Wednesday, April 9, 2008

THE IMPORTANCE OF HERBIVORES AND NUTRIENTS ON CORAL ALGAL INTERACTIONS DURING REEF DEGRADATION: SCIENTIFIC AND MANAGEMENT PERSPECTIVES FOR INDONESIAN

Oleh:
Jamaluddin Jompa1,2,3) and Laurence J. McCook3)


1) Pusat Studi Terumbu Karang, Universitas Hasanuddin, Makassar, Indonesia

2) Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar, Indonesia

3) Australian Institute of Marine Science and CRC: Reef Research Centre, Australia


SUMMARY


Coral reef degradation commonly involves a so-called “phase-shift” from reefs dominated by abundant corals to reefs dominated by abundant benthic algae. Both top-down and bottom-up explanations for coral reef phase shifts depend on coral-algal competition. If increased nutrient supply enhances algal growth or production, this can only enhance algal abundance or biomass, and consequently enhance algal competitive overgrowth of corals, if algal consumption remains unchanged. Empirically, this is only the case where herbivores are scarce; in general on coral reefs, algal consumption can increase dramatically to match production, leaving little algal production to accumulate as increased biomass, thereby blocking any competitive consequences for corals. In contrast, changes in algal consumption by herbivores can result in dramatic changes in algal abundance. The key distinction in this perspective is that algal consumption and production are not independent, nor reciprocally dependent: consumption will track production (when herbivores are sufficiently abundant), but not vice versa. However, sufficient reduction in herbivores will allow excess production to accumulate as increased biomass of algae. However, the competitive consequences, for coral populations, of any change in algal abundance, due either to increased production or decreased consumption, will depend critically on the nature of the competitive interaction between corals and algae. Our series of experiments clearly demonstrate the relative importance of herbivores compared to nutrients, but their effects on coral mortality largely depended on algal overgrowth (competition). Concerns need to be addressed for Indonesian coral reefs, in this perspective, where many areas have undergone over fishing including on herbivore fishes. Understanding how variable herbivores and nutrients may affect coral algal competitive outcomes have important implications for the interpretation and prediction or prevention of reef degradation or phase shifts and management of Indonesian coral reef in the future.

PENDAHULUAN

Proses degradasi terumbu karang biasanya melalui suatu peristiwa terjadinya pergeseran keseimbangan (phase-shift), dimana suatu terumbu yang tadinya didominasi oleh karang keras (Scleractinian) menjadi terumbu yang didominasi oleh ganggang-ganggang makro (Done 1992; Hughes 1994; McCook 1999). Beberapa penelitian terdahulu memunculkan suatu kontropersi yang akhir-akhir ini didiskusikan di jurnal ilmiah tentang faktor mana yang memberikan kontribusi terbesar terhadap phase-shift yang terjadi di daerah terumbu karang Carribean; yakni apakah unsur hara (model bottom-up) yang digagas oleh Lapointe (1997 dan 1999) ataukah herbifora (model top-down) yang didukung oleh Hughes (1994), Hughes et al. 1999, Aronson dan Precht (2000), serta Jompa dan McCook (in press).

Dalam model Top-down lebih ditekankan pada proses peningkatan unsur hara sebagai penyebab utama meningkatnya biomassa alga makro akibat percepatan pertumbuhan alga (misalnya; Hanisak 1979; Lapointe 1997; Schaffelke dan Klumpp 1998), yang pada akhirnya dapat meningkatkan daya kompotisi alga terhadap karang, membunuh karang, atau bahkan menyebabkan terjadinya degradasi ekosistem terumbu karang (Smith et al. 1981; Pastorok and Bilyard 1985; Bell 1992; Naim 1993). Sedangkan model bottom-up menganggap bahwa peningkatan biomassa alga makro dalam peristiwa phase-shift lebih disebabkan oleh berkurangnya kontrol atau konsumsi hewan-hewan herbifora terhadap alga makro yang ada (misalnya: Hay 1981, 1984; Lewis 1985, 1986; Hughes 1994; McCook 1997; Jompa, 2001). Lebih lanjut, terdapat beberapa bukti ilmiah dimana pada daerah terumbu karang yang populasi hewan herbiforanya baik, maka konsumsi hewan-hewan ini terhadap alga biasanya dapat mengimbangi atau mengontrol perubahan produksi biomassa alga, sehingga peningkatan pertumbuhan alga (misalnya oleh peningkaran unsur hara yang tersedia) tidak selamanya menyebabkan meningkatnya akumulasi (standing stock) biomassa alga di daerah terumbu karang (Hatcher and Larkum 1983; Carpenter 1986; Hatcher 1988; Russ and McCook 1999).

Apapun penyebabnya yang dominan (peningkatan unsur hara atau penurunan populasi herbifora atau kedua-duanya), proses phase-shift atau pergeseran keseimbangan yang mengarah pada degradasi termbu karang tersebut juga tergantung pada jenis alga makro dan jenis karang yang ada. Beberapa jenis alga makro ternyata memiliki dampak yang bervariasi terhadap jenis karang yang berbeda pula (Jompa, 2002).

PENTINGNYA FUNGSI HERBIFORA

Salah satu unsur penting dalam komunitas ekosistem terumbu karang adalah hewan-hewan herbifora, baik yang berupa ikan maupun yang berupa hewan avertebrata seperti bulu babi. Hewan herbifora ini disamping sebagai salah satu bagian penting dalam rantai makanan, juga memiliki fungsi sebagai pengontrol melimpahnya ganggang dalam ekosistem terumbu karang. Pada perinisipnya keberadaan ganggang dalam ekosistem ini adalah hal yang sangat mutlak dan telah menjadi bagian penting ekosistem terumbu karang sebagai salah satu produser primer, hanya saja karena ganggang makro ini membutuhkan substrat untuk melekat dan berkembang, maka keberadaannya menjadi pesaing utama bagi hewan karang yang juga membutuhkan substrat dasar untuk berkembang. Disamping itu, karena pertumbuhan ganggang jauh lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan karang, maka melimpahnya ganggang ini pada umumnya dapat mengakibatkan tertutupnya hewan karang dan pada beberapa kasus (misalnya Hughes, 1994; Jompa, 2002) keberadaan alga makro ini dapat membunuh hewan karang.

Beberapa hasil penelitian terdahulu telah membuktikan pentingnya keberadaan hewan herbifora, baik melalui pengamatan jangka panjang di lapangan maupun dalam bentuk percoban-percobaan. Salah satu contoh adalah yang terjadi di Jamaica, dimana Hughes (1994) mencatat menurunnya secara drastis populasi karang dari sekitar 50 % menjadi kurang dari 5 % dan meningkatnya penutupan alga makro dari sekitar 10% menjadi 90%. Hal ini terjadi akibat matinya secara massal populasi hewan bulu babi (herbifora utama pada saat itu) oleh suatu penyakit. Pada daerah terumbu karang yang masih relatif sehat, hewan herbifora biasanya didominasi oleh jenis-jenis ikan, namun karena di Jamaika pada saat itu telah terjadi overfishing yang berlangsung lama, maka hewan herbifora yang dominan mengontrol populasi ganggang adalah jenis bulu babi. Oleh karena itu, ditinjau dari segi manajemen ekosistem terumbu karang, maka diversifikasi jenis-jenis herbifora juga perlu diperhatikan.

Contoh tersebut memiliki implikasi yang penting dalam manajemen terumbu karang di Indonesia, terutama karena adanya indikasi kuat telah terjadinya overfishing di banyak daerah terumbu karang akibat penggunaan alat tangkap yang berbahaya seperti pemboman ikan. Ancaman alat tangkap seperti ini adalah karena bukan hanya secara langsung menghancurkan terumbu karang, tapi juga tidak selektif dalam mematikan semua jenis ikan yang ada termasuk ikan-ikan herbifora serta semua ukuran mulai yang besar sampai yang berukuran kecil termasuk jevenil/benih organisme laut. Jika kondisi ini tidak mendapat perhatian serius, maka bukan tidak mungkin apa yang terjadi di Jamaika (Hughes, 1994) bisa saja terjadi di Indonesia.

Penelitian-penelitian manipulasi hewan herbifora di daerah terumbu karang (Sammarco, 1980; Lewis, 1986; Stachowicz & Hay 1999; Jompa dan McCook in press-b) memberikan bukti yang sangat kuat tentang pentingnya peranan hewan herbifora dalam mengatasi invasi (overgrowth) alga makro terhadap hewan karang yang ada di sekitarnya. Misalnya, Jompa dan McCook (in press-b) mencatat adanya pengaruh yang sangat signifikan dari perlakuan kurungan (caging) terhadap kematian karang (lihat Gambar 1). Pengaruh perlakuan kurungan ini berdampak langsung pada berkurangnya akses herbifora terhadap areal terumbu karang tersebut yang pada gilirannya mengakibatkan meningkatnya biomassa algae yang menutupi polyp dan secara langsung membunuh hewan karang.

DAMPAK PENINGKATAN UNSUR HARA / EUTROFIKASI

Walaupun unsur hara (nutrient) sangat penting dalam suatu ekosistem terutama sebagai sumber penyusunan bahan organik oleh produser primer, akan tetapi peningkatan unsur hara pada ekosistem terumbu karang dinilai justru dapat berpengaruh negatif terhadap perkembangan ekosistem ini. Hal ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa terumbu karang justru berkembang dengan baik pada daerah yang relatif jauh dari sumber unsur hara dan sebaliknya tidak berkembang pada daerah yang mendapat suplai unsur hara yang tinggi. Adanya sisklus nutrient yang efektif dalam ekosistem terumbu karang merupakan kunci utama tingginya produktifitas ekosistem ini walaupun jauh dari sumber nutrient. Menurut Lapointe (1997), salah satu penyebab utama terjadinya blooming alga makro pada ekosistem terumbu karang di Jamaika adalah meningkatnya unsur hara yang menyebabkan peningkatan laju pertumbuhan alga sampai pada kondisi dimana ketersediaan populasi hewan herbifora tidak sanggup lagi mengontrol kelimpahan alga ini yang pada gilirannya menyebabkan kematian karang akibat tertutup alga. Walaupun hipotesa ini mendapat kritikan dari Hughes dkk. (1999) serta Aronson dan Precht (2000), tapi dari banyak penelitian sebelumnya telah terbukti bahwa peningkatan unsur hara pada ekosistem terumbu karang baik cepat atau lambat akan menyebabkan perubahan keseimbangan (phase shift) menuju ke terumbu yang didominasi oleh alga makro.

Mekanisme lain yang mungkin terjadi dengan peningkatan unsur hara atau eutrofikasi pada ekosistem terumbu karang adalah semakin menurunnya populasi hewan-hewan herbifora akibat pengaruh langsung dari perubahan kualitas perairan. Dengan demikian, maka eutrofikasi ini berpeluang meningkatkan kelimpahan alga makro dari dua arah; yang pertama secara langsung meningkatkan pertumbuhan alga, dan yang kedua mengurangi konsumsi alga oleh hewan herbifora. Pengaruh eutrofikasi tidak hanya berpengaruh terhadap peningkatan kelimpahan alga makro sebagai pesaing utama hewan karang, akan tetapi juga secara langsung berpengaruh negatif terhadap fisiologi dan perkembangan hewan karang tersebut, misalnya terhadap perkembangan embrio dan planula karang (Tomascik dan Sander, 1987). Dampak lain yang juga bisa timbul adalah meningkatnya bioerosi akibat perubahan komunitas ekosistem terumbu karang (Hallock, 1988).

Dengan demikian, konsekwensi eutrofikasi sangat penting untuk diperhatikan dalam manajemen ekosistem terumbu karang, karena dampak yang ditimbulkan cukup serius baik jangka pendek lebih-lebih dalam jangka panjang. Apalagi jika hal ini ditinjau dari potensi lain ekosistem terumbu karang sebagai obyek wisata bahari, maka bisa dipastikan bahwa nilai estetika dari daerah yang terkena dampak eutrofikasi ini akan sangat berkurang atau malah mungkin dapat hilang sama sekali.

IMPLIKASI TERHADAP INTERPRETASI DAN MANAGEMENT

Penelitian yang mencoba menguji secara faktorial kedua unsur utama (herbifora dan nutrient) terhadap perkembangan alga (Hatcher dan Larkum 1983; Miller dan Hay 1998; Miller dkk. 1999; Jompa dan McCook in press-a) memberikan hasil yang menarik dimana pada umumnya sepakat bahwa kedua faktor tersebut penting dalam peningkatan ketersediaan (standing stock) alga makro, akan tetapi pengaruh nutrien hanya signifikan pada saat pengaruh herbifora ditiadakan, dan sebaliknya pengaruh herbifora signifikan pada semua tingkatan kadar nutrien. Hal ini menunjukkan bahwa dampak nutrien terhadap interaksi antara karang dan alga sangat tergantung pada kemampuan herbifora untuk mengontrol kelimpahan alga.

Oleh karena itu, proses-proses tentang bagaimana pengaruh dari perubahan populasi hewan herbifora, peningkatan unsur hara, dan gangguan-gangguan alam terhadap kompetisi antara alga makro dan karang, memiliki implikasi yang penting terhadap interpretasi dan manajemen serta pencegahan degradasi terumbu karang atau phase-shift. Mengingat banyak daerah terumbu karang di Indonesia yang rentang terhadap eutrofikasi dan overfishing, maka observasi dan penelitian yang lebih detail tentang aspek ini sangat perlu diangkat ke permukaan. Dampak yang ditimbulkan kemungkinan tidak dilihat secara langsung, akan tetapi dalam jangka panjang bisa membahayakan kelestarian ekosistem ini. Hal lain yang perlu diingat bahwa akibat perubahan atau pergeseran keseimbangan ini bisa jadi menjadi pemicu ketidak mampuan ekosistem ini untuk menghadapi atau sembuh/recovery dari gangguan-gangguan alam yang sering terjadi seperti pemutihan karang (bleaching), badai, serta penyakit. Jika terumbu karang tidak sanggup lagi untuk recovery maka bisa diprediksi bahwa hal ini akan membawa implikasi yang serius terhadap kualitas, produktifitas, dan keberlanjutan dari ekosistem terumbu karang itu sendiri.


REFERENSI:
Aronson RB, Precht WF (2000) Herbivory and algal dynamics on the coral reef at Discovery Bay, Jamaica. Limnol Oceanogr 45:251-255
Bell PRF (1992) Eutrophication and coral reefs - some examples in the Great Barrier Reef lagoon. Water Res 26:553-568
Carpenter RC (1986) Partitioning herbivory and its effects on coral reef algal communities. Ecol Monogr 56:345-363
Done TJ (1992) Phase shifts in coral reef communities and their ecological significance. Hydrobiologica 247:121-132
Hanisak MD (1979) Nitrogen limitation of Codium fragile ssp. tomentosoides as determined by tissue analysis. Mar Biol 50:333-337
Hatcher BG (1988) Coral reef primary productivity: A beggar's banquet. Trends Ecol Evol 3:106-111
Hatcher BG, Larkum AWD (1983) An experimental analysis of factors controlling the standing crop of the epilithic algal community on a coral reef. J Exp Mar Biol Ecol 69:61-84
Hay ME (1981) Herbivory, algal distribution, and the maintenance of between-habitat diversity on a tropical fringing reef. Am Nat 118:520-540
Hay ME (1984) Predictable spatial escapes from herbivory: how do these affect the evolution of herbivore resistance in tropical marine communities?. Oecologia 64:396-407
Hughes TP (1994) Catastrophes, phase shifts, and large-scale degradation of a Caribbean coral reef. Science 265:1547-1551
Hughes TP, Szmant AM, Steneck R, Carpenter R, Miller S (1999) Algal blooms on coral reefs: What are the causes? Limnol Oceanogr 44:1583-1586
Jompa, J. (2002). Interactions between macroalgae and scleractinian corals in the context of reef degradation. PhD Thesis, James Cook University, Australia.
Jompa J. & L. McCook (in press-a). The effect of nutrients and herbivores on competition between a hard coral, Porites cylindrica and a brown alga, Lobophora variegata. Limonology and Oceanography.
Jompa, J. & L. McCook (in press-b).The effect of herbivores on competition between a hard coral and a macroalga. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology.
Lapointe BE (1997) Nutrient thresholds for bottom-up control of macroalgal blooms on coral reefs in Jamaica and southeast Florida. Limnol Oceanogr 42:1119-1131
Lapointe BE (1999) Simultaneous top-down and bottom-up forces control macroalgal blooms on coral reefs (reply to the comment by Hughes et al.). Limnol Oceanogr 44:1586-1592
Lewis SM (1985) Herbivory on coral reefs: algal susceptibility to herbivorous fishes. Oecologia 65:370-375
Lewis SM (1986) The role of herbivorous fishes in the organization of a Caribbean reef community. Ecol Monogr 56:183-200
McCook LJ (1997) Effects of herbivory on zonation of Sargassum spp. within fringing reefs of the central Great Barrier Reef. Mar Biol 129:713-722
McCook LJ (1999) Macroalgae, nutrients and phase shifts on coral reefs: Scientific issues and management consequences for the Great Barrier Reef. Coral Reefs 18:357-367
Miller MW, Hay ME (1998) Effects of fish predation and seaweed competition on the survival and growth of corals. Oecologia 113:231-238
Naim O (1993) Seasonal responses of a fringing reef community to eutrophication (Reunion Island, Western Indian Ocean). Mar Ecol Prog Ser 99:137-151
Pastorok RA, Bilyard GR (1985) Effects of sewage pollution on coral-reef communities. Mar Ecol Prog Ser 21:175-189
Russ GR, McCook LJ (1999) Potential effects of a cyclone on benthic algal production and yield to grazers on coral reefs across the central great barrier reef. J Exp Mar Biol Ecol 235:237-254
Sammarco PW (1980) Diadema and its relationship to coral spat mortality: grazing, competition, and biological disturbance. J Exp Mar Biol Ecol 45:245-272
Schaffelke B, Klumpp DW (1998) Nutrient-limited growth of the coral reef macroalga Sargassum baccularia and experimental growth enhancement by nutrient addition in continuous flow culture. Mar Ecol Prog Ser 164:199-211
Smith SV, Kimmerer WJ, Laws EA, Brock RE, Walsh TW (1981) Kaneohe Bay sewage diversion experiment: Perspectives on ecosystem responses to nutritional perturbation. Pac Sci 35:279-385
Stachowicz JJ, Hay ME (1999) Mutualism and coral persistence: the role of herbivore resistance to algal chemical defence. Ecology 80:2085-2101
Tomascik T, Sander F (1987) Effects of eutrophication on reef building corals: III. Reproduction of reef-building coral Porites porites. Mar Biol 94:77-94

No comments: