Thursday, April 10, 2008

IMPLEMENTASI GOOD ENVIRONMENTAL GOVERNANCE

Oleh :

Arief. B. Purwanto
Achmad Rizal

Research Associate
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB Bogor,
ariefpur@indosat.net.id



ABSTRAK

Dengan jumlah pulau sekitar 17.508 dan garis pantai sepanjang 81.000 km, Indonesia juga dikenal sebagai negara mega-biodiversity dalam hal keanekaragaman genetik, spesies, dan ekosistem pesisir dan lautan. Dengan perkataan lain, dari sisi kemampuan memproduksi (supply capacity) barang dan jasa pesisir dan lautan, sesungguhnya Indonesia memiliki potensi pembangunan yang masih besar dan terbuka lebar untuk berbagai pilihan pembangunan.

Oleh karena itu, jika dikelola dengan tepat dan benar, sumberdaya pesisir dan lautan sesungguhnya dapat merupakan tumpuan dan sumber pertumbuhan baru bagi pembangunan ekonomi Indonesia secara berkelanjutan guna mewujudkan masyarakat yang maju dan mandiri serta adil dan makmur. Lebih dari itu, melalui sentuhan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) dan manajemen profesional serta Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal, sumberdaya pesisir dan lautan juga sebenarnya dapat didayagunakan untuk membantu bangsa Indonesia dari krisis eknomi dan moneter.

Pola pembangunan pesisir dan lautan dalam kurun PJP I cenderung bersifat ekstraktif, kepentingan ekonomi pusat lebih diutamakan daripada ekonomi masyarakat setempat (pesisir), dan penuh kesenjangan. Kecenderungan ini tercermin pada praktek pengaturan penyelenggaraan pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan yang jauh dari kebaikan (good governance), yang antara lain seharusnya bersifat partisipatif, transparan, dapat dipertanggungjawabkan (accountable), efektif dan efisien, pemerataan, dan mendukung supremasi hukum.

Perubahan tata aturan (governance) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan merupakan suatu keharusan. Untuk sampai kepada suatu good governance dalam sektor kelautan harus ada perubahan yang mendasar dalam beberapa hal meliputi : transparancy, accountability, equity, sustainability dan responsibility.



I. PENDAHULUAN
Sebagai negara kepulauan, tentunya Indonesia memiliki banyak wilayah pesisir sebagai bagian dari kedaulatan negaranya. Dalam hal ini, wilayah pesisir mempunyai potensi yang signifikan dalam kerangka pengelolaan sumberdaya nasional. Konsep wawasan nusantara menganggap seluruh wilayah baik darat, laut serta udara sebagai suatu kesatuan yang utuh, termasuk di dalamnya wilayah pesisir yang diantaranya menjadi wilayah perbatasan dengan negara lain. Tentunya hal ini menyangkut sistem pertahanan dan keamanan wilayah, terutama dalam hal pengelolaan sumberdaya, baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya buatan.

Wilayah pesisir yang termasuk kawasan lindung maupun budidaya, mempunyai potensi tersendiri dalam kerangka pengelolaan lingkungan guna kepentingan pembangunan. Pelajaran yang dapat ditarik berdasarkan pengalaman pemanfaatan wilayah pesisir selama ini, pemanfaatannya haruslah disesuaikan terlebih dulu dengan tata ruang wilayahnya, serta harus melibatkan masyarakat setempat sedini mungkin dan tidak diartikan pembangunan tersebut sebagai beban bagi masyarakat dan lingkungan.

Pola pembangunan pesisir dan lautan selama ini cenderung bersifat ekstraktif, kepentingan ekonomi pusat lebih diutamakan daripada ekonomi masyarakat lokal (pesisir), dan penuh kesenjangan. Kecenderungan ini tercermin pada praktek pengaturan penyelenggaraan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan yang jauh dari kebaikan (good governance), yang antara lain seharusnya bersifat partisipatif, transparan, dapat dipertanggungjawabkan (accountable), efektif dan efisien, pemerataan dan mendukung supremasi hukum, yang terjadi malah sebaliknya. Bukti hal itu tidaklah sulit untuk ditemukan, sebagai contoh kasus lihatlah reklamasi yang terjadi di beberapa kota yang berada di wilayah pesisir, seperti Jakarta, Manado, Semarang dan yang lainnya.

Kecenderungan pembangunan sumberdaya pesisir ke arah yang tidak berkelanjutan (unsustainable development), sebagaimana tercermin di atas, pada dasarnya disebabkan karena paradigma dan praktek pembangunan yang selama ini diterapkan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance).

Sesungguhnya istilah penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) yang bercirikan pemerintah yang bersih (clean government) atau bebas dari praktek KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) serta responsif dan inovatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, di masa Orde Baru sudah dikenal dan telah menjadi wacana. Namun, ia tidak dapat dipraktekkan karena sistem politik rezim Orde Baru bercorak otoriter dan sentralistik, sementara penerapan good governance, tidak mungkin tidak, harus didukung oleh sistem politik yang demokratis.

Kinerja pemerintahan dalam sistem politik otoriter cenderung tidak efisien dan penuh dengan penyelewengan. Prinsip-prinsip prosedural birokratis yang memang harus ada dalam penyelenggaraan organisasi pemerintahan, yang merupakan mekanisme administratif untuk melayani dan mengelola berbagai kepentingan publik, malah lebih diperumit lagi, bukannya dideregulasi untuk memperluas pilihan kesempatan bagi warga masyarakat dalam melaksanakan berbagai aktivitas sosial-budaya dan ekonomi.

Satu hal yang lebih memprihatinkan adalah, bahwa kecenderungan (trend) kerusakan lingkungan pesisir dan lautan di era reformasi ini pada umumnya justru semakin memburuk. Hal ini terutama disebabkan kebutuhan mendesak di kalangan masyarakat maupun pemerintah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin mahal karena depresiasi nilai rupiah terhadap mata uang asing (khususnya dolar Amerika Serikat) yang sangat drastis, keharusan untuk menampung tenaga kerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan upaya untuk meningkatkan perolehan devisa.



II. KONSEP

Williamson (1994) mengungkapkan bahwa governance merupakan sistem yang diimplementasikan akibat adanya kontrak hubungan antara setiap pihak (stakeholders) dalam hubungan kelembagaannya. Sementara hubungan kelembagaan yang dimaksud adalah hubungan organisasional yang memiliki insentif struktural dan interaksi publik di dalamnya. Dalam substansi yang lebih kurang sama United Nations Development Programme (UNDP, 1997) mendefinisikan governance sebagai pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa. Governance dikatakan baik (good atau sound) apabila pengelolaan sumberdaya alam dan masalah-masalah publik dilakukan secara efektif, efisien yang merupakan respons terhadap kebutuhan masyarakat. Tentu saja pengelolaan yang efektif, efisien dan responsif terhadap kebutuhan rakyat menuntut iklim demokrasi dalam pemerintahan. Untuk itu, pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan dan pengelolaan masalah-masalah publik mesti didasarkan pada keterlibatan masyarakat, akuntabilitas, serta transparan. Dengan begitu, good governance merupakan tuntutan imperatif, yang harus dilaksanakan.

Di dalam praktek good governance dalam konteks pemanfaatan wilayah pesisir dan lautan guna pembangunan ekonomi, pemerintah perlu mengurangi keterlibatannya dalam wilayah-wilayah di mana pasar bekerja atau dapat dijadikan bekerja dengan cukup baik. Pemerintah perlu membiarkan kompetisi di antara para pelaku ekonomi domestik dan internasional merebak.

Namun pada saat yang bersamaan, pemerintah perlu lebih banyak berbuat di wilayah-wilayah di mana pasar tak dapat diandalkan atau banyak mengalami distorsi. Dan untuk mengatasi tugas-tugas tersebut pemerintah harus menanamkan investasi langsung pada peningkatan kemampuan sumberdaya manusia, membangun infrastruktur sosial dan fisik bagi kegiatan publik, serta melindungi lingkungan hidup. Tetapi untuk bisa melaksanakan semua itu mensyaratkan dilakukannya penguatan pada lembaga-lembaga politik, sosial, dan ekonomi masyarakat serta kebijakan yang lebih efisien dan efektif bagi redistribusi dan pertumbuhan ekonomi.

Secara lebih rinci Anthony Giddens (1999) menguraikan apa saja yang menjadi tugas pemerintahan dalam kerangka good governance ini: menyediakan sarana untuk perwakilan kepentingan masyarakat yang beragam; menawarkan sebuah forum untuk rekonsiliasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing; menciptakan dan melindungi ruang publik yang terbuka, di mana debat bebas mengenai isu-isu kebijakan bisa dilanjutkan; menyediakan beragam hal untuk memenuhi kebutuhan warga negara, termasuk bentuk-bentuk keamanan dan kesejahteraan kolektif; mengatur pasar menurut kepentingan publik, dan menjaga persaingan pasar ketika monopoli mengancam; menjaga keamanan sosial melalui kontrol sarana kekerasan dan melalui penetapan kebijakan; mendukung perkembangan sumber daya manusia melalui sistem pendidikan; menopang sistem hukum yang efektif, yang menjamin perselisihan ditangani secara adil, tanpa bias ke arah negara atau kepada kepentingan swasta besar.

III. OTORITARIANISME BIROKRASI

Pemerintah Orde Baru boleh dikatakan "anti" terhadap lembaga-lembaga politik, ekonomi, ataupun sosial masyarakat yang mencoba mempersoalkan cara kerja atau kebijaksanaan yang dibuatnya. Bila ada lembaga masyarakat yang sedikit kritis, ia akan dituduh bertindak subversif. Dan, hampir tidak ada kekuatan kelompok sosial-ekonomi atau sosial-politik formal maupun informal yang bisa mengawasi pemerintah. Peran pemerintah telah terlepas dari kontrol (untouchable) institusi-institusi di luar dirinya.

Itulah sistem politik kenegaraan yang bercorak otoritarianisme-birokratik (OB) (bureaucratic-authoritarianism), yaitu suatu bentuk negara otoriter yang kuat dan terpadu, dengan posisi lembaga eksekutif yang sangat dominan dan determinan, dan mampu mensubordinasikan kelompok-kelompok politik, sosial, dan ekonomi masyarakat.

Dalam sistem OB keterlibatan negara tidak sekadar dalam politik formal, tetapi masuk sampai ke dalam aktivitas ekonomi, sosial, dan kultural masyarakat sehari-hari dan secara geografis menyebar sampai jauh ke pelosok, dan secara sosiologis masuk ke dalam aspek kehidupan yang paling kecil seperti rumah tangga dan individu.

Tindakan negara OB kerap kali menggunakan kekuatan represif yang ditujukan untuk meredam partisipasi masyarakat. Di bidang administrasi, negara sangat tergantung pada struktur birorkasi yang rumit yang fungsi sebenarnya adalah untuk mengontrol prilaku-prilaku atau kegiatan-kegiatan masyarakat.

Memang dalam negara OB ini secara formal terlihat ada lembaga-lembaga yang mewakili masyarakat, baik dalam bentuk partai politik, organisasi sosial, ekonomi, dan kultural. Tetapi, institusi-institusi kemasyarakatan itu bersifat korporatis, yaitu suatu sistem perwakilan kepentingan di mana unit-unit yang membentuknya diatur dalam organisasi-organisasi yang jumlahnya dibatasi serta bersifat tunggal atau seragam; tidak diperbolehkan untuk saling berkompetisi, dan diatur secara hirarkis; yang diakui dan diberi izin (kalau tidak diciptakan sendiri oleh negara) serta diberi hak monopoli untuk merepresentasikan kepentingan dalam bidangnya masing-masing sebagai imbalan atas kesediaan memenuhi pengendalian-pengendalian tertentu.

Di samping itu, pimpinan institusi tersebut harus melalui penyaringan yang ketat dari aparat negara. Semua cara pengendalian itu diarahkan supaya tidak terjadi pertentangan antar kelas atau kelompok kepentingan serta terciptanya keselarasan, kesetiakawanan, dan kerja sama dalam hubungan antara negara dan masyarakat.

Karena negara Orde Baru merupakan rezim otoriterisme birokratis, dengan sendirinya good governance tidak bisa diimplementasikan. Sistem otoritarianisme birokratik dengan good governance bertentangan satu sama lain, bukan pasangannya. Yang menjadi pasangan dari sistem otoritarianisme birokratis adalah penyelenggaraan pemerintahan yang birokratis, tidak efisien, penyimpangan dalam penggunaan dana-dana pembangunan, pengambilan keputusan yang tertutup dan sentralistik, serta melakukan pembungkaman terhadap kelompok-kelompok masyarakat.


IV. PELUANG YANG TERBUKA

Reformasi yang mulai bergulir sejak tiga tahun lalu, yang dimotori golongan mahasiswa yang kemudian didukung pula oleh kelompok-kelompok sipil masyarakat, dalam batas-batas tertentu, telah dapat menumbangkan rezim Orde baru. Sedikit banyak kini sistem otoritarianisme birokratis memudar dan kekuasaan mulai menyebar pada berbagai lembaga-lembaga politik formal negara di luar institusi pemerintah. Lembaga legislatif, apakah itu di pusat maupun di daerah, juga tidak lagi sepenuhnya terkooptasi dan tersubordinasikan, perannya sebagai pengawas tindakan dan kinerja lembaga eksekutif sedikit banyak telah dapat kembali dipegang.

Demikian pula dengan peran LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), asosiasi-asosiasi profesi, media, dan kelompok-kelompok keagamaan dan sosial-budaya lainnya yang merupakan representasi dari kelompok-kelompok sipil masyarakat, posisi dan peran mereka menjadi signifikan. Sekarang ini institusi-institusi masyarakat sipil telah kembali memiliki suara dan membangun kekuatan penekan (pressure group) agar pemerintah dalam menelorkan kebijaksanaannya berorientasi pada kepentingan publik yang luas.

Premis ilmu sosiologi menyebutkan, bahwa setiap institusi akan mengalami kesukaran untuk bisa memperbaiki citra dan kinerjanya bila tidak memperoleh "bantuan" dan sekaligus "pengawasan" dari institusi di luar dirinya. Konsep good governance dilandasi oleh premis ilmu sosiologi ini, bahkan menjadikannya prasyarat untuk implementasinya.

Harus diakui, penerapan good governance tidak akan sekali jadi seperti membalikkan telapak tangan. Di sini masalahnya adalah menyangkut pengalaman, bahwa lembaga pemerintahan sekarang ini belum memiliki banyak pengalaman dalam melaksanakan konsep good governance. Oleh karenanya dalam konteks implementasi good governance itulah, sejalan dengan premis ilmu sosiologi, pertama, khususnya dalam hubungan dengan belum dimilikinya pengalaman yang memadai, kelompok-kelompok sipil masyarakat harus "membantu" dengan sungguh-sungguh proses pembelajaran lembaga pemerintah dalam upaya menerapkan konsep good governance.

Dan kedua, di samping memberikan dukungan dan konsultasi, juga kelompok-kelompok sipil masyarakat harus berperan sebagai penekan agar pemerintah memiliki kemauan politik untuk menerapkan good governance dan sekaligus menjadi pengontrol dari praktek good governance tersebut.



V. PERGESERAN PARADIGMA

Untuk urusan pengelolaan wilayah pesisir, pendapat kalangan yang mengatakan problemnya hanyalah pada kekurangan dana dan peraturan sungguh suatu penyederhanaan yang luar biasa, terlepas sebaik apa pun iktikadnya. Karena pengalaman selama ini mengajarkan bahwa peraturan dan dana yang dikeluarkan akan sia-sia belaka tanpa melibatkan stakeholders. Tampaknya belum disadari bahwa semua kebijakan (pemerintah) adalah eksperimen yang tidak terlepas dari peluang kegagalan (Ostrom, 1999).

Langkah yang diambil pemerintah tadi hanya mengulang sebuah pola lama. Pemerintah merasa memiliki otoritas untuk menentukan solusi bagi persoalan wilayah pesisir dan lautan. Pada dasarnya persoalan wilayah pesisir dan lautan bukan urusan teknis belaka, sehingga hanya menempatkan masyarakat sebagai instrumen. Padahal masyarakat adalah pelaku. Sungguh tepat apa yang ditulis oleh Nigel Cross (2001): ''If sustainable development is to be realised it has to be built on the consent and support of those whose lives are affected''. Masyarakat yang kena-mengena dengan persoalan wilayah pesisir dan lautan, tidak dapat ditinggal begitu saja dalam pengambilan keputusan.

Aksi ''solo'' pemerintah itu menunjukkan kebutuhan akan pemahaman yang lebih utuh terhadap persoalan wilayah pesisir dan lautan. Seringkali solusi persoalan wilayah pesisir dan lautan jauh lebih mudah diidentifikasi daripada menguak akar masalahnya. Dalam konteks yang lebih kurang sama, dua puluh tahun lalu, aktivis lingkungan Barbara Ward (1982), telah menegaskan ''For an increasing number of environmental issues the difficulty is not to identify the remedy, because the remedy is now well understood. The problems are rooted in the society and the economy - and in the end in the political structure ''.

Kegagalan penanganan masalah pesisir dan lautan selama ini, membuka ruang untuk koreksi - dari pendekatan yang mengandalkan pengaturan dan pengawasan ke arah pendekatan yang lebih mengandalkan inisiatif otonom perorangan atau lembaga.

Sudah saatnya, penanganan masalah pesisir dan lautan didekati dengan paradigma governance sebagai sebuah paradigma sosial baru - yang oleh Fridjof Capra (1986) didefinisikan sebagai himpunan konsep, nilai, persepsi dan tindakan yang diterima oleh masyarakat, yang membentuk cara pandang terhadap realitas dan kesadaran kolektif sebagai dasar masyarakat menata dirinya sendiri. Salah satu unsur yang paling dibutuhkan dalam pengelolaan pesisir dan lautan saat ini adalah akuntabilitas.

Pergeseran paradigma di atas menjawab tuntutan perubahan sasaran dari sekedar pemerintahan yang efisien dan kompeten ke pemerintahan yang accountable bagi warga negara dan masyarakat. Kata governance tidak hanya mencakup lembaga politik dan administratif dalam pemerintahan, tetapi juga mencakup hubungan antara pemerintah dan masyarakat. Sebagai konsekuensinya, pemerintah dituntut untuk bekerja sama dengan semua stakeholders pihak-pihak yang merasakan manfaat dan menanggung dampak kerusakan pesisir dan lautan - yaitu masyarakat. Dengan proses identifikasi yang hati-hati, kepentingan stakeholders dapat diwakili oleh kelompok swadaya masyarakat (KSM) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), kalangan bisnis dan industri, perguruan tinggi, media serta instansi pemerintah.



VI. PERUBAHAN KE ARAH GOOD ENVIRONMENTAL GOVERNANCE

Ketidakteraturan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yang kini berlangsung dan telah terbukti berkontribusi atas sejumlah kerusakan lingkungan, pada intinya disebabkan oleh ketiadaan detail tata ruang yang dapat dijadikan sebagai rujukan pengembangan oleh semua pihak yang berkepentingan. Akibatnya, terjadilah konflik penggunaan yang sangat kontraproduktif terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan.

Penataan ruang secara detail sesuai dengan peruntukannya, juga sangat diperlukan dalam pengembangan budi daya laut sebagai alternatif atas usaha perikanan tangkap yang selama ini dianggap bersifat ekstraktif dan eksploitatif. Ketiadaan tata ruang secara detail dalam pengembangan teknologi budidaya laut, khususnya udang, yang saat ini sangat membantu dalam perolehan devisa negara telah berdampak negatif berupa, di antaranya, terjadinya konversi besar-besaran kawasan mangrove menjadi kawasan budidaya. Akibatnya, keuntungan yang didapatkan dari usaha tersebut tak sebanding dengan kerugian berupa hilangnya segenap fungsi ekosistem yang sangat bernilai. Terjadinya abrasi laut, erosi pantai, perubahan iklim lokal dan hilangnya sejumlah biota potensial yang saat ini terjadi di banyak kawasan di Indonesia sebagai buah dari tidak tertata dan terencananya pengelolaan kawasan pesisir merupakan kerugian yang mestinya tidak perlu terjadi.

Karena itu, agar kerugian serupa tidak terulang, penataan ruang secara detail sesuai dengan peruntukannya berdasarkan atas pertimbangan aspek sosial, ekonomi dan ekologi mutlak diperlukan. Untuk itu, beberapa hal di bawah ini perlu dilakukan oleh semua stakeholder pesisir dan lautan khususnya pemerintah:

Pertama, Rehabilitasi kawasan-kawasan pesisir dan lautan yang telah mengalami kerusakan, baik karena pencemaran, sedimentasi, overeksploitasi sumberdaya, maupun perusakan habitat secara fisik.

Kedua, Internalisasi biaya eksternalitas ke dalam setiap kegiatan pembangunan. Sebagaimana dimaklumi, bahwa beberapa kegiatan pembangunan mengeluarkan “eksternalitas” (externality). Artinya, kegiatan pembangunan selain menghasilkan manfaat sesuai dengan yang diharapkan juga menimbulkan dampak negatif yang harus ditanggung oleh pihak lain yang umumnya tidak turut menikmati manfaat pembangunan dimaksud. Kasus kematian udang di Pantura Jawa, ikan sapu-sapu akibat pencemaran limbah industri di Lampung beberapa waktu lalu, merupakan biaya eksternalitas yang harus ditanggung oleh para petani tambak/ikan. Padahal, para petani ikan umumnya tidak mendapatkan manfaat apapun dari industri yang menghasilkan limbah tersebut. Adanya kasus biaya eksternalitas ini telah menimbulkan permasalahan penting di wilayah pesisir dan lautan yang perlu mendapatkan perhatian. Selama ini, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, laut telah menjadi tempat pembuangan limbah oleh sejumlah industri. Adanya limbah ini telah berdampak negatif yaitu turunnya kualitas lingkungan laut yang berimplikasi terhadap penurunan jumlah hasil tangkapan ikan dan berkurangnya turis yang berminat menikmati kebeningan dan kesejukan alam. Kondisi ini bila tidak dilakukan upaya pembenahan, akan semakin memperburuk kualitas lingkungan laut karena tidak adanya beban yang harus ditanggung oleh penghasil limbah.

Untuk itu, maka perhitungan setiap nilai kerusakan oleh kegiatan pembanguan perlu dilakukan kemudian diinternalisasikan sebagai komponen biaya produksi bagi pihak-pihak yang menimbulkan eksternalitas. Dengan demikian, akan timbul rasa tanggung jawab pelaksana pembangunan atas setiap kerusakan lingkungan yang dihasilkan. Dalam pada itu, agar proses internalisasi ini dapat terlaksana dengan baik perlu kiranya dibuat suatu sistem perundang-undangan yang dapat mendukung konsep tersebut.

Ketiga, Penerapan Retribusi atas Setiap Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dan lautan. Laut sebagai sumberdaya milik bersama sering diartikan sebagai barang gratis (free goods) yang setiap orang boleh mengeksplotasi sekehendak hatinya. Konsekuensinya, laut menjadi tempat penampungan sampah dan sumberdaya yang paling layak untuk eksploitasi. Pengertian yang demikian tentu salah karena berpotensi terjadinya eksplotasi yang tak terkendali. Apabila eksploitasi ini melewati ambang batas pembaharuan dirinya, maka akan terjadi penipisan stok, seperti misalnya dilakukan pada perikanan tangkap. Demikian juga, bila limbah yang dibuang ke laut melebihi daya purifikasinya, kemampuan laut untuk menyerap limbah akan berkurang, dan terjadilah pencemaran laut.

Untuk membatasi eksploitasi yang berlebihan sudah saatnya dilakukan pembatasan dengan menggunakan instrumen ekonomi, yaitu penerapan sistem pajak atau retribusi atas setiap pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan. Bahkan, di sejumlah negara maju, dalam membatasi tangkapan ikan selain retribusi juga diterapkan sistem kuota. Apabila angka kuota tersebut terlewati, pengusaha akan mendapatkan sanksi yang sangat berat.

Penerapan sistem retribusi dalam pemanfaatan sumberdaya laut, sebenarnya telah diterapkan di beberapa daerah di Indonesia berupa retribusi yang dikenakan pada nelayan setiap kali melaut. Demikian juga, retibusi yang dikenakan kepada setiap turis agar dapat menikmati objek wisata pantai dan bahari. Hal yang menjadi persoalan adalah besarnya retribusi tersebut apa telah sesuai dengan jasa lingkungan yang dimanfaatkan atau belum dan bagaimana dengan pengelolaan dananya. Untuk itu, perlu dibentuk lembaga khusus yang menangani masalah ini. Adanya lembaga ini diharapkan dana yang terkumpul akan dapat dimanfaatkan sebagai dana pembinaan dan pengelolaan sumberdaya yang dimanfaatkan. Dengan demikian, kasus penyalahgunaan dana reboisasi di sektor kehutanan tidak akan terulang.

Selain penggunaan instrumen ekonomi, pembatasan eksploitasi sumberdaya laut juga dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen hukum. Artinya, perlu kiranya diterbitkan produk hukum yang jelas dengan sanksi yang tegas, serta dibarengi dengan pengawasan yang ketat oleh aparat penegak hukum dan masyarakat. Agar pengawasan ini berjalan baik perlu juga diberlakukan sistem insentif, penambahan anggaran, perbaikan fasilitas, peningkatan kualitas personal, sehingga kekurangan yang ada saat ini dapat dieliminasi.

Keempat, Laut sebagai Milik Rakyat yang Harus dikelola secara Co-Management. Bumi, air dan segala yang terkandung didalamnya merupakan kekayaan milik negara yang harus dikelola untuk kemakmuran rakyat sebagai mana tercantum dalam pasal 33 UUD 1945, adalah salah satu pasal yang paling kontroversial dan sering dituduh sebagai alat penguasaan negara atas sumberdaya alam. Bukan karena penguasannya yang sering dipersoalkan tapi pengelolaan kekayaan tersebut yang dirasakan sangat tidak adil. Tidak berlebihan, apabila pasal tersebut yang paling banyak digugat di era reformasi ini. Kerena kalimat untuk kemakmuran rakyat yang tercantum pada pasal tersebut pada kenyataannya hanya merupakan suatu retorika belaka yang dalam implementasinya tidak ada.

Pengklaiman bahwa laut merupakan kekayaan milik negara sebenarnya kurang sejalan dengan hukum kepemilikan, dimana sumberdaya alam pada umumnya merupakan kekayaan milik bersama. Artinya, rakyat yang mempunyai akses langsung terhadap kekayaan tersebut memiliki hak atas pengelolaan, pemanfaatan dan pemeliharaannya. Lebih tegas lagi, rakyat yang ada di daerah, dalam hal ini adalah masyarakat lokal yang paling berhak atas manfaat sumberdaya alam tersebut.

Selama ini pengelolaan sumberdaya alam yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan dari mulai perencanaan, sampai pada tahap evaluasi dilakukan oleh pemerintah pusat (top down), tanpa melibatkan masyarakat lokal sedikitpun. Sehingga masyarakat lokal yang notabene mempunyai hak atas sumberdaya alam tersebut tidak bisa menikmatinya atau bahkan mendapatkan akibat dari pengelolaan yang tidak berkelanjutan. Oleh karena itu, saat ini dan di masa mendatang pemerintah harus memberikan sebagian kewenangannya dan mempercayakan kepada masyarakat setempat dalam pengelolaan sumberdaya alam tersebut. Pemerintah harus menyertakan masyarakat sebagai mitra, sekaligus juga mendengarkan keinginan dan nuraninya dalam setiap pengambilan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam termaksud. Inilah merupakan pendekatan kebijakan yang memadukan antara keinginan pemerintah pusat (top down) dan suara dari bawah atau masyarakat (bottom up).

Kelima, Reorientasi laut sebagai milik negara ke milik rakyat juga harus direalisasikan dalam bentuk desentralisasi kewenangan pengelolaan (sesuai dengan UU No. 22/1999). Dalam aspek politik international dan pertahanan keamanan, wewenang pemerintah pusat sesuai dengan yurisdiksinya harus tetap dipertahankan. Artinya, pengertian desentralisasi hanya sebatas pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung didalamnya agar dapat lebih bermanfaat bagi kebanyakan masyarakat.

Keenam, Wilayah pesisir dan lautan harus dianggap sebagai bagian dari ekosistem global. Selama ini, ada suatu pemikiran yang keliru dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan, yaitu anggapan pesisir dan lautan sebagai komponen yang terpisah dan bebas dari komponen lain dalam suatu ekosistem global. Anggapan seperti ini jelas merupakan kesalahan karena akan berakibat sangat membahayakan kelestarian ekosistem pesisir dan lautan bagi kesinambungan pengelolaannya. Karena anggapan pesisir dan lautan sebagai komponen yang berdiri sendiri akan memposisikannya sebagai sumberdaya ekonomi yang dapat dieksploitasi untuk menghasilkan uang secara semena-mena. Untuk menjamin sumberdaya pesisir dan lautan sebagai sumberdaya yang memberikan manfaat berkesinambungan, anggapan yang salah tersebut harus segera diluruskan, dengan menyadari bahwa sumberdaya pesisir dan lautan merupakan salah satu komponen yang tak terpisahkan dari ekosistem dunia (global).

Perubahan tata aturan (governance) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan merupakan suatu keharusan. Untuk sampai kepada suatu good governance dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan harus ada perubahan yang mendasar dalam beberapa hal, yaitu:

Pertama, Kriteria Keberhasilan Pembangunan. Agar pelaksanaan pembangunan pesisir dan lautan untuk mewujudkan pembangunan nasional secara berkelanjutan dapat berjalan, diperlukan reorientasi kebijakan pembangunan yang lebih mengindahkan pertimbangan lingkungan. Salah satu yang mendesak adalah perlunya memodifikasi kriteria daya dukung lingkungan bagi keberhasilan pembangunan dari suatu unit wilayah administrasi (propinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa) atau sektor pembangunan. Selama ini kriteria keberhasilan pembangunan suatu wilayah masih berdasarkan pada pertumbuhan ekonominya, sedangkan kriteria berdasarkan lingkungan mempunyai porsi penilaian sangat kecil.

Kedua, Perubahan peraturan dan perundang-undangan yang lebih memihak kepada kepentingan rakyat kebanyakan daripada hanya melindungi kepentingan segelintir orang/pengusaha.

Ketiga, Perlu UU pemerintahan daerah yang memberikan kewenangan lebih besar kepada daerah dalam hal pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, dan memberikan perimbangan keuangan yang adil. Direvisinya UU otonomi daerah memberikan pelajaran bahwa masing-masing daerah harus segera membuat suatu rencana tata ruang untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan, sesuai dengan kewenangan yang dimiliki; peraturan tentang pemanfaatan sumberdaya hayati secara optimal dan lestari; dan peraturan mengenai pengendalian pencemaran serta pengendalian perusakan fisik habitat pesisir dan lautan.

Keempat, pemerintah harus memiliki keberanian politik melakukan dan membuat berbagai kebijakan secara transparan, adil, efisien dan bertanggung jawab. Komponen bangsa lainnya, yaitu masyarakat, swasta dan pihak-pihak yang berkepentingan juga harus berperan aktif dan terlibat dalam segenap proses kebijakan yang dilindungi oleh UU. Hukum sebagai institusi tertinggi harus benar-benar ditegakan dan semua pihak harus tunduk dan berada di bawah hukum tersebut.



VII. PENUTUP

Pergeseran dan perubahan yang mesti dilakukan menuntut perubahan pola pikir dari ''mendukung pemerintah'' ke ''memperbaiki kepemerintahan''. Keberhasilan pemerintah tidak sekadar ditentukan berdasarkan keberhasilan menjalankan kebijakannya sendiri, melainkan juga kemampuannya dalam mendorong usaha-usaha LSM, dunia usaha, dan kelompok masyarakat lain.

Perubahan pola kerja itu mensyaratkan cara kerja baru yang efektif dan tidak bertumpu pada pemerintah saja. Pergeseran paradigma sosial dari government ke governance menuntut bentuk baru pengambilan keputusan dan definisi baru untuk tanggung jawab dan kemitraan. Sikap positif dalam interaksi sangat dituntut, tidak diwarnai syak wasangka (prejudice). Kreativitas lebih dituntut daripada pendekatan rutin.

Pengetahuan, pemahaman, dan kepedulian akan arti penting dan strategis pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan bagi pembangunan nasional, sehingga perlu dipelihara kelestariannya perlu terus disebarluaskan ke berbagai kalangan, khususnya para anggota legislatif, kalangan pengambil keputusan di pemerintahan maupun swasta.

Beberapa hal yang dikemukakan di atas merupakan "daftar panjang" yang musti dipikirkan bersama atau bahkan harus menjadi aksi bersama sehingga beban tidak berada di pundak pemerintah saja tetapi juga berada di pundak semua stakeholder pesisir dan lautan agar harapan bahwa masa depan Indonesia ada di laut benar-benar terwujud.



DAFTAR PUSTAKA

  1. PKSPL-IPB, 1998. Penyusunan Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan - Institut Pertanian Bogor dan Direktorat Pembangunan Daerah - Depdagri, Bogor.
  2. Bengen, D. G, dan Achmad Rizal. 2002. Menyoal Pengaturan Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan. Artikel Warta INCUNE. Edisi Tahun 2 Nomor 1.
  3. Boyce, T.M. and J. Catena. 1991. The Living Ocean Understanding and Protecting Marine Biodiversity, Washington, D.C. Covelo, California.
  4. Cicin-Sain, B. and R.W. Knecht. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management: Concepts and Practices. Island Press, California.
  5. Cross, N. 2001. The Future is Now.
  6. Dahuri, R., J. Rais, S.P. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
  7. Kartasasmita, Ginandjar. 1996. Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. CIDES. Jakarta.
  8. Hanna, S., 1999. Strengthening governance of ocean fishery resources. www.erlsevier.com/locate/ecolecon.
  9. Giddens. A. 1999. The Third Way.
  10. Hardin. 1968. Tragedy of the Commons.
  11. Lindley, D. 1988. Is the Earth Live or Death? Nature.
  12. Ostrom, E. 1999. Annual Review of Political Science 2: 493-535.
  13. Santoso, Mas Achmad. 2001. Good Governance dan Hukum Lingkungan. ICEL. Jakarta.
  14. UNDP. 1997. Reconceptualising Governance. UNDP Discussion Paper 2. Management Development and Governance Division Bureau for Policy and Programme Support.
  15. Ward, B. 1982. Down to Earth. London, Temple Smith.
  16. Williamson, O.E., 1994. Transactions cost economics and organization theory. In: Smelser, N.J., Swedberg, R. (Eds.), The Handbook of Economic Sociology. Princeton University Press, Princeton, NJ. Pp. 77-107.

2 comments:

Putra Priangan said...

wah, bagus sekali.. minta izin dijadikan referensi yah.. terima kasih sebelumnya

Anonymous said...

Who knows where to download XRumer 5.0 Palladium?
Help, please. All recommend this program to effectively advertise on the Internet, this is the best program!