secara bersama-sama merupakan gudang penyimpanan dan penyerap sumber daya hayati laut dan sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau di Indonesia.
Dengan demikian peranan karang bersama ekosistim yang dibentuk dan ekosistim yang ditunjangnya sangat besar. Akan tetapi pada kenyataannya di beberapa tempat, terumbu karang telah mengalami kerusakan (Tomascik at al, 1997b) dan potensial mendapat kerusakan baik, dari pengaruh aktifitas manusia maupun bencana alam (Grigg and Dollar, 1990).
Untuk itu pengelolaan komuditas karang melalui penerapan teknologi transplantasi sangat penting diupayakan dengan cara pengelolaan yang hati-hati berdasarkan prinsip-prinsip ekosistim teknologi (ekotek) dan melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan melalui pola kemitraan (stakeholders).

METODE DAN PENGELOLAAN

Pemilihan Lokasi
Lokasi untuk transplantasi karang diutamakan pada daerah-daerah terumbu karang yang telah mengalami kerusakan tetapi masih memenuhi syarat bagi kehidupan karang. Faktor-faktor ligkungan yang berpengaruh pada kehidupan karang adalah arus, kedalaman, cahaya, kadargaram, temperatur, kecerahan, partikel-partikel organik dan sedimentasi (Tomascik at al,1997a). Bentuk topografi dan substrat dasar dan spesies-spesies indikator dapat mempengaruhi kegiatan marikultur (Braley,1992). Disamping itu,sumber-sumber polusi, konflik-konflik sosial dan keterjangkauan juga perlu dipertimbangkan (Pillay,1990).

Desain dan konstruksi
Bahan-bahan untuk pembuatan substrat tumbuh dan wadah pemeliharaan harus aman bagi kehidupan karang dan lingkungan di sekitarnya. Bahan harus tersedia cukup, mudah diperoleh dan murah (Pillay,1990). Substrat tumbuh dapat berasal dari campuran semen, keramik, cangkang kerang, pecahan batu karang dan carborandum. Desain bentuk dan ukuran substrat, tergantung dari jenis bahan dan metode penempelan stek karang. Desain dan konstrukssi wadah karang transplantasi tergantung dari metode pemeliharaan yang diterapkan. Ukuran setiap unit wadah disesuaikan dengan padat penebaran dari setiap jenis karang.
Pemilihan spesies
Pemilihan spesies karang untuk transplantasi didasarkan atas permintaan pasar, kelangkaannya di alam, spesies yang potensil atau peka terhadap ancaman dan spesies yang telah dilarang untuk diperdagangkan (banned species). Disamping itu, karang yang dipilih adalah jenis lokal atau yang pernah terdapat pada lokasi transplantasi. Introduksi spesies asing dapat berpengaruh merusak fauna lokal (Pillay,1990).
Seleksi Induk
Program pengelolaan induk sangat penting dalam kegiatan transplantasi, karena dapat berpengaruh pada berkurangnya variasi genetik dalam populasi (Newkirk,1993). Oleh karena kebanyakan setiap koloni karang berasal dari induk yang sama (Harrison dan Wallace,1990), maka seleksi induk berdasarkan atas koloni-koloni setiap dari spesies yang diperlukan. Koloni induk yang digunakan harus dalam jumlah pasangan yang cukup agar variasi genetiknya dapat dipertahankan. Newkirk (1993), menyarankan minimum 50 pasang induk untuk setiap generasi. Pengadaan stok induk dilakukan dengan mengambil total satu koloni atau sebagian dari koloni dengan sistim penjarangan (tebang pilih).
Seleksi Stek
Berbeda dengan kebutuhan induk, banyaknya cabang stek yang dipergunakan harus dibatasi agar tidak terjadi dominasi keturunan dari induk yang sama. Pembatasan Jumlah stek yang diperlukan pada setiap koloni induk tergantung dari spesies, ketersediaan stok, kepekaan induk dan volume kegiatan. Ukuran setiap stek maksimum 5- 6 cm.
Penempelan Stek
Penempelan stek pada substrat menggunakan perekat (lem) khusus dan tahan terhadap pengaruh air laut. Penempelan stek juga dapat dilakukan dengan sistem ikat pada penopang yang dibuat tegak lurus pada permukaan substrat dan sistim tancap (bor), dimana pada bagian tengah substrat dilubangi secukupnya sehingga stek karang dapat masuk ke dalamnya.
Penebaran
Penebaran karang transplantasi didasarkan atas kelompok-kelompok dari populasi satu spesies yang berasal dari sejumlah pasangan induk. Penempatan wadah transplantasi juga diatur berdekatan menurut populasi -populasi sejenis, populasi berlainan jenis tetapi bergenus sama dan populasi-populasi dari genus yang berlainan, tergantung dari bentuk interaksi yang terjadi pada spesies-spesies tersebut.
Odum (1971) mengatakan bahwa asosiasi yang baru lebih banyak mengembangkan interaksi negatif hebat dari pada asosiasi yang lama. Beberapa jenis karang memiliki strategi kompetitif sehingga dapat menghambat Jenis karang lainnya.(Veron,1993; Lang dan Chornesky,1990 dan Bak,1984). Populasi-populasi sejenis yang berdekatan lebih berhasil meningkatkan daya reproduksinya melalui pemijahan dan pembuahan yang sukses ( Harrison dan Wallace,1990).
Growing
Growing merupakan kegiatan menumbuhkan karang transplantasi dengan menggunakan wadah khusus pada kondisi alam dan memanfaatkan kemampuan produksi alam itu sendiri. Keterlibatan manusia hanya pada batas pengontrolan seperti: pembersihan biofouling, kompetitor dan kontrol terhadap predator dan gangguan lingkungan lainnya. Wadah pemeliharaan yang digunakan adalah rak dasar, keramba apung dan tali rentang (long line), tergantung dari spesies dan kondisi lingkungannya.
Lama waktu yang diperlukan untuk menumbuhkan karang transplantasi sampai mencapai ukuran pasar tergantung dari jenis, kecepatan pertumbuhan bentuk, pertumbuhan dan kondisi lingkungannya.
Pertumbuhan karang transplantasi yang normal ditandai dengan pertumbuhan jaringan pada bagian dasar yang menyatu dengan substrat dan menutupi bagian permukaan dari substratnya dan adanya pertumbuhan tunas-tunas baru.
Panen dan Pemanfaatan
Panen karang hasil transplantasi dilakukan setelah mencapai ukuran komersil yang dikehendaki pasar atau telah mencapai ukuran yang memenuhi syarat untuk restoking dan pemanfaatan lainnya. Panen dan penanganan pasca panen karang hasil transplantasi dilakukan secara hati-hati agar kondisi karang tetap sehat, segar, tidak cacat dan tidak stres.
Jumlah pemanfaatan karang hasil transplantasi adalah sebanyak 80% untuk tujuan komersil, 10% untuk restoking dan 10% digunakan kembali untuk stok induk. Pola pemanfaatan ini serupa dengan yang dikemukakan oleh Masaru (1999), yaitu pemanfaatan yang berasal dari pola pengelolaan recruit marine ranching, dimana bibit yang diproduksi dari hatchery dilepaskan ke alam sampai dapat bereproduksi secara alami hingga menjadi dewasa, kemudian sebagiannya dapat ditangkap kembali dan sebagiannya dapat berkembang lagi di alam. Demikian seterusnya, sehingga pemanfaatannya berlangsung secara terus menerus.
Usaha Kemitraan
Pengelolahan bersama dengan pola kemitraan melalui keterlibatan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama dan masing-masing dapat memperoleh manfaat yang saling menguntungkan. Keterlibatan pemerintah sebagai fasilitator, pengusaha sebagai pemodal dan memasarkan hasil, masyarakat sebagai tenaga kerja dan LSM sebagai koordinator konservasi karang Semua pihak terlibat langsung dalam perencanaan hingga implementasi kegiatan dan pengaturan-pengaturan pemanfaatan.
Konsesi Area
Oleh karena pengelolaan trasplantasi karang cukup kompleks, sehingga diperlukan areal pengelolaan khusus agar dapat menjamin kepastian dan kelangsungan usaha dan dampak-dampak yang terjadi akibat dari kegiatan lebih mudah dipantau dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengelola (stakeholders).

Restoking
Pengelolaan restoking tidak dapat dipisahkan dari pengelolaan sebelumnya dimana penebaran (penempatan) kelompok-kelompok populasi sejenis atau yang saling mengutungkan akan semakin penting, mengingat koloni-koloni karang tersebut nantinya akan berkembang secara alami menuju keseimbangan sistem.
Pengelolaan restoking yang benar tidak hanya jumlah penebaran yang besar menjadi ukuran keberhasilan tetapi harus disetai dengan keragamaan genetisnya yang memadai. Newkirk (1993), mengatakan bahwa restoking secara berulang-ulang dari beberapa generasi yang berasal dari banyak induk akan menghasilkan keragamaan genetis yang mendekati populasi alam.

Penandaan dan Pendataan
Dalam pengelolaan karang trasplantasi penandaan dan pendataan penting untuk diterapkan dengan menggunakan kode-kode secara sistematis yang dimulai dari
seleksi induk, stek, wadah pemeliharaan sampai penanganan pasca panen dan restoking. Kegiatan tersebut dilakukan secara terus menerus yang disertai dengan pendataan yang akurat, sehingga identitas karang hasil transplantasi dari generasi ke generasi dapat ditentukan dan terpelihara dengan baik.


MASALAH-MASALAH PENGELOLAAN

Faktor Alam
Faktor-faktor alam yang potensial mengganggu karang transplantasi adalah predator (Endean dan Cameron, 1990), kompetitor dan bioerosi ( Glynn,1987 ), Penyakit ((Tomascik et al, 1997a). Bencana alam dapat menyebabkan kerusakan massal pada karang ( Grigg dan Dollar, 1990), seperti badai tropis, banjir, gelombang pasang (tsunamis), aktivitas gunung api dan gempa bumi (Tomascik et al, 1997a). El Nino juga dapat menyebabkan kerusakan meluas pada karang (Glynn, 1987).
Kegiatan Manusia
Kegiatan manusia dapat menyebabkan kerusakan pada karang, baik langsung maupun tidak langsung (Tomascik et al, 1997a), seperti sedimentasi (Chou, 1987), eutrifikasi (Tomascik at al, 1997a), pencemaran minyak (Grigg dan Dollar, 1990) dan kegiatan konstruksi dan pebangunan serta pemboman (Tomascik et al, 1997b).
Sosial Budaya
Perilaku masyarakat pesisir dan pulau-pulau pada umumnya masih cenderung melakukan kegiatan penangkapan dari pada melakukan budidaya laut. Transplantasi karang merupakan teknologi rendah, murah, sederhana dan mudah diterapkan. Akan tetapi karena tergolong teknologi baru, sehingga belum banyak dikenal oleh masyarakat.
Pemasaran
Berbeda dengan hasil laut lainnya, karang transplantasi tak dapat dikonsumsi dan dipertukarkan (subsisten) dan pemanfaatannya masih terbatas sebagai spesimen aquarium laut, sehingga pemasarannya masih terbatas. Dilain pihak permintaan pasar ekspor cukup selektif dan disertai dengan persyaratan- persyaratan yang ketat.
Kepemilikan Lahan
Konflik kepentingan nampaknya masih cukup menonjol pada penggunaan lahan di pesisir dan pulau-pulau. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan pengaruh pada kegiatan transplantasi karang. Hanamura (1999), menyatakan bahwa kepemilikan lahan merupakan faktor mendasar dalam kegiatan perikanan berbasis budidaya laut.
Kelembagaan dan Pengaturan
Karang termasuk fauna yang berada dalam pengawasan internasional, CITES appendiks II (Well,1994). Secara nasional berada di bawah kewenangan pengelolaan PHKA (management authority) dan LIPI (scientific authority). Keterkaitan kelembagaan yang demikian luas ini akan menjadi rumit pada era otonomi daerah dan ditambah lagi dengan belum adanya pengaturan tentang transplantasi karang dan pemanfaatanya.



PROSPEK PENGEMBANGAN

Teknologi transplantasi karang mudah untuk diterapkan karena tidak diperlukan keahlian khusus. Fasilitas-fasilitas besar seperti hatchery dan pembesar bibit tidak diperlukan sehingga investasi lebih efisien. Disamping itu, biaya produksi transplantasi karang lebih rendah dan dengan pengelolaan yang benar selama proses produksi, kegiatan ini cukup aman bagi lingkungan laut.
Potensi lahan terumbu karang perairan Indonesia cukup besar dengan luas sekitar 85.707 km2 dan biodiversiti karang cukup tinggi, sekitar 452 species (Tomascik, et al,1997a). Dengan demikian transplantasi karang memiliki prospek untuk dikembangkan.
Pengelolaan karang secara multi guna, baik secara langsung maupun tidak langsung maka pemanfaatan karang akan meningkat dimasa yang akan datang, seiring dengan kemajuan teknologi di bidang farmasi, kedokteran, perikanan dan peningkatan kegiatan pariwiswata berbasis terumbu karang.
Pengelolaan secara terpadu melalui pola kemitraan dengan melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan pada pemanfaatan karang dan disertai dengan kelembagaan yang permanen dan pengaturan yang baik dapat menjamin kepastian dan kelangsuangan usaha yang lebih efisien dan produktif.
Dalam era globalisasi, isu-isu lingkungan dan pemanfaatan sumber daya hayati laut secara lestari merupakan faktor kunci dalam pengembangan usaha transplantasi karang di Indonesia di masa yang akan datang.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Teknologi transplantasi karang tergolong sederhana, murah, mudah diterapkan dan bila disertai dengan pengelolaan yang benar tidak menimbulkan dampak bagi lingkungan. Pengelolaan yang berdasarkan komuditi, disamping dapat mempertahankan kelestarian spesies juga dapat meningkatkan produksi dan memacu stok alam.
Pengelolaan transplantasi karang cukup kompleks karena harus berdasarkan prinsip-prinsip ekosistim teknologi (ekotek) dan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders). Sehingga masalah-masalah kepemilikan lahan dan pengaturan pemanfaatan cukup mendasar dalam pengelolaan.
Pemanfaatan karang masih terbatas sehingga permintaan pasar juga terbatas dan bahkan selektif. Namun demikian dalam era globalisasi dan kemajuan teknologi, maka pemanfaatan multi guna karang akan meningkat pula di masa yang akan datang, sehingga transplantasi karang memiliki prospek untuk dikembangkan.

Saran
Diperlukan adanya pengaturan-pengaturan khusus tentang pengelolaan transplantasi karang, termasuk kelembagaan dan pemanfaatannya serta penetapan areal pengeloaan terbatas melalui hak konsesi area.




DAFTAR PUSTAKA

Bak,R.P.M.1983. Aspects of community organization in Caribean stoni coral (sclerectinia).In Odgen,
J.C. and Gladfelter, E.H.(ed), Coral reefs, sea grass beds and mangroves: their interaction in the Coastal zone of the Caribean. UNESCO. p.51-63.

Braley, R.D.1992. The giant clams: Hatchery and nursery culture manual. ACIAR.Canberra Australia
144 p.

Chou, L.M. 1987. Community structure of sediment stressed reefs in Singapore. In. The conservation and management of coral reefs and mangrove ecosystems. UNESCO:MAB/COMAR, Proc.Vol.
1, p.101-111.

Endean, R. and Cameron, A.M. 1990. Acanthaster planci population outbreaks In Dubinsky,Z.(ed),
ecosystem of the world 25. Coral reefs. Elsevier, Amsterdam. p.419-435.

Glynn, P.W. 1987. El Nino warming, coral mortality and reef framework destruction by echinoid bioerosion in the Eastern Pasific In The conservation and management of coral reefs and
mangrove ecosystems. UNESCO:MAB/COMAR, Proc. Vol.1, p.129-160.

Grigg, R.W.and Dollar, S.J.1990.Natural and anthropogenic disturbance on coral reefs.In. Dubinsky,
Z. (ed), ecosystem of the World 25. Coral reefs. Elsevier, Amsterdam.

Hanamura, N. 1979. Advances and problems in culture-based fisheries in Japan.In. Pillay, T.V.R. and
Dill, W.A.(ed), advances in aquaculture. Fishing news books, Ltd. England. p. 541-547.

Harrison, P. I. and Wallace, C.C. 1990. Reproduction dispersal and recruitmen of sclerectinian corals
In.Dubinsky, Z.(ed), ecosyistem of the world 25. Coral reefs. Elsevier Amsterdam. p. 138-196.

Lang, J.C. and Chornesky, E.A. 1990. Competition between scleractinian reef corals - A Review of mechanisms and effects. In. Dubinsky, Z. (ed), ecosystem of the world 25. Coral reefs. Elsevier,
Amsterdam. p. 209-248.

Masaru, T. 1999. Marine ranching, present situation and perspective. In. Marine ranching global perspective with emphasis on the Japanese experince. FAO. Fiheries Cilcular, no. 494. Rome 524 p.

Newkirt, G. A 1993 Discussion of genetic aspects of broodstock estalishment and management.
In. Munro, P.(ed), genetic aspects of conservation and cultivation of giant clams.Proc.39,p 6-13.

Odum,E.P.1971.Fundamentals of Ekology.Third edition.W.B. Saundars company. Phildelphia. 574 p.

Pillay, T. V. R. 1990. Akuaculture principles and practices. Fishing news books. 575 p.

Tomascik, T; A.J. Mah; A. Nontji and M.K. Moosa. 1997a. The ecology of the Indonesian seas.
Periplus editions. Singapore. Part one vol. VII. 642 p.

Tomascik, T; A.J. Mah; A. Nontji and M.K. Moosa. 1997b. The ecology of the Indonesian seas.
Periplus editions. Singapore. Part two vol. VIII. P 643-1388.

Veron, J.E.N. 1993. Corals of Australia and the Indo-pasific. University of Hawai press. Honolulu.

Wells,S.M.1994.Giant clams: Status,trade and maricultur,with special reverence to the role of CITES
in management. IUCN-SSC.