Friday, December 28, 2007

Summary: Pengembangan Kawasan Konservasi Perairan Payau dan Air Tawar di Jambi




Indonesia merupakan negara yang memiliki ekosistem lahan perairan payau dan air tawar yang luas yang didalamnya terkandung potensi keanekaragaman hayati, baik secara ekologis maupun ekonomis. Berdasarkan fungsi dan tatanan ekosistemnya, tipologi perairan payau dan air tawar di Indonesia secara garis besar meliputi perairan delta, hutan mangrove, rawa-rawa, sungai, dataran banjir, lebak-lebung dan muara sungai, danau, embung, situ, dan bendungan.

Sejalan dengan pembangunan yang berkelanjutan terutama terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan dan habitatnya, perlu dilakukan upaya pelestarian sumberdaya ikan dan habitatnya melalui pembentukan konservasi perairan. Bentuk kawasan konservasi perairan berdasarkan Undang-Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 adalah suaka perikanan (Pasal 7 ayat 1). Suaka perikanan didefinisikan sebagai kawasan perairan tertentu dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat berlindung/berkembang biak jenis sumberdaya ikan tertentu yang berfungsi sebagai daerah perlindungan. Upaya konservasi atau perlindungan yang dilakukan adalah dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan dan habitatnya untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan berkesinambungan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.

Pengembangan kawasan konservasi perairan yang dilakukan terhadap sumberdaya ikan dan habitatnya di wilayah perairan payau dan air tawar merupakan salah satu bentuk upaya pemerintah dalam rangka menjaga dan melestarikan potensi sumberdaya ikan dan habitatnya untuk mengurangi tingkat tekanan dan kegiatan pemanfaatan yang berlebihan terhadap sumberdaya ikan dan habitatnya. Oleh karena itu, kegiatan identifikasi pengembangan kawasan konservasi perairan payau dan air tawar sebagai langkah awal dalam pengembangan kawasan konservasi ini dilakukan.

Dalam pemilihan lokasi kawasan konservasi perairan payau dan air tawar prioritas yang dikembangkan perlu dilakukan secara seksama berdasarkan pola pengembangan perikanan secara berkelanjutan. Pengembangan perikanan berkelanjutan pada wilayah perairan payau dan tawar dilakukan dalam rangka menjaga kualitas ekosistemnya, tidak melebihi daya dukung lingkungannya dan dapat bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Lokasi yang lebih diharapkan adalah lokasi yang memiliki keunikan ekosistem serta keberadaan spesies langka dan endemik. Oleh karena itu, kriteria-kriteria pemilihan lokasi pengembangan KKP berdasarkan kajian awal wilayah perairan di dua provinsi ini, meliputi :
  • Sudah dijadikan sebagai daerah perlindungan atau suaka perikanan atau daerah lubuk larangan atau daerah lebak lebung berdasarkan surat keputusan atau peraturan daerah yang dibuat oleh pemerintah daerah atau pemerintah pusat.
  • Memiliki luas yang memadai, yaitu lokasi perairan yang mampu mendukung kelestarian produksi perikanan dan dapat menyisihkan wilayah tertentu sebagai zona intinya;
  • Mempunyai kualitas perairan yang baik serta terhindar dari kemungkinan terjadinya pencemaran lingkungan perairan baik yang berasal dari limbah industry, limbah rumah tangga, limbah pertanian dan akibat penggundulan hutan di wilayah hulu.
  • Memiliki fluktuasi kecukupan air yang memadai, sehingga volume air tetap terjaga agar kehidupan sumberdaya ikan dapat terus berlangsung.
  • Memiliki keunikan perairan tertentu yang berbeda dengan wilayah perairan lainnya, seperti berdasarkan bentuk memiliki atau berbentuk lebung, danau sungai mati, lubuk, teluk tertutup, dan lain-lain; berdasarkan tipe habitat yang tumbuh dan hidup di perairan.
  • Memiliki pola pemanfaatan sumberdaya ikan (penangkapan ikan) yang teratur atau diatur, sehingga potensi ikan dalam perairan tetap terjaga. Hal ini diindikasikan dengan pola pemanfaatan yang sudah dilakukan secara adat atau memiliki intensitas penangkapan ikan yang rendah.
  • Wilayah perairan berdekatan dengan daerah pemukiman yang dapat terlibat dalam pemanfaatan dan pengelolaannya. Hal ini dimaksudkan agar kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan dapat terpantau.
  • Wilayah perairan yang di dalamnya memiliki spesies lengka atau endemik yang harus dijaga kelestarinnya.
  • Memiliki dukungan masyarakat setempat dan instansi terkait di daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang 32 Tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan hak dan tanggungjawab pengelolaan di wilayahnya.


Wilayah Pengembangan Kawasan Konservasi Perairan Payau dan Air Tawar Potensial di Provinsi Jambi
Berdasarkan informasi dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jambi, sampai dengan tahun 2006 telah dikembangkan 20 lokasi kawasan konservasi perairan atau daerah perlindungan yang terdiri dari 14 suaka perikanan perairan air tawar, 6 suaka perikanan pantai dan 35 lubuk larangan.

Merujuk pada kriteria-kriteria pemilihan lokasi pengembangan kawasan konservasi perairan payau dan air tawar, maka dari 21 lokasi kawasan konservasi perairan payau dan air tawar sebagamana ditampilkan pada tabel di atas dilakukan penyeleksian berdasarkan analisa dan masukan dari berbagai narasumber dan masyarakat terkait. Wilayah potensial yang memungkinkan untuk dikembangkan dalam jangka pendek sebagai kawasan konservasi perairan payau dan air tawar prioritas di Provinsi Jambi antara lain :
a. Perairan Pantai Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Kabupaten Muara Jambi; panjang garis pantai dua kabupaten ini adalah 210,6 km dan berbatasan dengan wilayah perairan Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Bangka Belitung. Wilayah perairan payau di pesisir Provinsi Jambi ini merupakan daerah potensial sumberdaya perikanan yang harus dijaga. Dimulai dengan ditetapkannya wilayah daratan yang berbatasan langsung dengan wilayah perairan pantai, merupakan wilayah hutan yang telah dijadikan sebagai Kawasan Konservasi Kehutanan berdasarkan KepMentan Nomor : 285/KPTS-II/1992. Selain itu, keinginan masyarakat setempat yang telah melakukan kegiatan perlindungan wilayah pantai melalui pembentukan Daerah Perlindungan Laut Peraturan Desa Nomor : 01/SD/Tahun 2004 di Desa Sungai Delap dan Peraturan Desa Nomor 07 Tahun 2006 oleh Desa Pangkal Batu.
Potensi ikan yang unik adalah dengan adanya jenis Sumbun (Solen grandis Dunber) yang terdapat di perairan pantai, dimana jenis ini banyak ditangkap oleh nelayan karena memiliki harga yang tinggi yaitu Rp.30.000/kg. Lokasi yang paling banyak terdapat jenis ini berada di perairan pantai Tanjuk Solok Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
b. Danau Arang-Arang dan Danau Mahligai di Kabupaten Muara Jambi;
Danau Arang-Arang tepatnya berada di terletak di Desa Arang-Arang, dimana
terdapat minimal 4 (empat) anggota masyarakat nelayan yang dipercaya Ketua Danau untuk mengawasi penangkapan ikan. Jika ada kejadian tentang pencurian ikan di suaka perikanan atau seseorang mencuri ikan milik nelayan lainnya maka orang yang dipercaya tersebut melapor kepada Ketua Danau untuk selanjutnya ditindaklanjuti. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa sistem pengawasan suaka perikanan yang diterapkan di desa Arang-Arang adalah sistem pengawasan yang dilaksanakan oleh masyarakat secara bersama. Kemudian dalam pelaksanaannya di lapangan dibantu oleh 15 orang yang dipercaya oleh Ketua Keamanan dan Ketua Danau berfungsi sebagai pengawas lapangan yang utama untuk pengamanan suaka perikanan. Danau ini telah diatur berdasarkan SK Bupati Muara Jambi Nomor 271 Tahun 2003.
Tidak jauh berbeda dengan dengan Danau Arang-Arang, Danau Mahligai ini telah diatur berdasarkan SK Bupati daerah TK.II Batanghari Nomor 362 Tahun 1996.
c. Danau Teluk Kenali di Kota Jambi, Desa Teluk Kenali Kecamatan Telanaipura seluas 15 ha, dengan kedalaman rata-rata 6 meter. Danau ini telah diatur berdasarkan SK Walikotamadya TK.II Jambi Nomor 523 Tahun 1993.
Danau ini telah diatur secara zonasi menjadi zona inti, zona penyangga dan zona penangkapan. Luas keseluruhan perairan pada saat normal + 15 hektar dan pada saat kemarau perairan menyusut hingga menjadi 10 hektar saja. Zona inti memiliki luasan + 3,5 ha yang terletak disebelah Utara danau. Lokasi zona inti berdekatan dengan inlet Sungai Kenali. Sedangkan zona penyangga berada di sekeliling pinggir dekat daratan danau, dan zona penangkapan berada di bagian outlet/saluran keluar air danau yang berada di sisi Barat Daya danau. Fungsi pengawasan yang dilakukan di daerah reservaat/suaka perikanan ini telah dilakukan dengan dibangunnya pos penjagaan pengawasan yang dijaga oleh seorang petugas yang digaji oleh Dinas Perikanan Propinsi Jambi dan Dinas Perikanan Kota Jambi.
Kegiatan perikanan yang dilakukan di sekitar danau ini adalah perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Kegiatan perikanan tangkap meliputi kegiatan penangkapan ikan menggunakan alat-alat tradisional yaitu dengan menggunakan tangkul (alat tangkap jenis perangkap jaring yang digantungkan menggunakan kayu atau bambo dengan ukuran jarring rata-rata 15 meter x 15 meter), tajur (alat tangkap pancing yang ditancapkan menggunakan bambu dan dibiarkan untuk mendapatkan ikan), pukat (alat tangkap jenis gillnet yang dibiarkan di dalam perairan untuk menjerat ikan), dan tembikar (alat tangkap sejenis bubu yang terbuat dari bambu, kayu atau kawat). Kegiatan perikanan budidaya yang dilakukan adalah budidaya ikan dalam karamba apung. Jenis ikan yang umumnya dibudidaya adalah jenis ikan nila dan ikan botia.
Jenis ikan yang teridentifikasi di danau ini jenis ikan betok, botia, bujuk, baung, jelawat, sepat, parang, gabus, gurame, toman, lele, betutu, sumpit, tambakan, dan udang galah.
Permasalahan yang muncul dalam melakukan kegiatan usaha perikanan adalah semakin tertutupnya perairan danau oleh gulma yang sebagian besar jenis eceng gondok, terjadinya pendangkalan dasar perairan akibat kegiatandi hulu, serta sirkulasi perairan yang kurang baik yang mengakibatkan tidak sehatnya ikan yang dibudidayakan.

Permasalahan
Beberapa permasalahan yang terjadi dalam upaya pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem dan sumberdaya ikan di perairan payau dan air tawar di Provinsi Jambi adalah sebagai berikut :

a. Menurunnya kualitas perairan akibat adanya pencemaran limbah industri dan rumah tangga serta kegiatan penambangan emas yang menggunakan bahan air raksa (mengandung merkuri) yang berbahaya bagi kesehatan.
Terjadinya pencemaran di sepanjang Sungai Batanghari di hampir semua Kabupaten/Kota dalam Provinsi Jambi, yang dimulai dari yang paling hulu, yakni Kabupaten Bungo, Merangin, yang mengalir berpaduan antara Sungai Batang Bungo, Batang Tebo Sungai, Sungai Batang Tembesi, Sungai Batanghari dan sampai ke Muara Sabak.
Dalam upaya melestarikan Sungai Batanghari, saat ini setelah dilakukan pemberantasan illegal loging, Sungai Batanghari telah bersih dari limbah kayu yang beberapa waktu yang lalu sering terlihat hanyut dipermukaan Sungai Batanghari, dan saat ini sudah mampir tidak terlihat lagi. Namun saat ini justru terjadi pencemaran lain sedang berlangsung, yakni pencemaran dari penambangan emas tanpa ijin (PETI).
Hutan di Jambi yang diperkirakan lebih dari 2 juta hektar sekitar 45 % ( juta hektar) sudah rusak dan cenderung hutan yang masih tersisa jika tidak dicegah akan menjadi rusak, namun dengan program pemerintah pusat melaksanakan pemberantasan ilegal logging dan di Jambi dilaksanakan secara konsekuen oleh jajaran Polda Jambi, walaupun masih ada yang berusaha melakukan praktek illegal logging.

b. Masih adanya masyarakat yang melakukan penangkapan dengan menggunakan alat dan bahan yang dilarang seperti bahan–bahan beracun dan listrik. Penangkapan ikan dengan menggunakan alat terlarang berupa setrum listrik dari generator maupun aki dan pengeboman merupakan aksi pembantaian dan ancaman serius bagi sumber daya perikanan perairan umum. Tingginya intensitas penangkapan ikan dengan alat tangkap terlarang, yang membunuh mulai dari telur sampai ikan besar, di sepanjang Sungai Batanghari menyebabkan penurunan secara drastis populasi dan keragaman ikan konsumsi di rawa, danau, dan Sungai Batanghari.
Kenyataan ini menyebabkan kekurangan pasokan ikan konsumsi serta mengancam mata pencarian sekitar 9.500 kepala keluarga nelayan. Beberapa jenis ikan konsumsi yang kini semakin sulit atau jarang tertangkap nelayan adalah belido (Notopterus chitala), lais (Cryptopterus apogon), klemak, patin sungai (Pangasius pangasius), betutu (Oxyeleotris marmorata), ringo, udang galah (Macrobrachium rosenbergii), sengarat, dan baung putih (Mcroness nemurus). Sedangkan beberapa jenis ikan hias air tawar yang sudah punah di antaranya ridiangus, kaca-kaca, dan balashark.

c. Meningkatnya gangguan dari proses alam seperti pesatnya pertumbuhan gulma air. Gulma enceng gondok yang banyak terdapat di Danau Kerinci, Danau Arang-Arang, Danau Sipin dan Danau Teluk. Akibat yang terjadi adalah semakin menyempitnya ruang habitat iken untuk hidup. Gulma tersebut menutupi permukaan perairan, sehingga cahaya matahari berkurang dan jumlah oksigen yang masuk ke dalam perairan sedikit. Dengan kondisi seperti ini, maka diduga akan mengakibatkan kematian ikan di dalamnya yang menjadi sumber pendapatan masyarakat sekitar.
Upaya yang telah dilakukan oleh masyarakat dan nelayan budidaya untuk mengurangi pesatnya gulma eceng gondok ini adalah dengan menebar benih ikan Koan (grasskaaf) di perairan tersebut, karena jenis ikan ini memakan akar
dari tumbuhan liar enceng gondok yang kalau dibiarkan dapat menutupi danau
tersebut sebagai tempat keramba. Jenis ikan koan yang ditebar tersebut apabila tertangkap untuk dilepas kembali karena manfaatnya sangat besar untuk mengatasi enceng gondok di perairan tersebut. Diharapkan juga nantinya danau-danau tersebut ini menjadi bersih dari gulma. Namun upaya tersebut hanya megatasi sebagian kecil perairan danau yang luas. Oleh karena itu diperlukan upaya dari pemerintah untuk membersihkan gulma yang banyak di perairan danau dengan menggunakan peralatan mesin keruk.

d. Masih kurangnya pemahaman dan perhatian masyarakat terhadap upaya pelestariasn lingkungan sumberdaya ikan dan ekosistemnya sehingga kegiatan eksploitasi penangkapan yang tidak bertanggung jawab dan tidak ramah lingkungan.

e. Masih tertinggalnya kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar sehingga tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya menyebabkan kerusakan sumberdaya ekosistem sangat besar.

f. Masih kurangnya sarana dan prasarana pengendalian dan pengawasan sumberdaya ikan serta rendahnya kualitas tenaga pengelola yang telah dibentuk. Rumah jaga yang diperlukan dalam upaya pengawasan sumberdaya ikan baru dibangun di 8 lokasi yaitu di Danau Teluk Kenali, Danau Mahligai, Danau Arang-Arang, Lubuk Teluk KayuPutih, Lubuk Manik, Lubuk Batu Taman Ciri, Lubuk Sahap, dna Sinoran. Untuk meningkatkan pengawasan dan pengendalian sumberdaya ikan juga pada tahun 2007 telah dilakukan pembangunan rumah jaga di 5 lokasi daerah perlindungan atau suaka perikanan yaitu Pantai Sinoran, Desa Arang-Arang, Kerang Darah, Sungai Dualap, dan Mendahara. Ketiga lokasi terakhir tidak dapat direalisasikan karena tidak ada pengusaha yang mau membangun rumah jaga di lokasi tersebut mengingat kondisi perairan yang sulit dan tidak memungkinkan.

g. Pendangkalan; Kondisi perairan danau pada saat musim kemarau panjang mengalami pendangkalan perairan, sehingga menjadi penghambat bagi upaya pemanfaatan dan pengelolaannya. Permasalahan yang muncul adalah terjadinya kesulitan penggunaan sarana transportasi yang umumnya menggunakan perahu. Selain itu, dengan kondisi perairan yang dangkal, maka kondisi hidupan ekosistem dan spesies ikan di dalamnya menjadi terancam.

Rencana Pengelolaan dan Pengembangan Kawasan Konservasi Perairan Payau dan Air Tawar
Pengelolaan sumberdaya ekosistem dan sumberdaya ikan di perairan payau dan air tawar telah dimulai dari dahulu melalui seistem pengelolaan oleh masyarakat secara kelompok maupun secara adat. Pengelolaan dimaksudkan untuk mempertahankan kondisi perairan dan kondisi sumberdaya ikan agar dapat terjaga dan dapat dimanfaatkan secara terus menerus. Pengelolaan perairan payau dan air tawar ini selanjutnya dikembangkan dan diberdayakan oleh pemerintah baik pemerintah daerah maupun oleh pemerintah pusat. Pengelolaan yang sudah berlangsung adalah pengelolaan daerah perlindungan atau daerah suaka perikanan yang mulai digagas oleh Departemen Pertanian melalui Undang-Undang No.9 Tahun 1985 dan oleh Departemen Kehutanan yang telah menetapkan wilayah-wilayah perairan air tawar dan payau yang berasosiasi dengan wilayah hutan. Pengelolaan ekosistem dan sumberdaya ikan melalui penetapan beberapa lokasi yang potensial selanjutnya banyak dilakukan oleh pemerintah daerah dengan adanya pemberian kewenangan pengelolaan sumberdaya oleh daerah melalui Undang-Undang Nomor 32 Tentang Pemerintahan Daerah.

Pengelolaan dan pengembangan perairan air tawar dan payau berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tentang Perikanan yang dilanjutkan dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diaplikasikasikan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut, yang dimaksud dengan konservasi ekosistem adalah upaya melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan fungsi ekosistem sebagai habitat penyangga kehidupan biota perairan pada waktu sekarang dan yang akan datang. Selain itu, yang dimaksud dengan konservasi sumber daya ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut, dalam melaksanakan konservasi sumberdaya ikan harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip pendekatan kehati-hatian; pertimbangan bukti ilmiah; pertimbangan kearifan lokal; pengelolaan berbasis masyarakat; keterpaduan pengembangan wilayah pesisir; pencegahan tangkap lebih; pengembangan alat dan cara penangkapan ikan serta pembudidayaan ikan yang ramah lingkungan; pertimbangan kondisi sosial ekonomi masyarakat; pemanfaatan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan; perlindungan struktur dan fungsi alami ekosistem perairan yang dinamis; perlindungan jenis dan kualitas genetik ikan; dan pengelolaan adaptif.

Oleh karena itu, dalam pengelolaan dan rencana pengembangan konservasi perairan payau dan air tawar, maka perlu dikaji terlebih dahulu wilayah-wilayah yang pernah dilakukan upaya-upaya pengelolaan di perairan payau dan air tawar. Pengelolaan di perairan payau dan air tawar di Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Jambi yang telah dilakukan dan berlangsung dari dahulu adalah lebak lebung dan lubuk larangan. Perairan payau dan air tawar lebak lebung adalah perairan payau dan air tawar air tawar yang memiliki ciri yang spesifik yang berbeda dengan perairan payau dan air tawar air tawar lainnya. Habitat perairan tawar berupa sungai dan daerah banjirannya merupakan satu kesatuan fungsi yang mempunyai banyak tipe habitat yang dapat dibedakan antara musim kemarau dan musim penghujan.

Pelaksanaan pengelolaan dan pengembangan kawasan konservasi perairan payau dan air tawar di kedua lokasi ini perlu segera dilakukan dengan memperhatikan beberapa tahapan yaitu identifikasi dan sosialisasi, kelembagaan, pengelolaan pemanfaatan, dan pendanaan.

Identifikasi dan Sosialisasi
Kegiatan indentifikasi dan inventarisasi meliputi kegiatan survei dan penilaian potensi, sosialisasi, dan konsultasi publik dengan mengikutsertakan masyarakat. Agar pelaksanaan kegiatan pengembangan kawasan konservasi dapat berlanjar lancar, maka harus dilakukan kegiatan sosialisasi kepada masyarakat, tokoh adat, pemerintahan setempat, lembaga swadaya masyarakat, dan instansi terkait. Setelah mendapatkan mufakat dalam rencana pengembangan kawasan, maka dilakukan pencadangan kawasan konservasi perairan oleh Bupati/Walikota melalui surat keputusan. Surat keputusan ini selanjutnya diajukan menjadi usulan penetapan kawasan konservasi perairan Kabupaten/Kota oleh Bupati/Walikota dan mendapatkan rekomendasi penetapan dari Gubernur. Tahap selanjutnya adalah penetapan yang dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan yang didalam surat keputusan tersebut telah dilengkapi dengan deskripsi kawasan, peta kawasan, jenis kawasan, luas kawasan, dan pengelola kawasan.

Kelembagaan
Bentuk kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan (termasuk dalam mengalokasi, mengatur pengelolaan dan pemeliharaan) yang diusulkan adalah berupa pengambilan keputusan yang tujuan utamanya mengurangi intervensi pemerintah atau yang berazaskan kepada masyarakat (communiy based management; ko-manajemen). Dimana upaya-upaya untuk menerapkan prinsip ko-manajemen merupakan salah satu bentuk kemitraan antara pemerintah dan masyarakat. Dan upaya ini sebenarnya untuk skala lokal telah dipraktekkan di beberapa tempat di Indonesia, misalnya pengelolaan sumberdaya perikanan sistem sasi di Maluku. Kemudian berdasarkan atas hukum positif yang berlaku saat ini di Indonesia, penerapan ko-manajemen dalam bidang perikanan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan memiliki dasar hukum.
Dalam hal ini Lembaga Musyawarah Desa, Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa dan Kepala Desa merupakan lembaga-lembaga yang berhubungan langsung dengan sumberdaya perikanan di wilayahnya. Sehingga kelembagaan ini diharapkan dapat mewakili kepentingan masyarakat nelayan dan masyarakat lainnya secara menyeluruh. Disamping itu hal ini sesuai dengan fungsi kelembagaan pedesaan tersebut dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang merupakan faktor sentral yang mengatur semua sarana dan prasarana di wilayah desanya.

Pengelolaan Pemanfaatan
Ditinjau dari sumberdaya perikanannya, sumberdaya perairan air tawar dan payau dengan ekosistemnya dapat dikategorikan sebagai perikanan multi spesies. Artinya pada perairan tersebut terdapat banyak spesies ikan baik yang bersifat herbivor, omnivor dan karnivor. Kemudian ditinjau dari segi produksi per hektar per luasan lahan dapat dikatakan merupakan areal perikanan yang cukup produktif dengan kategori produksi per hektar cukup tinggi. Namun demikian, perairan lebak lebung atau lubuk laranganmerupakan perairan payau dan air tawar yang diekploitasi secara terus menerus tidak akan dapat memperbaiki dirinya sendiri. Oleh karena perlu dilakukan pengelolaan dalam pemanfaatannya secara berkelanjutan. Pengelolaan tersebut antara lain lain dapat dilakukan terhadap kegiatan penangkapan ikan.
Pengelolaan pemanfatan pada aspek penangkapan ikan yang dimaksudkan adalah pengelolaan yang ditujukan kepada hal-hal yang berhubungan dengan aktivitas penangkapan ikan yang antara lain adalah pengaturan lisensi (izin penangkapan ikan), penutupan musim (closed season), daerah perlindungan suatu populasi ikan (reservat; closed area), pengaturan mata jaring yang digunakan dan pelarangan penggunaan alat tangkap tertentu. Pada prinsipnya, tindakan pengelolaan yang dilakukan ini bertujuan bagaimana agar sumberdaya perikanan yang ada pada perairan payau dan air tawar dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan atau dengan kata lain ditangkap, dimanfaatkan tetapi tetap memikirkan kelestariannya.

Pendanaan
Pendanaan dimaksud diberikan dalam rangka pengelolaan dan pengembangan kawasan konservasi perairan payau dan air tawar yang meliputi pelaksanaan kegiatan identifikasi, sosialisasi, penataan batas, penetapan kawasan, pembangunan infrastruktur, pemberdayaan masyarakat, pengawasan, dan lain-lain.


Wednesday, December 19, 2007

Beautiful Blue Lagoon, Saba Warwe - Biak - Papua

Untuk mencapai lokasi ini, Anda dapat menggunakan alat transportasi udara dengan jarak tempuh dari Jakarta - Biak selama 5 jam. Setelah Anda sampai di Bandara Kasiepo Biak, sebaiknya menggunakan jasa taksi lokal yang umumnya menggunakan mobil minibus berwarna biru yang masih baru (saat ini) dengan jarak tempuh kurang lebih 1 jam perjalanan (kira-kira berjarak 40 km), mengingat kondisi jalan aspal bagus namun bergelombang.

Sekilas Tentang Danau Teluk Kenali Jambi



Danau Teluk Kenali terletak di Desa Teluk Kenali Kecamatan Telanaipura Kota Jambi telah diatur secara zonasi menjadi zona inti, zona penyangga dan zona penangkapan. Luas keseluruhan perairan pada saat normal + 15 hektar dan pada saat kemarau perairan menyusut hingga menjadi 10 hektar saja. Zona inti memiliki luasan + 3,5 ha yang terletak disebelah Utara danau. Lokasi zona inti berdekatan dengan inlet Sungai Kenali. Sedangkan zona penyangga berada di sekeliling pinggir dekat daratan danau, dan zona penangkapan berada di bagian outlet/saluran keluar air danau yang berada di sisi Barat Daya danau. Fungsi pengawasan yang dilakukan di daerah reservaat/suaka perikanan ini telah dilakukan dengan dibangunnya pos penjagaan pengawasan yang dijaga oleh seorang petugas yang digaji oleh Dinas Perikanan Propinsi Jambi dan Dinas Perikanan Kota Jambi. Pengaturan pengelolaan yang ada saat ini dilakukan berdasarkan SK Walikotamadya TK.II Jambi Nomor 523 Tahun 1993.

Kegiatan perikanan yang dilakukan di sekitar danau ini adalah perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Kegiatan perikanan tangkap meliputi kegiatan penangkapan ikan menggunakan alat-alat tradisional yaitu dengan menggunakan tangkul (alat tangkap jenis perangkap jaring yang digantungkan menggunakan kayu atau bambo dengan ukuran jarring rata-rata 15 meter x 15 meter), tajur (alat tangkap pancing yang ditancapkan menggunakan bambu dan dibiarkan untuk mendapatkan ikan), pukat (alat tangkap jenis gillnet yang dibiarkan di dalam perairan untuk menjerat ikan), dan tembikar (alat tangkap sejenis bubu yang terbuat dari bambu, kayu atau kawat). Kegiatan perikanan budidaya yang dilakukan adalah budidaya ikan dalam karamba apung. Jenis ikan yang umumnya dibudidaya adalah jenis ikan nila dan ikan botia.


Jenis ikan yang teridentifikasi di danau ini jenis ikan betok, botia, bujuk, baung, jelawat, sepat, parang, gabus, gurame, toman, lele, betutu, sumpit, tambakan, dan udang galah.

Permasalahan yang muncul dalam melakukan kegiatan usaha perikanan adalah semakin tertutupnya perairan danau oleh gulma yang sebagian besar jenis eceng gondok, terjadinya pendangkalan dasar perairan akibat kegiatandi hulu, serta sirkulasi perairan yang kurang baik yang mengakibatkan tidak sehatnya ikan yang dibudidayakan.

Saturday, November 17, 2007

Menjadi PNS, Pilihan atau Kebutuhan?


Begitu banyak tulisan mengenai PNS dipublikasikan. Ada yang menganggap bahwa PNS adalah beban negara yang harus ditanggung rakyat, atau menjadi PNS adalah keputusan yang tidak kreatif karena bekerja di swasta lebih prospektif, atau menjadi PNS karena latar belakang keluarga, atau lain-lainnya.

Berbicara mengenai PNS, memang sering diperdebatkan. Mungkin karena begitu banyaknya pelayanan atau sikap dan tingkahlaku mereka mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah bahkan sampai ke wilayah pedesaan dianggap belum maksimal bahkan terlihat hanya sekedar menjalankan tugas dan kewajiban saja. Perdebatan meningkat ketika pemerintah mempublikasikan akan dinaikkannya gaji pegawai negeri pada bulan Agustus lalu. Kenaikkan gaji pegawai negeri dianggap pemborosan keuangan negara yang akan sia-sia.

PNS sebagai salah satu kelengkapan negara pada dasarnya memang dibutuhkan untuk menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan negara. PNS atau pegawai negeri sipil merupakan salah satu bagian dari PN (pegawai negeri) yang juga meliputi TNI dan POLRI yang jumlahnya saat ini mungkin lebih dari 4 juta orang atau ditambah dengan keluarganya sebanyak 2/3 orang menjadi kurang lebih 14 juta jiwa keluarga pegawai negeri belum termasuk pensiunan. Dean jumlah total tersebut, kira-kira jumlahnya mencapai 5% penduduk Indonesia.

Pernah sekali saya melihat sebuah acara snapshot PNS di salah satu stasiun tv swasta nasional hari Selasa malam, yang menyajikan sisi negatif PNS, seperti datang ke kantor siang, jam kantor masih makan di warung, belum istirahat sudah makan-makan, belanja buah dan parcel di jam kantor, 'ngorok' di kantor, dan lain-lain. Di acara tersebut juga ditampilkan komentar MenPAN (Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara) yang menyayangkaan kondisi tersebut, tetapi menyadari bahwa kondisi tersebut karena banyak hal dan beranggapan masih banyak pegawai negeri yang disiplin, profesional dan menjaga wibawa (maaf kalau dilebihkan pa). Saya mungkin termasuk salah satu orang yang setuju dengan pendapat beliau. Kacamata kita memang masih berkaca dua, baik dan buruk, itulah kelemahan dan kelebihan manusia yang bukan malaikat.

Berbicara mengenai PNS, saat ini sedang dan sebagian sudah membuka lowongan Calon PNS untuk formasi tahun 2007 di berbagai instansi baik pemerintah pusat (departemen, kementerian, dsb silahkan lihat di www.ri.go.id), pemerintah daerah, dan perguruan tinggi. Tahukan Anda berapa yang mendaftar ke tiap-tiap instansi tersebut? Ternyata benar, jumlahnya bukan ribuan lagi tetapi puluhan ribu orang yang mendaftar. Jumlah yang fantastis mengingat banyaknya instansi yang membuka lowongan tersebut. Dari pendaftar juga bukan hanya orang-orang yang masih menganggur, tapi juga banyak yang sudah bekerja ikut mendaftarkan diri menjadi PNS. Begitu diidamkankah menjadi PNS? Apakah jawabannya sederhana saja karena adanya jaminan hari tua?

Kebetulan hari ini saya sedang di Bandung, berangkat tadi malam mengantar isteri mengikuti ujian CPNS Pusat DEPDAGRI di IPDN Bandung. Sampai di wilayah kampus IPDN pukul 12 malam setelah bermacet-macet dari rumah dan jalan tol cawang-cikampek-padalarang-cikeunyi. Karena setelah memiliki dua anak, isteri berfikiran agar memanfaatkan pendidikannya dan pergaulan yang lebih luas dari sekedar dapur dan kasur serta tetangga-tetangga yang senang gossip. Walaupun juga sebenarnya karena dia tahu bahwa suaminya yang juga seorang PNS sekarang sudah dimandulkan kreatifitasnya di kantor karena dianggap tidak loyal. Entahlah cara dan pola berfikir seperti apa yang dipakai, karena suaminya tidak peduli yang penting bekerja sebaik-baiknya, berfikir positif, berpandangan kedepan, mementingkan kebersamaan, dan yang lebih penting mendahulukan kepentingan keluarga daripada kantor, katanya. Kecuali, jika sistem yang sudah profesional dan mampu menghargai komitmen dan kinerja stafnya (bahan pelajaran manajemen SDM).

Kondisi ekonomi yang sudah mulai banyak berhemat, juga menambah alasan isteri saya bekerja, dan untungnya sekarang ada lowongan PNS. Pilihan hidup memang banyak, tergantung pada keyakinan dan kemampuan kita untuk mewujudkannya. Kebutuhan hidup juga menjadi penting bagi ummat manusia yang merasa membutuhkan dukungan sarana prasarana yang layak agar beribadah menjadi khusuk dan selalu menjadi orang yang mengulurkan tangan di atas bukan di bawah. Wallu'alam bishowab....

Thursday, November 15, 2007

Kapal Ikan dari Tanah


Taken : 3/27/07: 11.36AM

Pemanfaatan Konsentrat Protein dan Minyak Ikan di Indonesia




Masyarakat Indonesia termasuk bangsa yang sedikit mengkonsumsi ikan atau hasil olahannya. Saat ini tingkat konsumsi ikan nasional hanya 19 kg/kapita/tahun, lebih rendah dari Vietnam maupun Malaysia yang tingkat konsumsinya mencapai 33 kg/kapita/tahun. Tahun depan diupayakan tercapai target konsumsi 23 kg/kapita/tahun. Salah satu kemungkinan penyebab rendahnya tingkat konsumsi itu adalah minimnya keragaman hasil olahan ikan yang memiliki daya tarik bagi konsumen lintas usia, suku, dan tingkat sosial.

Disamping dipasarkan dalam bentuk segar, ikan juga dipasarkan dalam bentuk produk olahan. Produk olahan ikan khas Indonesia yang telah terindustrialisasi dengan mapan saat ini tercatat meliputi kerupuk, ikan asin, terasi, pindang, peda dan beberapa yang lain, yang daya tariknya bagi konsumen anak-anak relatif rendah. Barangkali diantara produk tersebut hanya kerupuk yang mudah diterima konsumen anak-anak. Dengan introduksi produk nugget, ikan mulai luas dikonsumsi masyarakat konsumen kalangan ini.

Produk olahan ikan di Indonesia yang sudah dikelola sebagai industri adalah mpek-mpek dan bakso ikan. Hanya saja masih ada beberapa kelemahan yang perlu dibenahi. Kelemahan tersebut antara lain dalam aspek fleksibilitas, variabilitas, dan kemudahan penyajian; serta pengemasan yang kurang menarik minat konsumen, khususnya kalangan anak-anak.
Sejak abad ke 7, Jepang telah dikembangkan dan dikonsumsi secara luas produk olahan ikan berbasis surimi. Surimi dibuat dari ikan berdaging putih yang kemudian diolah menjadi pasta dan akan bertekstur seperti karet (rubbery) setelah diolah. Dari surimi selanjutnya dapat diproduksi beberapa macam makanan dengan karakter bentuk, tekstur, serta aroma yang khas. Kelompok pangan olahan berbasis surimi ini meliputi chikuwa, kamaboko, fish ball, hanpen, dan tsumire. Masing-masing produk pada dasarnya menggunakan bahan tepung, putih telur, minyak nabati, sorbitol, protein kedele, dan bumbu sebagai bahan adonan, disamping surimi sebagai bahan utama.

Chikuwa berbentuk seperti tabung sebagai hasil pelapisan batang bambu atau logam dengan adonan, yang selanjutnya dikukus atau direbus. Kamaboko memiliki rasa yang lebih delicate dengan tekstur kenyal, serta dapat ditampilkan dalam beragam bentuk. Penggunaan kamaboko dalam menu makanan bisa sangat bervariasi mulai dari sup, salad, mie, casserole dan masih banyak lagi.
Disamping mudah diterimanya oleh konsumen dan kesederhanaan proses pembuatannya, karakter lain yang menonjol dari produk berbasis surimi adalah nilai manfaatnya bagi tubuh. Segala manfaat dari ikan laut sebagai sumber DHA dan EPA, telur sebagai sumber protein, dan konsentrat kedele sebagai sumber isoflavone dapat diambil dari kelompok makanan ini.

Ikan sebagai Sumber Protein
Protein merupakan senyawa yang terdapat dalam sel hidup. Setengah dari berat kering dan 20% dariberat total tubuh manusia dewasa adalah protein. Protein meruoakan zat gizi yang sangat penting bagi tubuh, karena selain sebagai sumber energi, protein berfungsi sebagai zat pembangun tubuh dan zat pengatur di dalam tubuh.

Kandungan protein ikan sangat tinggi dibandingkan dengan protein hewan lainnya, dengan asam amino esesnsial sempurna, karena hampir semua asam amino esensial terdapat pada daging ikan. Berdasarkan lokasi terdapatnya dalam daging, yaitu protein sarkoplasma, miofibrillar dan protein pengikat (stroma), protein pembentuk atau pembentuk enzim, koenzim dan hormon.
Secara umum daging ikan terdiri dari 15 – 24 % protein, 1 -3 % glikogen (karbohidrat), 0,1 -22 % lemak, 66 – 84 % air dan bahan organic lain sebesar 0,8 – 2 %. Dari data ini terlihat bahwa ikan mengandung protein dalam jumlah tinggi. Demikian pula bila ditinjau dari nilai gizi proteinnya, protein daging ikan mempunyai nilai cerna dan nilai bioogis yang tinggi (relative lebih tinggi dibandingkan dengan daging hewan ternak).

Pengolahan Konsentrat Protein Ikan di Indonesia
Saat ini, di Indonesia belum banyak dikembangkan pengolahan daging ikan menjadi konsentrat protein ikan. Metode pengawetan yang banyak dilakukan masih dilakukan secara tradisional oleh masyarakat di Indonesia dengan melakukan penggaraman dan pengasapan yang diikuti pengeringan (ikan asin,ikan pindang, ikan peda dan ikan asap). Ditinjau dari segi gizi, ikan yang diberi perlakuan penggaraman kurang menguntungkan, karena jumlah yang dikonsumsi relative sangat sedikit akibat rasa asin yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, pengolahan ikan dengan menggunakan metode lain yang lebih menguntungkan dan memiliki nilai gizi tinggi sangat diperlukan dengan menggunakan pengolahan konsentrat protein ikan.

Konsentrat protein ikan adalah suatu produk untuk dikonsumsi manusia yang dibuat dari ikan utuh atau hewan air lain atau bagian daripadanya, dengan cara menghilangkan sebagian besar lemak dan kadar airnya, sehinga diperoleh kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan baku asalnya. Pengolahan konsentrat protein ikan yang dikembangkan masih secara konvensional yang kurang disukai masyarakat karena dua hal. Pertama, pengolahan yang dilakukan berbentuk mirip tepung ikan yang umumnya digunakan untuk ternak, dan kedua sulit ditambahkan dalam pengolahan pangan yang lain, sehingga banyak orang yang tidak mau mengkonsumsinya.

Salah satu bentuk usaha dalam mengoptimalkan pemanfaatan ikan-ikan di Indonesia adalah dengan mengembangkan surimi dan produk lanjutannya (gel-based products). Surimi adalah suatu daging ikan lumat beku yang telah mengalami proses pencucian (leaching), penambahan garam dan bahan anti denaturasi (gula/sorbitol) dan pembekuan sehingga dihasilkan produk yang mempunyai elastisitas (kekuatan gel) yang dapat memenuhi kriteria sebagai bahan baku produk fish gel (baso, sosis, burger, otak-otak, siomay, nugget) dengan daya tahan simpan yang tinggi.
Produk surimi sebenarnya sangat tepat untuk pemanfaatan produksi perikanan di Indonesia, mengingat :
a) Jenis ikan di daerah tropis terdiri dari banyak jenis, namun untuk setiap jenis mempunyai populasi sedikit
b) Hampir semua jenis dan ukuran ikan dapat dibuat sebagai bahan baku surimi
c) Surimi dapat disimpan jangka panjang sebagai bahan baku produk berbasis fish-gel
d) Surimi mempunyai volume lebih kecil dari ikan utuh
e) Surimi dan produk lanjutannya dapat memberikan nilai tambah untuk nelayan serta perbaikan gizi masyarakat
f) Dapat memperluas bentuk-bentuk diversifikasi olahan hasil perikanan sehingga akan meningkatkan daya terima konsumen
g) Memiliki jangkauan pemasaran yang luas karena mudah diterima konsumen segala lapisan dan bersifat global
h) Memiliki daya tahan simpan yang panjang pada kondisi beku

Sampai tahun 2003 di Indonesia baru terdapat 5 industri surimi dengan kapasitas 3-5 ton/hari dengan produksinya 90% diekspor. Permintaan surimi sangat pesat meningkat di Eropa dengan konsumsi sekitar 20,000 ton/tahun, dan industri produk olahan berbasis surimi sangat berkembang dan sangat mudah diterima konsumen di seluruh dunia, misalnya sticks, flakes, bits, lobster moulded tails, shrimp moulded tails, meatballs, kamaboko, sausage, burger, dan sebagainya. Di Thailand, Malaysia dan Singapura, industri surimi berkembang pesat dengan memanfaatkan ikan non ekonomis. Thailand merupakan produsen surimi terbesar di Asia Tenggara dengan produksi 65,000 ton/tahun, dimana 90% produksinya diekspor ke Jepang, Eropa, Amerika, Malaysia, dan Singapura. Produksi surimi di Singapura sendiri sudah mencapai 20,000 - 30,000 ton/tahun, dan turut memasok kebutuhan masyarakat Amerika. Di Amerika sendiri, produksi surimi adalah sekitar 170,000-200,000 ton/tahun, dan turut memasok kebutuhan surimi di pasar lokal Jepang (80,000 ton), Korea Utara (7,500 ton), dan Taiwan (2,500 ton) (BPS, 2005).

Pengembangan Olahan Konsentrat Ikan
Dalam usaha untuk meningkatkan daya terima masyarakat terhadap konsentrat protein ikan, telah dikembangkan konsentrat protein ikan jenis baru yang disebut marine beef atau meat textured fish protein concentrate. Keistimewaan marine beef adalahselain nilai gizinya tinggi juga sifat fungsional proteinnya tidak hilang, sehingga dapat diolah lebih lanjut menjadi berbagai macam produk olahan daging.
Marine beef yang telah dihedridasi mempunyai daya emulsi, koagulasi dan pembentukan gel yang sangat baik. Marine beef dapat digunakan sebagai bahan pengganti daging sapi dalam pembuatan hamburger,sosis, meat loaf,meat ball, dan meat sauce. Keamanan dalam mengkonsumsi marine beef juga terjamin. Bahan kimia yang digunakan dalam pembuatannya hanya natrium klorida dan natrium bikarbonat, dan jumlah yang digunakan sangat sedikit.

Pengolahan Minyak Ikan
Minyak ikan sangat berbeda dengan minyak lainnya, yang dicirikan dengan (1) variasi asam lemaknya lebih tinggi dibandingkan dengan minyak atau lemak lainnya, (2) jumlah asam lemaknya lebih banyak; (a) panjang rantai karbon mencapai 20 atau 22, (b) lebih banyak mengandung jenis asam lemak tak jenuh jamak (ikatan rangkap sampai dengan 5 dan 6), dan (c) lebih banyak mengandung jenis omega-3 dibandingkan dengan omega-6. Asam lemak yang berasal dari ikan pada prinsipnya ada 3 jenis yaitu jenuh, tidak jenuh tunggal dan tidak jenuh jamak. Asam lemak tak jenuh tunggal mengandung satu ikatan rangkap dan asam lemak tak jenuh jamak mengandung banyak ikatan rangkap per molekul.

Pengolahan minyak ikan di Indonesia masih dilakukan secara tradisional. Minyak ikan yang diproduksi terdiri atas minyak hati dan minyak dari badan ikan yang merupakan hasil samping pengolahan tepung ikan dan pengalengan ikan. Pemanfaatan minyak ikan yang dihasilkan di Indonesia baru digunakan sebagai komponen ransum pakan ikan maupun pakan ternak dan sebagaian kecil digunakan dalam penyamakan kulit serta industry kecil lainnya.

Pengembangan Olahan Minyak Ikan
Minyak ikan sangat mudah teroksidasi oleh karena banyaknya ikatan rangkap pada gugus rantai asam lemaknya. Hal ini berarti bahwa harus diberikan perhatian yang lebih apabila minyak ikan ditambahkan pada produk makanan, jika tidak akan menyebabkan timbulnya bau atau rasa yang tidak enak dan senyawa-senyawa hasil oksidasi yang berpengaruh buruk bagi kesehatan. Perlakuan terhadap minyak ikan yang dapat menghilangkan kendala-kendala tersebut yang memungkinkan para produsen makanan memasukkan minyak ikan bagi peningkatan nilai tambah produk tampak adanya perubahan penampakkan dan usia simpan produk.

Prospek minyak hati ikan cucut botol sebagai bahan baku industri di pasaran Internasional memiliki masa depan yang cerah, sehingga upaya pengolahan lebih lanjut minyak hati cucut botol menjadi bahan setengah jadi (skualen) merupakan prospek bisnis yang baik, hal ini dapat menjadi kenyataan karena teknologi pengolahannya telah dapat dihasilkan yang meliputi metoda dan teknik penanganan hati cucut botol di kapal, ekstraksi minyak dan cara isolasi skualen dari minyak tersebut.

Bahan baku utama untuk pembuatan skualen adalah hati ikan cucut dari keluarga Squalidae dan ikan cucut ini banyak tersebar merata di seluruh perairan Indonesia. Skualen adalah suatu senyawa kimia banyak terdapat dalam minyak hati ikan cucut botol atau biasa juga disebut ikan cucut yang hidup pada perairan dalam (300 -1000 meter), yaitu pada bagian zat yang tidak dapat disabunkan. Skualen ini merupakan senyawa kimia yang mempunyai nilai ekonomis tinggi karena banyak digunakan sebagai bahan baku industri kosmetika, farmasi (obat-obatan), industri sutera (pengkilap warna), pengolahan karet, bahan pelumas, dan lain-lain.

Oleh karena manfaat dari skualen ini sangat banyak, maka minyak hati cucut botol ini menjadi penting dan dibutuhkan tetapi sangat disayangkan kebutuhannya belum dapat dipenuhi oleh usaha penangkapan ikan cucut tersebut dalam negeri. Secara kimia, skualen adalah senyawa hidrokarbon yang mempunyai enam ikatan rangkap. Senyawa ini merupakan cairan jernih yang tidak larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol dan larut dalam pelarut lemak. Skualen mempunyai titik beku -60°C, titik didih 225°C. indek bias 1.40 - 1.50 dan angka iod 366 - 380.

Penanganan Bahan Mentah:
Ikan cucut botol segera setelah ditangkap, diambil hatinya, cuci dengan air laut, kemudian masukkan kedalam kantong plastik. Kantong-kantong plastik itu kemudian dimasukkan kedalam peti berinsulasi dan dies dengan menggunakan es hancuran yang perbandingannya 1 : 1. Pengesan ini dilakukan selama penangkapan hingga saat hati cucut botol tersehut diekstraksi minyaknya.

Ekstraksi Minyak
Untuk memperoleh minyak, maka dilakukan ekstraksi dengan mencampur hati cucut botol dengan asam formiat teknis sebanyak 1% dari berat hati cucut botol (proses silase). Setelah 3 hail proses silase, kemudian dilakukan penyaringan hasil silase melalui kain blacu untuk memperoleh minyak kasar. Setelah minyak disimpan pada suhu rendah (sekitar 5°C) selama 24 jam, kemudian dilakukan sentrifuse pada kecepatan putaran 5000 rpm.
Peluang Pengembangan

Pasar produk pengolahan minyak ikan berteknologi adalah industri makanan seperti : susu bubuk bayi, biskuit, permen, dan lainnya. Untuk menentukan jumlah permintaan pasar harus diperhitungkan jumlah industri makanan tersebut dan juga jumlah pemakaiannya dari setiap industri tersebut. Dikarenakan penggunaan produk minyak ikan berteknologi belum secara meluas di industri makanan dalam negeri maka perlu pula dilakukan perhitungan peluang pasar di luar negeri terutama regional.

Bahan baku industri minyak ikan adalah minyak ikan dari ikan-ikan pelagis dengan kadar lemak yang tinggi, seperti: lemuru dan lainnya. Sumber minyak ikan tersebut dapat dari:
 Hasil ekstraksi yang khusus untuk diambil minyaknya
 Hasil ekstraksi dari pengolahan tepung ikan
 Hasil samping dari pengolahan ikan kaleng

Ketiga sumber pasokan tersebut dapat digunakan namun akan mempengaruhi kepada mutu minyak, harga bahan baku, dan jumlah ketersediaan pasokan. Untuk menanggulangi kemungkinan kekurangan pasokan bahan baku maka perhitungan jumlah ketersediaan pasokan tidak hanya berasal dari domestik tetapi juga berasal dari luar negeri (import).
Dengan terbukanya peluang berusaha dan pemasaran dalam perdagangan bebas maka beberapa produk baik yang sejenis atau substitusi akan dijumpai dengan mudah dipasar baik nasional maupun internasional. Dalam situasi yang demikian maka konsumen akan mempunyai peluang yang sangat luas dan bebas memilih barang yang diinginkan.. Oleh sebab itu nisbah antara harga dan mutu akan sangat menentukan dalam keberhasilan pengembangan agroindustri perikanan. Rendahnya harga yang dipengaruhi oleh tingginya efisiensi akan memberikan peluang konsumen untuk dapat membelinya. Sedangkan tingginya mutu suatu produk akan memberikan jaminan dan keyakinan kepada konsumen untuk mempoleh kepuasan.

Mutu produk industry minyak ikan akan sangat dipengaruhi mutu bahan mentah minyak ikan, penguasaan teknologi emulsifikasi dan enkapsulasi, serta mesin dan peralatan yang digunakan. Ketiga faktor tersebut merupakan tantangan yang harus dihadapi dalam pengembangan industri minyak ikan guna menghasilkan mutu produk yang dapat bersaing dan diterima konsumen. Disamping itu juga seiring dengan pemenuhan akan food safety dimana produsen dituntut untuk dapat memberikan jaminan mutu (quality assurance) terhadap produk yang diproduksi dan dipasarkan maka industri enkapsulasi minyak ikan harus pula menerapkan konsep Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) yang merupakan suatu teknik operasional pengawasan mutu yang bertumpu pada upaya pencegahan sejak dini mulai dari produksi bahan baku, transportasi, pengolahan sampai pada distribusi dan pemasarannya.

Bahan Bacaan :
BPS, 2005
DKP, 2006.
Annonimous, dan lain-lain

Friday, November 2, 2007

“Menata Kembali Ruang Kawasan Budidaya Perikanan di Indonesia”

Luasnya perairan Indonesia yang terdiri dari perairan laut, pesisir, danau, rawa,embung dan daerah aliran sungai merupakan potensi pengembangan budidaya perikanan. Budidaya perikanan adalah kegiatan memproduksi biota (organisme) akuatik (air) secara terkontrol dalam rangka mendapatkan keuntungan. Dengan penekanan terkontrol dan orientasi utnuk mendapatkan keuntungan tersebut, definisi ini mengandung makna bahwa kegiatan budidaya perikanan adalah kegiatan ekonomi yangmengarah pada industri yang tepat waktu, tepat jumlah, tepat mutu dan tepat harga.
Potensi budidaya perikanan yang dibagi menjadi perikanan budidaya laut, perikanan budidaya payau, dan perikanan budidaya tawar masih besar dan belum dimanfaatkan secara optimal. Potensi budidaya perikanan laut khususnya budidaya ikan dan moluska yang diperkirakan masih dapat dikembangkan dengan peningkatan teknologi maupun intensifikasi sehingga akan memiliki nilai ekonomi yang lebih besar. Sementara itu potensi perikanan darat terdiri dari potensi perairan umum (danau, sungai dan rawa), potensi budidaya kolam, dan mina padi. Sedangkan untuk potensi perikanan budidaya payau adalah tambak.
Besarnya pemanfaatan perikanan budidaya dan tingginya nilai ekonomi yang diperoleh tidak mampu berjalan mulus seperti yang kita harapkan. Dalam pengembangannya, seringkali timbul berbagai kendala dan masalah yang sebagian diantaranya berdampak pada konflik seperti kendala lingkungan, permasalahan sosial ekonomi dan budaya, kendala keterbatasan lahan, kualitas dan kuantitas air, serta permasalahan teknologi. Permasalahan yang berpotensi terjadinya konflik adalah masalah lingkungan yang berkaitan dengan masalah penggunaan wilayah atau ruang untuk budidaya perikanan yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan yang berkaitan dengan pengelolaan sektor lainnya seperti transportasi laut, pariwisata, pemukiman, pertambangan, industri dan pemukiman.
Oleh karena itu, dalam pengelolaan dan pengembangan budidaya perikanan yang berkelanjutan dan lestari salah satunya adalah harus menata ruang penggunaan kawasan yang teratur dengan baik. Penataan ruang pengelolaan budidaya perikanan inilah yang menjadi arahan dalam tulisan ini.

Pembahasan
a. Ruang Lingkup Budidaya Perikanan
Budidaya perikanan memiliki cakupan yang luas ditinjau berdasarkan pada ruang (spasial), sumber air yang digunakan, dan jenis kegiatan.
(1) Budidaya Perikanan Berdasarkan Spasial
Budidaya perikanan bias dilakukan di darat dan dilaut, mulai wilayah pegunungan, perbukitan, dataran rendah, pantai, perairan dangkal dan laut lepas. Berdasarkan zonasi darat dan laut dikenal inland aquaculture dan marine aquaculture (marikultur). inland aquaculture adalah budidaya perikanan yang dilakukan di darat dengan menggunakan sumber air berupa air tawar atau air payau. Sedangkan marikultur adalah kegiatan budidaya yang dilakukan di laut.
(2) Budidaya Perikanan Berdasarkan Sumber Air
Air yang digunakan sebagai media untuk keperluan budidaya perikanan dibedakan berdasarkan salinitasnya atau kandungan garam (NaCl) menjadi perairan tawar, perairan payau dan perairan laut.
Perairan laut dengan kadar salinitas >32 ppt terdapat di laut atau kawasan pantai yang kurang dipengaruhi oleh perairan di daratan sehingga salinitas yang tinggi. Luas lahan total perairan laut yang berpotensi untuk budidaya ikan (kakap, baronang dan kerapu) sekitar 1.059.720 ha, dan budidaya moluska (kerang-kerangan) dan teripang sekitar 720.500 ha. Sedangkan potensi produksi dari kegiatan budidaya ikan dan moluska diperkirakan sekitar 46,73 juta ton per tahun. Potensi budidaya laut yang terdiri dari total potensi budidaya ikan (kakap, baronang dan kerapu), budidaya moluska (kerang-kerangan dan teripang) dan budidaya rumput laut serta mutiara mencapai volume total 528,4 ribu ton, memiliki potensi nilai ekonomi sekitar US$ 567,00 juta.
Perairan payau terdapat di kawasan pesisir, seperti pantai, muara sungai, rawapayau, serta kawasan yang masih dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Nilai salinitas di perairan ini bergantung pada pengaruh tersebut sehingga menjadi perairan payau yang mengarah ke tawar atau payau yang mengarah ke asin. Potensi perikanan budidaya payau (tambak) cukup besar, yaitu sekitar 866.550 ha. Sampai tahun 1996, potensi lahan budidaya baru dimanfaatkan sekitar 344.759 ha, dan sebagian besar potensi ini terdapat di kawasan timur Indonesia. Peluang pengembangan perikanan budidaya ini juga terbuka lebar mengingat tingkat pemanfaatannya masih rendah, dan dapat mendatangkan devisa yang cukup besar. Jika potensi ini digarap secara optimal dengan mengusahakan sekitar 500.000 ha saja, dengan target produksi konservatif sekitar 2 ton udang windu per hektar, setiap tahunnya setidaknya bisa dihasilkan 1 juta ton. Jika harga per kilogram US$ 10 maka nilai yang diperoleh mencapai US$ 10 milyar.
Perairan Tawar terdapat di daratan berupa mata air, sungai, danau, waduk saluran irigasi, air hujan dan sumur, serta genangan air lainnya di pegunungan, perbukitan, dataran tinggi hingga dataran rendah dan pantai. Perairan ini dikenal sebagai perairan umum. Total potensi perairan umum di Indonesia tahun 1993 adalah sekitar 141.820 ha, dengan potensi produksi sekitar 356.020 ton per tahun. Keseluruhan potensi perikanan dari perairan umum ini secara ekonomi mencapai nilai US$ 1 milyar. Sedangkan potensi pengembangan budidaya kolam terdiri dari potensi irigasi sekitar 3.755.904 ha dan potensi lahan seluas 375.800 ha, yang memiliki potensi produksi sekitar 805.700 ton per tahun. Sementara itu, untuk potensi minapadi yang terdapat di Indonesia untuk potensi irigasi seluas 1.760.827 ha, potensi lahan seluas 880.500 ha dengan potensi produksi sekitar 233.400 ton per tahun. Nilai ekonomi kedua potensi budidaya air tawar ini diperkirakan mencapai US$ 5,19 milyar.
(3) Budidaya Perikanan Berdasarkan Kegiatan
Kegiatan budidaya perikanan berdasarkan kegiatan mencakup kegiatan pengadaan sarana dan prasarana produksi, proses produksi hingga panen, penanganan pascapanen, dan pemasaran. Kegiatan pengadaan sarana dan prasarana produksi meliputi pemilihan lokasi, pengadaan bahan dan pembangunan fasilitas produksi, pengadaan induk, benih ,pakan, pupuk, obat-obatan, pestisida, peralatan akuakultur, dan tenaga kerja. Kegiatan proses produksi meliputi kegiatan persiapan wadah kultur, penebaran, pemberian pakan, pengelolaan lingkungan, pengelolaan kesehatan ikan, pemantauan ikan sampai pemanenan. Sedangakan kegiatan penanganan pascapanen dan pemasaran meliputi kegiatan meningkatkan mutu produk hingga bisalebih diterima konsumen, distribusi produk, dan pelayanan terhadap konsumen.

b. Kendala dan Permasalahan dalam Budidaya Perikanan
Secara umum dalam usaha budidaya perikanan laut, payau dan tawar ditemukan berbagai kendala dalam pengembangan dan pengelolaannya. Kendala dan permasalahan tersebut diantaranya kendala lingkungan, permasalahan sosial ekonomi dan budaya, masalah kelembagaan, kendala keterbatasan lahan, kualitas dan kuantitas air, serta permasalahan teknologi.
(1) Kendala Lingkungan
Kendala lingkungan diantaranya penataan wilayah atau penataan ruang pengembangan budidaya yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan, kerusakan lingkungan lahan budidaya akibat pengelolaan yang keliru, pencemaran lingkungan seperti pencemaran laut dan aktivitas manusia, degradasi tanah dengan segala aspek komplikasinya dalam kurun waktu yang panjang. Meskipun potensi perikanan budidaya kita yang tinggi dengan garis pantai sepanjang kurang lebih 81.000 km, tidak semua sumberdaya lahan tersebut dapat dikembangkan untuk budidaya. Masing-masing budidaya memiliki prasyarat tertentu dan batas-batas untuk dikembangkan.
Dalam pengembangan budidaya perikanan, selain mempertimbangkan kesesuain tempat juga harusmemperhatikan daya dukung lingkungan. Daya dukung tersebut diantaranya ditentukan oleh mutu perairan dan tanah, sumber air, arus dan pasang surut, topografi dan klimatologi, dan lain-lain. Tidak dipenuhinya daya dukung lingkungan terjadi oleh berbagai akibat seperti (a) pencemaran laut dan sungai seperti karena penggunaan transportasi dan pertambangan; (b) eutrofikasi (meningkatnya kesuburan perairan secara berlebihan) akibat pemupukan kelebihan pakan yang tidak terkonsumsi seperti red tide yangterjadi di Teluk Jakarta dan penurunan kualitas perairan tambak di pantai Utara Pulau Jawa; (c) aktivitas manusia di daratan seperti pembuangan limbah baik rumah tangga, industri, pertambangan (terjadi di Teluk Buyat), pertanian (akibat penggunaan pestisida dan pupuk kimiawi yang terbuang), penebangan hutan (erosi yang menimbulkan pelepasan dan dekomposisi bahan-bahan kimiawi yang mengalir terbawa aliran air hujan dan sungai); (d) pengelolaan pemanfaatan perairan yang kurang baik yang dapat menimbulkan umbalan (upwelling) yang terjadi karena fenomena alam berupa perubahan suhu yang mengakibatkan terbawanya materi dasar ke permukaan. Kasus ini contohnya terjadi di Waduk Saguling.
(2) Permasalahan Sosial Ekonomi dan Budaya
Persoalan yang menyangkut sosial ekonomi dan budaya diantaranya meliputi aspek-aspek ketersediaan sarana dan prasarana produksi, nilai ekonomi produksi, budaya perikanan, serta rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Secara umum wilayah perairan yang potensial menjadi lahan budidaya perikanan masih memiliki sarana dan prasarana yang terbatas seperti jaringan transportasi, listrik, dan komunikasi.
(3) Permasalahan Teknologi
Permasalahan ini berkaitan dengan penyediaan teknologi pembenihan masih belum sepenuhnya memadai karena belum terpecahkannya masalah transportasi benih, penyediaan pakan buatan dan penguasaan teknik pembasmian penyakit di tingkat petani ikan. Selain itu pengembangan usaha budidaya laut dalam karamba jarring apung (KJA) masih mengalami berbagai kendala antara lain belum adanya tata ruang pengembangan budidaya, belum dikuasainya teknologi, belum tercukupinya pasok benih dan sarana produksi lain seperti pakan dan obat-obatan serta belum terkendalinya masalah lingkungan dan penyakit.
(4) Permasalahan Kelembagaan
Permasalahan kelembagaan meliputi keterbatasan pelayanan penyuluhan oleh pemerintah, organisasi petani ikan belum berkembang dengan baik oleh karena kualitas sumberdaya manusia masih sangat rendah dan masih lemahnya dukungan dari lembaga keuangan bank dan non-bank dalam hal dukungan permodalan dan pengelolaan usaha.
(5) Kendala Keterbatasan Lahan
Kendala ini terjadi dalam usaha budidaya perikanan di darat, dimana usaha budidaya di perairan umum tersebut tidak bisa dimanfaatkan dalam usaha budidaya skala besar.

c. Konflik Pemanfaatan Ruang Budidaya Perikanan
Potensi budidaya perikanan baik di perairan laut, payau dan tawar yang sangat besar sebagaimana dijelaskan di atas merupakan lahan potensial yang memiliki nilai ekonomi tinggi, sehingga menarik berbagai investor untuk memanfaatkannya. Namun demikian, pemanfaatan usaha budidaya perikanan yang akan dilaksanakan atau yang sudah dilaksanakan saat ini masih banyak ditemui konflik-konflik pemanfaatan. Konflik pemanfaatan ruang yang terjadi diidentifikasi berdasarkan faktor-faktor kepemilikan, kewenangan, kepastian hukum, kepentingan, serta masalah pengawasan dan pengendalian.
Masalah kepemilikan; Konflik antara undang-undang dengan hukum adat atau perorangan terjadi pada persoalan status kepemilikan sumberdaya alam di wilayah pesisir. Di dalam UU No. 6/1996 tentang Perairan Indonesia Pasal 4, status sumber daya alam perairan pesisir dan laut, secara substansial, merupakan milik negara (state property). Sebaliknya, masyarakat adat atau perorangan mengklaim sumber daya di perairan tersebut dianggap sebagai hak pribadi atau hak ulayat (common property) berdasarkan hukum adat yang telah ada jauh sebelum berdirinya Negara Indonesia. Masalah kepemilikan sumberdaya juga terjadi di perairan umum, dimana perairan dianggap secara turun temurun menjadi milik pribadi atau hak adat. Masalah ini juga muncul ketika dimulainya desentralisasi dengan undang-undang otonomi daerah yang dipersepsikan bahwa perairan adalah milik daerah tertentu sehingga nelayan dari daerah lain dilarang untuk masuk ke wilayahnya,padahal sebenarnya berada di wilayah luar kewenangan sejauh 12 mil laut.
Ketidakpastian hukum yang terjadi pada bidang penguasaan/pemilikan wilayah perairan juga berkaitan dengan UU No. 5/1960 terjadi Ketentuan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang hanya diatur sebatas pemilikan/penguasaan tanah sampai pada garis pantai. Memang, ada ketentuan tentang Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan di dalam undang-undang ini, tetapi baru sekadar disebutkan saja tanpa ada rincian pengaturannya.
Masalah kewenangan; Konflik dapat terjadi secara horizontal maupun secara vertical. Secara horizontal, konflik terjadi antar sektor yang memiliki kewenangan pengembangan dan pengelolaan di wilayah perairan. Pengembangan budidaya perikanan yang memerlukan lahan baik di laut maupun di darat dapat saja bersinggungan dengan pengembangan sektor lainnya seperti sektor pariwisata, sektor pemukiman, sektor perhubungan laut. Konflik yang terjadi antar sektor dapat saja terjadi berkaitan dengan masalah kewenangan penanganan suatu wilayah pengelolaan. konlik secara vertical terjadi pada saat pemerintah pusat atau pemerintah di daerah melakukan suatu keputusan atau kebijakan yang saling bertentangan. Kewenangan daerah yang sudah kuat dengan adanya UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah memberikan ruang bagi daerah untuk mengelola daerahnya. Namun terkadang dengan kekuasaan dan wewenang yang kuat tersebut pemerintah daerah seringkali melakukan suatu kebijakan yang bertentangan dengan peraturan yang menjadi wewenang pemerintah pusat.
Masalah Peraturan dan hukum; Selama ini, kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir hanya dilakukan berdasarkan pendekatan sektoral yang didukung UU tertentu yang menguntungkan instansi sektor dan dunia usaha terkait. Akibatnya, pengelolaan perairan khususnya perairan laut cenderung eksploitatif, tidak efisien, dan berkelanjutan (sustainable). Pada dasarnya, hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia terjadi konflik-konflik antara berbagai pihak yang berkepentingan. Masing-masing mempunyai tujuan, target, dan rencana untuk mengeksploitasi sumberdaya perairan. Perbedaan tujuan, sasaran, dan rencana tersebut mendorong terjadinya konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan.
Konflik antar UU terjadi pada bidang pengaturan tata ruang wilayah pesisir dan laut. Di dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang ditentukan bahwa penataan ruang diatur secara terpusat dengan UU (Pasal 9). Sebaliknya, di dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah ditentukan bahwa penataan ruang wilayah laut sejauh 12 mil merupakan kewenangan propinsi dan sepertiganya kewenangan kabupaten/kota.
Selain itu, dengan disahkannya Undang-Undang (UU) Penanaman Modal oleh pemerintah pada akhir Maret 2007 akan berpotensi mengancam usaha perikanan budidaya di tanah air. Undang-Undang Penanam Modal memberikan keistimewaan yang lebih terhadap penanam modal asing untuk memiliki hak guna usaha lahan sehingga nantinya sektor perikanan budidaya hanya akan dikuasai sedikit pengusaha asing yang memiliki modal besar. Salah satu keistimewaan hak penguasaan terhadap tanah yang diberikan kepada pemodal asing yakni tercantum dalam pasal 22 Undang-Undang Penanamal Modal yang mengijinkan HGU selama 95 tahun dan bisa diperpanjang sekaligus selama 60 tahun sehingga mereka langsung bisa menguasai lahan selama 150 tahun. Kondisi tersebut, akan semakin merugikan jika pemodal asing menguasai garis pantai seluruh Indonesia karena lahannya telah mereka miliki sehingga menutup akses bagi masyarakat.
Permasalahan lainnya yang berpotensi konflik adalah berkaitan dengan Keputusan Presiden No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung menetapkan suatu wilayah sebagai kawasan lindung. Namun dalam kenyataannya ketetapan tersebut masih banyak dilanggar, karena alas an bahwa kawasan tersebut telah terlanjur berkembang menjadi kawasan budidaya sebelum Keppres dikeluarkan, karena masyarakat tidak memiliki pilihan lain untuk tinggal di kawasan yang lebih aman karena keterbatasan ekonomi dan atau keterikatan adat yang kuat dengan tanah kelahiran, karena kawasan tersebut merupakan kawasan yang subur sehingga mengundang untuk dikembangkan sebagai kawasan budidaya.
Masalah kepentingan; Setiap orang dan perusahaan bebas menentukan lokasi budidaya tanpa berintegrasi dan bersinergi dengan usaha atau kegiatan dalam satu sektor maupun dengan sektor lain. Setiap lokasi wilayah dianggap dapat dikembangkan dan diklaim sebagai tempat yang cocok untuk budidaya perikanan, atau lahan yang cocok untuk pengembangan budidaya serta sudah dikelola sebagai lahan budidaya dijadikan atau dialihfungsikan sebagai kawasan perumahan, pertambangan, industri, pertanian dan lain-lain. Sehingga dapat terjadi pertentangan antara usaha budidaya dengan sektor lain karena masalah kepentingan.

d. Kebijakan Penataan dan Pengaturan Tata Ruang Budidaya Perikanan
Berdasarkan UU No. 24 Tahun 1992, pengertian penataan ruang tidak terbatas pada proses perencanaan tata ruang saja, namun lebih dari itu termasuk proses pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang dibedakan atas hirarki rencana yang meliputi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, Provinsi, Kabupaten, dan Kota, serta rencana-rencana yang sifatnya lebih rinci; pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan; dan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW-nya. Selain merupakan proses, penataan ruang sekaligus juga merupakan instrumen yang memiliki landasan hukum untuk mewujudkan sasaran pengembangan wilayah.
Penataan dan pengaturan ruang juga berlaku dalam pengembangan kawasan budidaya. Kawasan budidaya dimaksud adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas daerah kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
Secara umum, strategi dan arahan kebijaksanaan pengembangan kawasan budi daya meliputi langkah-langkah pengembangan kawasan budi daya secara terpadu yang dilakukan untuk meningkatkan kelestarian manfaatnya bagi semua orang melalui peningkatan keterkaitan antara satu kegiatan dengan kegiatan lainnya yang saling berhubungan, serta pencegahan dampak negatif yang dapat terjadi terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup dan kehidupan politik, sosial, dan budaya masyarakat setempat.
Pengembangan kawasan budi daya tersebut meliputi pengembangan berbagai usaha dan/atau kegiatan, pengembangan sistem permukiman, pengembangan jaringan transportasi nasional, pengembangan energi dan jaringan kelistrikan nasional, pengembangan jaringan telekomunikasi nasional, serta pengembangan jaringan prasarana dan sarana air baku nasional. Pengembangan berbagai usaha dan/atau kegiatan di kawasan budi daya dilakukan untuk meningkatkan kegiatan produksi dan jasa yang bersumber dari potensi sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sumber daya manusia dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Pengembangan berbagai usaha dan/atau kegiatan satu dengan yang lainnya beserta prasarana penunjangnya di kawasan budi daya dilakukan secara selaras dan serasi sehingga tercipta sinergi antarkegiatan dalam mewujudkan tata ruang yang optimal, efisien, tertib, dan teratur.
Untuk mewujudkan keterkaitan antara satu kegiatan dengan kegiatan lainnya yang saling mendukung serta mencegah dampak negatif yang dapat terjadi terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup dan kehidupan politik, sosial, dan budaya masyarakat setempat dilakukan penetapan kawasan budi daya berdasarkan kriteria kawasan budi daya yang telah diatur. Di dalam kawasan budi daya dipilih kawasan-kawasan yang dapat berperan mendorong pertumbuhan ekonomi bagi kawasan tersebut dan kawasan di sekitarnya, serta dapat mewujudkan pemerataan pemanfaatan ruang di wilayah nasional.
Kriteria kawasan budi daya merupakan ukuran yang digunakan untuk penentuan suatu kawasan yang ditetapkan untuk berbagai usaha dan/atau kegiatan dan yang dibagi dalam:
(1) kriteria teknis sektoral, yaitu ukuran untuk menentukan bahwa pemanfaatan ruang untuk suatu kegiatan dalam kawasan memenuhi ketentuan-ketentuan teknis, daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, kesesuaian ruang, dan bebas bencana; dan
(2) kriteria ruang, yaitu ukuran untuk menentukan bahwa pemanfaatan ruang untuk suatu kegiatan budidaya dalam kawasan, menghasilkan nilai sinergi terbesar terhadap kesejahteraan masyarakat sekitarnya dan tidak bertentangan dengan pelestarian fungsi lingkungan hidup, yang didasarkan pada azas-azas sebagai berikut:
a) saling menunjang antarkegiatan yang meliputi : peningkatan daya guna pemanfaatan ruang serta sumber daya yang ada di dalamnya guna perkembangan kegiatan sosial ekonomi dan budaya; dan dorongan terhadap perkembangan kegiatan sekitarnya.
b) kelestarian fungsi lingkungan hidup yang meliputi: jaminan terhadap ketersediaan sumber daya dalam waktu panjang; dan jaminan terhadap kualitas lingkungan hidup.
c) tanggap terhadap dinamika perkembangan yang meliputi: peningkatan pendapatan masyarakat; peningkatan pendapatan daerah dan nasional; peningkatan kesempatan kerja; peningkatan ekspor; dan peningkatan peran serta masyarakat dan kesesuaian sosial budaya.
Pengembangan budidaya perikanan yang diharapkan mampu mengurangi konflik, tertatanya dan teraturnya pengelolaan yang berdampingan dengan sektor-sektor pembangunan lainnya, maka kebijakan dalam penataan ruang budidaya perikanan payau dan laut yang berada di wilayah pesisir dan lautan yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
(1) Pertama, program yang mendukung kebijakan pembangunan infrastruktur pengembangan budidaya perikanan, antara lain (i) penataan ruang pengembangan pulau-pulau kecil, (ii) peningkatan kebutuhan air baku untuk pulau-pulau kecil seperti di Kepulauan Riau, Nias Selatan, Selayar, dan lain-lain, (iii) perlindungan pantai termasuk permukiman nelayan dari abrasi, (iv) pembangunan jaringan jalan di pulau-pulau terpencil dan daerah terisolasi.
(2) Kedua, program yang mendukung kebijakan penataan ruang untuk mendukung pusat-pusat produksi dan ketahanan pangan serta keseimbangan pembangunan antar daerah, antara lain (i) operasionalisasi RTRWN, RTR Pulau, RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota dan Kawasan sebagai acuan pengembangan wilayah dan pembangunan infrastruktur. Melalui ketersediaan rencana tata ruang sebagai acuan spasial, maka diharapkan semua potensi kelautan dan perikanan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan, (ii) program pengawasan dan pengendalian pantai dan laut, (iii) peningkatan kualitas lingkungan permukiman kawasan kumuh dan nelayan, (iv) peningkatan akses jalan di kawasan cepat tumbuh di daerah-daerah tertentu.
Pembangunan infrastruktur berbasis penataan ruang untuk mendukung pusat-pusat produksi dan meningkatkan kualitas lingkungan perumahan juga dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dan produktivitas dari permukiman di pesisir pantai melalui peningkatan kualitas lingkungan permukiman nelayan, pengembangan desa-desa pusat pertumbuhan di pesisir pantai yang potensial, dimana upaya ini dilaksanakan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat agar terjamin keberlanjutannya. Selain itu, kebijakan tersebut juga ditujukan untuk meningkatkan kemudahan kegiatan usaha budidaya perikanan mulai kegiatan produksi dampai distribusi (termasuk pemasaran) produksi budidaya perikanan di kawasan pesisir dan laut.
(3) Ketiga, program yang mendukung kebijakan penataan ruang untuk keselarasan dan keseimbangan sosial ekonomi dan budaya antara lain (i) melakukan koordinasi dan sosialisasi dengan sector-sektor pembangunan lainnya, khususnya mengedepankan pengelolaan kawasan konserasi/lindung; (ii) melakukan koordinasi dan sosialisasi dengan semua unsur yang berkepentingan (stakeholder) dalam perencanaan, pengendalian dan pengawasan pengelolaan budidaya perikanan yang ramah lingkungan.
Sedangkan, kebijakan dalam penataan ruang budidaya perikanan umum di darat yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :
(1) Mempertahankan kawasan lindung/konservasi (tidak boleh dikonversi).
(2) Melakukan koordinasi dengan sector-sektor pembangunan lainnya (pertanian, kehutanan, pariwisata, industri, pertambangan) dalam rangka penanganan dan penertiban usaha-usaha dan aktivitas manusia yang berdampak pada perusakan sumber air bagi kelangsungan budidaya perikanan.
(3) Membuat kajian tentang master plan pengendalian dan pengelolaan sumberdaya air di beberapa wilayah potensial pengembangan budidaya perikanan.
(4) Menata pencegahan pencemaran air melalui pengendalian limbah-limbah industri dan rumah tangga.
(5) Memberikan penyuluhan pada masyarakat untuk ikut berperan serta dalam menjaga pelestarian lingkungan.
(6) Melakukan pengaturan kembali manajemen transportasi yang dilakukan di wilayah perairan.

Penutup
Keempat belas sektor meliputi sektor pertanahan, pertambangan, perindustrian, perhubungan, perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, konservasi, tata ruang, pekerjaan umum, pertahanan, percepatan daerah tertinggal, pemukiman, dan pemerintahan daerah memiliki akses baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pengembangan dan pengelolaan sumberdaya perairan. Dalam pelaksanaannya penataan ruang bagi setiap sector terkadang mengabaikan ruang pengembangan sector lainnya.
Kegiatan-kegiatan yang telah dibuat dan diatur dalam perundang-undangan umumnya bersifat sektoral dan difokuskan pada eksploitasi sumberdaya tertentu. Undang-undang tersebut terdikotomi untuk meregulasi pemanfaatan sumberdaya di darat saja atau di perairan laut saja. Oleh karena itu, perlu dilakukan penataan dan pengaturan ruang khususnya dalam kegiatan budidaya perikanan agar tidak menimbulkan konflik baik secara sosial dan ekonomi.
Kebijakan dalam pengaturan ruang pengembangan budidaya perikanan tersebut intinya adalah mengedepankan kawasan konservasi/lindung karena berkaitan dengan kelangsungan sumberdaya yang lestari, melakukan koordinasi dan sosialisasi dengan pihak-pihak lain agar dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan budidaya perikanan dapat selaras dan seimbang, serta melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat khususnya yang melakukan kegiatan usaha agar mengerti dan memahami pentingnya usaha budidaya perikanan yang berkelanjutan dan tetap menjaga agar lingkungan lestari.


Bahan Pustaka
ANTARA News. 2007. UU Penanaman Modal Ancam Usaha Perikanan Budidaya. http://www.antara.co.id/arc/2007/4/3/uu-penanaman-modal-ancam-usaha-perikanan-budidaya/ . Jakarta
Efendi, I., dkk. 2006. Materi Pokok Budidaya Perikanan. Universitas Terbuka. Jakarta.
Haluan, J., dkk. 2007. Materi Pokok Studi Lapangan. Universitas Terbuka. Jakarta.
Kusumastanto, T., 2006. Materi Pokok Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut. Universitas Terbuka. Jakarta.
Kompas. 2007. Budidaya Belum Didukung Tata Ruang. http://kompas.com/kompas-cetak/0407/17/ekonomi/1152664.htm. Download 30 Oktober 2007.
Purnomo, A.H., 2007. Materi Pokok Ekonomi Pembangunan Perikanan. Universitas Terbuka. Jakarta.
Sulistiyo. B., 2007. Materi Pokok Legalitas Hukum Kelautan dan Perikanan. Universitas Terbuka. Jakarta.Walhi. 2007. Aksi Hukum Pesisir dan Laut. http://www.walhi.or.id/kampanye/pela/pesisir-_laut_info_040604/. Download 30 Oktober 2007.


”Menuju Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan Indonesia yang Optimal”

I. Pendahuluan
Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 menyatakan, bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dariperairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia. Karena diawali oleh Deklarasi Djuanda 13 Desember1957 itulah, maka negara Indonesia memiliki wilayah laut sangat luas 5,8 juta km2 yang merupakan tiga per empat dari keseluruhan wilayah Indonesia. Di dalam wilayah laut tersebut terdapat sekitar 17.500 lebih dan dikelilingi garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Fakta fisik inilah yang membuat Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia.
Selain peran geopolitik, wilayah laut kita juga memiliki peran geokonomi yang sangat penting dan strategis bagi kejayaan dan kemakmuran bangsa Indonesia. Sebagai negara kepulauan dan maritimterbesar di dunia, Indonesia diberkahi Tuhan YME dengan kekayaan laut yang sangat besar dan beraneka-ragam, baik berupa sumberdaya alam terbarukan (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumputlaut, dan produk-produk bioteknologi); sumberdaya alam yang takterbarukan (seperti minyak dan gas bumi, emas, perak, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya); energi kelautan sepertipasang-surut, gelombang, angin, dan OTEC (Ocean Thermal EnergyConversion); maupun jasa-jasa lingkungan kelautan seperti pariwisata bahari dan transportasi laut.

Sayangnya, kita bangsa Indonesia di masa lalu melupakan jati diri sebagai bangsa maritim terbesar di dunia. Sumberdaya kelautan hanya dipandang "sebelah mata". Kalaupun ada kegiatan pemanfaatan sumberdaya kelautan, dilakukan secara kurang profesional dan ekstraktif, kurang mengindahkan aspek kelestarian sumberdaya. Sebaliknya, laut dipersepsikan sebagai tempat buangan (keranjang sampah) berbagai macam jenis limbah baik yang berasal dari kegiatan manusia di darat maupun di laut. Dukungan infrastruktur, IPTEK, SDM, sumberdaya keuangan, hukum dan kelembagaan terhadap bidang kelautan di masa lalu sangat minim. Pengelolaan dan pendayagunaan kekayaan laut berjalan tidak optimal yang dicerminkan antara lain dengan adanya kesenjangan yang tajam di sisi kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat serta terjadinya kerusakan lingkungan kawasan pesisir dan laut hingga mengancam kelestariannya.

Padahal berbagai kegiatan ekonomi berbasis sumber daya kelautan yang sangat luas dan beragam bila dikelola secara berkelanjutan dapat memberikan pendapatan yang sangat besar. Pertanyaan yang kemudian muncul mengapa potensi ekonomi kelautan yang demikian besar pencapaiannya masih terlalu rendah. Salah satu penyebab yang terpenting adalah rendahnya perhatian dan komitmen pemerintah yang diberikan selama ini. Di samping itu terdapat persoalan internal dan eksternal yang secara struktural masih menjadi kendala. Permasalahan internal yang dimaksud antara lain tingkat pemanfaatan sumber daya, teknologi dan manajemen yang rendah disertai tingkat kemiskinan serta keterbelakangan masyarakat pesisir dan lautan yang masih meluas. Adapun permasalahan yang bersifat eksternal, umumnya karena kebijaksanaan ekonomi makro (political economy), antara lain kebijakan moneter maupun fiskal yang belum mendukung pembangunan berbasis kelautan dengan masih tingginya suku bunga, maupun belum adanya suatu program kredit lunak yang diperuntukkan bagi sektor kelautan.
Akibat itu semua, potret pembangunan berbasis kelautan Indonesia pada masa lalu dicirikan secara dominan oleh kegiatan yang bersifat ekstraktif, seperti penangkapan ikan, penambangan bahan tambang dan mineral, penebangan dan konversi hutan mangrove, aktivitas pelabuhan dan perhubungan laut yang tidak mengindahkan aspek kelestarian lingkungan.
Oleh karena itu, pada makalah ini dibahas mengenai pentingnya pengembangan potensi kelautan yang optimal bagi peningkatan kesejahteraan bangsa Indonesia. Pengembangan kelautan tersebut diawali dengan adanya isu-isu permasalahan yang ada dan ditindaklanjuti dengan uapaya pengelolaan kelautan dengan menggunakan prinsip-prinsip pengelolaan yang berkelanjutan, terpadu, desentralisasi pengelolaan, pemberdayaan masyarakat dan kerjasama internasional.

II. Potensi Sumberdaya Kelautan
Potensi dan peluang pengembangan kelautan meliputi (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan dan perikanan, (5) pengembangan pulau-pulau kecil, (6) pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal Tenggelam, (7) deep sea water, (8) industri garam rakyat, (9) pengelolaan pasir laut, (10) industri penunjang, (11) pengembangan kawasan industri perikanan terpadu, dan (12) keanekaragaman hayati laut.

a. Perikanan
Laut Indonesia memiliki luas lebih kurang 5,8 juta km2 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, dengan potensi sumberdaya ikan diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan perairan ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia), yang terbagi dalam sembilan wilayah perairan utama Indonesia.
Di samping itu terdapat potensi pengembangan untuk (a) budidaya laut terdiri dari budidaya ikan (antara lain kakap, kerapu, dan gobia), budidaya moluska (kerang-kerangan, mutiara, dan teripang), dan budidaya rumput laut, dan (e) bioteknologi kelautan untuk pengembangan industri bioteknologi kelautan seperti industri bahan baku untuk makanan, industri bahan pakan alami, benih ikan dan udang, industri bahan pangan.
b. Pertambangan dan energi
Potensi sumberdaya mineral kelautan tersebar di seluruh perairan Indonesia. Sumberdaya mineral tersebut diantaranya adalah minyak dan gas bumi, timah, emas dan perak, pasir kuarsa, monazite dan zircon, pasir besi, agregat bahan konstruksi, posporit, nodul dan kerak mangan, kromit, gas biogenic kelautan, dan mineral hydrothermal.
c. Perhubungan Laut
Transportasi laut berperan penting dalam dunia perdagangan internasional maupun domestik. Transportasi laut juga membuka akses dan menghubungkan wilayah pulau, baik daerah sudah yang maju maupun yang masih terisolasi. Sebagai negara kepulauan (archipelagic state), Indonesia memang amat membutuhkan transportasi laut, namun, Indonesia ternyata belum memiliki armada kapal yang memadai dari segi jumlah maupun kapasitasnya. Data tahun 2001 menunjukkan, kapasitas share armada nasional terhadap angkutan luar negeri yang mencapai 345 juta ton hanya mencapai 5,6 persen. Adapun share armada nasional terhadap angkutan dalam negeri yang mencapai 170 juta ton hanya mencapai 56,4 persen. Kondisi semacam ini tentu sangat mengkhawatirkan terutama dalam menghadapi era perdagangan bebas. Selain diperlukan suatu kebijakan yang kondusif untuk industri pelayaran, maka Peningkatan kualitas SDM yang menangani transportasi sangatlah diperlukan.

Karena negara Indonesia adalah negara kepulauan maka keperluan sarana transportasi laut dan transportasi udara diperlukan. Mengingat jumlah pulau kita yang 17 ribu buah lebih maka sangatlah diperlukan industri maritim dan dirgantara yang bisa membantu memproduksi sarana yang membantu kelancaran transportassi antar pulau tersebut. Potensi pengembangan industri maritim Indonesia sangat besar, mengingat secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau. Untuk menjangkau dan meningkatkan assesbilitas pulau dapat dihubungkan melalui peran dari sarana transportasi udara (pesawat kecil) dan sarana transportasi laut (kapal, perahu, dan sebagainya).
d. Pariwisata Bahari
Indonesia memiliki potensi pariwisata bahari yang memiliki daya tarik bagi wisatawan. Selain itu juga potensi tersebut didukung oleh kekayaan alam yang indah dan keanekaragaman flora dan fauna. Misalnya, kawasan terumbu karang di seluruh Indonesia yang luasnya mencapai 7.500 km2 dan umumnya terdapat di wilayah taman laut. Selain itu juga didukung oleh 263 jenis ikan hias di sekitar terumbu karang, biota langka dan dilindungi (ikan banggai cardinal fish, penyu, dugong, dll), serta migratory species.
Potensi kekayaan maritim yang dapat dikembangkan menjadi komoditi pariwisata di laut Indonesia antara lain: wisata bisnis (business tourism), wisata pantai (seaside tourism), wisata budaya (culture tourism), wisata pesiar (cruise tourism), wisata alam (eco tourism) dan wisata olah raga (sport tourism).

III. Isu dan Masalah Pengelolaan
a. Isu Kerusakan Ekosistem

Kerusakan ekosistem yang sangat berpengaruh pada tingkat produktivitas sumber daya kelautan meliputi: ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, padang lamun dan estuaria, serta ekosistem budidaya laut. Kondisi terumbu karang saat ini mencapai kerusakan rata-rata 40% dengan rincian : rusak berat 40,14%, rusak sedang 29,22%, dan baik 6,41-24,23%. Di Indonesia Barat kondisi memuaskan tinggal 3,93%, di Indonesia Tengah tinggal 7,09%, sedangkan di Indonesia Timur kondisi memuaskan tinggal 9,80%.
Degradasi ekosistem mangrove juga saat ini terjadi, dimana luasan mangrove dari 4 juta hektar menjadi sekitar 2,5 juta hektar pada periode 1982-1993. Kerusakan ini terjadi akibat konversi kawasan mangrove menjadi lahan tambak, pemukiman, industri, dan lain sebagainya.
Permasalahan kerusakan ekosistem juga terjadi akibat terjadi pemanfaatan sumberdaya ikan yang berlebih (overfishing) di beberapa wilayah perairan Indonesia. Masalah tersebut berdampak pada ketidakberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan.
Kerusakan ekosistem juga terjadi akibat pencemaran ekosistem laut yang bersumber dari dampak kegiatan-kegiatan manusia di darat dan di laut dan berakibat pada penurunan kualitas dan daya dukung ekosistem laut. Kegiatan manusia di laut yang dapat mencemari ekosistem laut diantaranya kegiatan perkapalan dengan arus transportasi lautnya, kegiatan pertambangan, penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, wisata pantai, dan lain sebagainya. Sedangkan kegiatan manusia di darat yang mencemari ekosistem laut diantaranya adalah kegiatan pertanian, pemukiman, industri, kegiatan pertambangan, dan lain-lain.
b. Isu Sosial Ekonomi
Laut sebagai media kontak sosial dan budaya memberikan gambaran kepada kita bahwa dengan terbukanya akses perhubungan di laut akan terjadi kemudahan interaksi secara sosial antar daerah bahkan antar negara. Kemudian interaksi tersebut dapat berimplikasi positif dan dapat juga sebaliknya yang menjadikan akses tindakan criminal seperti illegal logging, perompakan, pencurian sumberdaya, perdagangan illegal dan perdagangan manusia.
Selain itu, masalah ekonomi yang terjadi adalah kemiskinan nelayan yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya di laut. Kemiskinan nelayan ini menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya laut dan potensi-potensi pendukungnya belum dimanfaatkan secara optimal dan bijaksana.
c. Isu Hukum dan Kelembagaan
Isu hukum yang terjadi baik di level nasional maupun daerah antar sektor berkaitan dengan penanganan pengendalian sumberdaya seperti pengawasan, MCS, pengendalian pencemaran lingkungan laut. Beberapa instansi sudah memiliki peraturan mengenai penanganan ini, sedangkan beberapa instansi yang lain belum ada dan masih mengacu pada peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian LH yang masih bersifat umum dan tidak mengatur secara teknis mengenai aktivitas kegiatan yang merupakan instansi teknis. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas, perkapalan dan kepelabuhan serta pariwisata pantai dan laut memerlukan peraturan perundangan detail dan teknis dari masing-masing instansi tersebut.
Isu kelembagaan berkaitan dengan permasalahan koordinasi baik secara horizontal maupun vertical. Koordinasi secara horizontal dimana implementasi koordinasi yang terjadi pada instansi horizontal seperti antar instansi teknis dalam satu level pemerintahan yang masing-masing masih terdapat perbedaan persepsi dan pelaksanaan dalam pengelolaan kelautan. Koordinasi secara vertical dimana implementasi koordinasi yang terjadi pada instansi vertical yaitu pusat, propinsi dan kabupaten/kota yang dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dapat diimplementasikan sebagaimana diamanatkan UU No.32/2004.
d. Isu Pemanfaatan Ruang
Laut dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, misalnya area perikanan, pertambangan, jalur transportasi, jalur kabel komunikasi dan pipa bawah air, wisata bahari dan area konservasi. Artinya laut sebagai ruang dimungkinkan adanya terdapat beberapa jenis pola pemanfaatan dalam satu ruang yang sama. Konflik pemanfaatan ruang dapat saja terjadi apabila penetapan pola-pola pemanfaatan pada ruang yang sama atau berdekatan saling memberikan dampak yang negatif.
Ketidakselarasannya peraturan atau produk hokum dalam pola-pola pemanfaatan laut antar sektor dapat meningkatkan kerentanan konflik kepentingan. Selain itu, kepentingan pemerintah daerah saat ini yang diberikan kewenangan untuk mengelola wilayah lautnya masing-masing banyak disalah tafsirkan, sehingga laut dianggap milik sendiri dan tidak boleh dimanfaatkan oleh orang lain atau pemanfaatan sumberdaya laut dilakukan hanya sekedar untuk menambah devisa tanpa melihat berbagai aspek keberlanjutannya.

IV. Upaya Pengelolaan yang Optimal
a. Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu amanat dari pertemuan Bumi (Earth Summit) yang diselenggarakan tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. Dalam forum global tersebut, pemahaman tentang perlunya pembangunan berkelanjutan mulai disuarakan dengan memberikan definisi sebagai pembangunan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dengan tanpa mengabaikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.
Pengelolaan sumberdaya laut perlu diarahkan untuk mencapai tujuan pendayagunaan potensi untuk meningkatkan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi nasional dan kesejahteraan pelaku pembangunan kelautan khususnya, sertauntuk tetap menjaga kelestarian sumberdaya kelautan khususnya sumberdaya pulih dan kelestarian lingkungan.
b. Keterpaduan
Sifat keterpaduan dalam pembangunan kelautan menghendaki koordinasi yang mantap, mulai tahapan perencanaan sampai kepada pelaksanaan dan pemantauan serta pengendaliannya. Untuk itu , dibutuhkan visi, misi, strategi, kebijakan dan perencanaan program yang mantap dan dinamis. Melalui koordinasi dan sinkronisasi dengan berbagai pihak baik lintas sektor maupun subsektor, tentu dengan memperhatikan sasaran, tahapan dan keserasian antara rencanan pembangunan kelautan nasional dengan regional, diharapkan diperolah keserasian dan keterpaduan perencanaan dari bawah (bottom up) yang bersifat mendasar dengan perencanaan dari atas ( top down) yang bersifat policy, sebagai suatu kombinasi dan sinkronisasi yang lebih mantap.
Keterpaduan dalam pengelolaan sumberdaya kelautan meliputi (1) keterpaduan sektoral yang mensyaratkan adanya koordinasi antar sektor dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan, (2) keterpaduan pemerintahan melalui integrasi antara penyelenggara pemerintahan antarlevel dalam sebuah konteks pengelolaan kelautan tertentu, (3) keterpaduanspasial yang memberikan arah pada integrasi ruang dalam sebuah pengelolaan kawasan laut, (4) keterpaduan ilmu dan manajemen yang menitikberatkan pada integrasi antarilmu dan pengetahuan yang terkait dengan pengelolaan kelautan, dan (5) keterpaduan internasional yang mensyaratkan adanya integrasi pengelolaan pesisir dan laut yangmelibatkan dua atau lebih negara, seperti dalam konteks Transboundary species, high migratory species maupun efek polusi antar ekosistem.
c. Desentralisasi Pengelolaan
Dari 400-an lebih kabupaten dan kota di Indonesia, maka 240-an lebih memiliki wilayah laut. Memperhatikan hal ini maka dalam bagian kesungguhan mengelola kekayaan laut Diharapkan stabilitas politik di negara kita dapat ditingkatkan, penegakan hukum dapat segera dilaksanakan sehingga segala upaya dalam pembangunan SDM, pembangunan ekonomi dapat memperoleh hasil yang optimal. Budaya negeri kita paternalistik, sehingga perilaku pemimpin nasional dan daerah, perilaku pejabat pusat dan daerah akan menjadi refleksi masyarakat luas.
Usaha pemberian otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan dan pembangunan merupakan isu pemerintahan yang lebih santer di masa-masa yang akan datang. Proses perencanaan dan penentuan kebijaksanaan pembangunan yang sekarang masih nampak sentralistis di pemerintahan pusat kiranya perlu didorong untuk mendesentralisasikan ke daerahdaerah.
Selain itu, peranan daerah juga sangat besar dalam proses pemberdayaan masyarakat untuk ikut serta secara aktif dalam proses pembangunan, termasuk di dalamnya pembangunan wilayah pesisir dan lautan. Namun peran tersebut masih perlu ditingkatkan di masa mendatang mengingat peranan sumberdaya pesisir dan lautan dalam pembangunan di masa mendatang makin penting. Peranan daerah juga makin penting, terutama apabila dikaitkan dengan pembinaan kawasan, baik yang berkaitan dengan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya alam maupun masyarakat di daerah, terutama yang berada di kawasan pesisir, yang kehidupannya sangat tergantung pada lingkungan di sekitarnya (lingkungan pesisir dan lautan).
Daerah juga harus dapat meningkatkan peranannya melalui pembinaan dunia usaha di daerah untuk mengembangkan usahanya di bidang kelautan. Artinya proses pemberdayaan bukan hanya diperuntukkan bagi masyarakat pesisir atau masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor kelautan (nelayan), tetapi juga para usahawan (misalnya perikanan) mengantisipasi potensi pasar dalam negeri maupun luar negeri yang cenderung meningkat. Di sektor lain, misalnya budidaya laut juga merupakan potensi untuk mendorong pembangunan baik secara nasional maupun untuk kepentingan masyarakat pesisir.
Secara empiris, trend menuju otonomisasi pengelolaan sumberdaya kelautan ini pun di beberapa negara sudah teruji dengan baik. Contoh bagus dalam hal ini adalah Jepang. Dengan panjang pantai kurang lebih 34.590 km dan 6.200 pulau besar kecil, Jepang menerapkan pendekatan otonomi melalui mekanisme “coastal fishery right”-nya yang terkenal itu. Dalam konteks ini, pemerintah pusat hanya memberikan “basic guidelines” dan kemudian kebijakan lapangan diserahkan kepada provinsi atau kota melalui FCA (Fishebry Cooperative Association). Dengan demikian, terdapat mozaik pengelolaan yang bersifat site-spesific menurut kondisi lokasi di wilayah pengelolaan masing-masing.
d. Pengelolaan Berbasis Masyarakat
Pendekatan pembangunan termasuk dalam konteks sumberdaya kelautan, seringkali meniadakan keberadaan organisasi lokal (local organization). Meningkatnya perhatian terhadap berbagai variabel local menyebabkan pendekatan pembangunan dan pengelolaan beralih dari sentralisasi ke desentralisasi yang salah satu turunannya adalah konsep otonomi pengelolaan sumberdaya kelautan.
Dalam konteks ini pula, kemudian konsep CBM (community based management) dan CM (Co-Management) muncul sebagai “policy badies” bagi semangat ”kebijakan dari bawah” (bottom up policy) yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam. Hal ini diarahkan sesuai dengan tujuan pengelolaan sumberdaya kelautan yang dilakukan untuk mencapai kesejahteraan bersama sehingga orientasinya adalah pada kebutuhan dan kepentingan masyarakat sehingga tidak hanya menjadi objek, melainkan subjek pengelolaan.
e. Isu Global
Memasuki abad ke-21, Indonesia dihadapkan pada tantangan internasional sehubungan dengan mulai diterapkannya pasar bebas, mulai dari AFTA (pasar bebas ASEAN) hingga APEC (pasar bebas Asia Pasifik). Seiring dengan itu, terjadi berbagai perkembangan lingkungan strategis internasional, antara lain (1) proses globalisasi, (2) regionalisasi blok perdagangan, (3) isu politik perdagangan yang menciptakan non-tariff barier, dan (4) isu tarifikasi dan tariff escalation bagi produk agroindustri, dan (5) perkembangan kelembagaan perdagangan internasional.
Terdapat dua aspek globalisasi yang terkait dengan sektor kelautan dan perikanan, yakni aspek ekologi dan ekonomi. Secara ekologi, terdapat berbagai kaidah internasional dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (fisheries management), seperti adanya Code of Conduct for Responsible Fisheries yang dikeluarkan FAO (1995). Aturan ini menuntut adanya praktek pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan, dimana setiap negara dituntut untuk memenuhi kaidah-kaidah tersebut, selanjutnya dijabarkan di tingkat regional melalui organisasi/komisi-komisi regional (Regional Fisheries Management Organizations-RFMOs) seperti IOTC (Indian Ocean Tuna Comission) yang mengatur penangkapan tuna di perairan India, CCSBT, dll. Selain itu, Committee on Fisheries FAO telah menyepakati tentang International Plan of Action on Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing yang mengatur mengenai (1) praktek ilegal seperti pencurian ikan, (2) praktek perikanan yang tidak dilaporkan atau laporannya salah, atau laporannya di bawah standar, dan (3) praktek perikanan yang tidak diatur sehingga mengancam kelestarian stok ikan global.
Sementara itu dalam aspek ekonomi, liberalisasi perdagangan merupakan ciri utama globalisasi. Konsekuensinya adalah ketatnya persaingan produk-produk perikanan pada masa datang. Oleh karenanya produk-produk perikanan akan sangat ditentukan oleh berbagai kriteria, seperti (1) produk tersedia secara teratur dan berkesinambungan, (2) produk harus memiliki kualitas yang baik dan seragam, dan (3) produk dapat disediakan secara masal. Selain itu, produk-produk perikanan harus dapat pula mengantisipasi dan mensiasati segenap isu perdagangan internasional, termasuk: isu kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 14000), isu property right, isu responsible fisheries, precauteonary approach, isu hak asasi manusia (HAM), dan isu ketenagakerjaan.

V. Kesimpulan
Berdasarkan perspektif proses perencanaan dan pengambilan keputusan dalam pembangunan kelautan, terdapat beberapa penyebab utama yang mengakibatkan pola pembangunan kelautan cenderung tidak berkelanjutan, yaitu: (1) laut sebagai sumberdaya milik bersama, (2) dampak lingkungan merupakan eksternalitas, (3) tenggang waktu dampak lingkungan terhadap kehidupan manusia, (4) kebanyakan jasa-jasa lingkungan ekosistem pesisir belum memiliki nilai pasar, (5) orientasi keuntungan ekonomi jangka pendek, (6) kesadaran akan nilai strategis sumberdaya dapat pulih dan jasa lingkungan bagi pembangunan ekonomi masih rendah (7) tingkat pengetahuan dan kesadaran tentang implikasi kerusakan lingkungan terhadap kesinambungan pembangunan ekonomi masih rendah, (8) ketiadaan alternatif pemecahan masalah lingkungan, dan (9) pengawasan, pembinaan, dan penegakan hukum masih lemah.
Oleh karena itu, perlu reformasi pengaturan pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan (environmental governance) yang meliputi keenam hal berikut: (1) kriteria keberhasilan pembangunan, yang meliputi efisiensi ekonomi, pemerataan hasil pembangunan secara adil, terpeliharanya kelestarian lingkungan dan sumberdaya; (2) laut sebagai milik rakyat yang harus dikelola secara co-management (kemitraan masyarakat dan pemerintah), yang meliputi kombinasi "bottom-up" dan "top down approaches", desentralisasi pengelolaan aspekaspek tertentu, dan menghidupkan kembali pengelolaan berbasis masyarakat (community-based management); (3) tata ruang pembangunan pesisir dan lautan serta pengembangan budidaya laut daripada pemanfaatan yang bersifat ekstraktif, (4) penerapan retribusi untuk setiap pemanfaatan kelautan bagi pembinaan dan rehabilitasi lingkungan laut, (5) internalisasi eksternalitas negatif ke dalam unit biaya (cost) dari kegiatan pembangunan yang menimbulkan eksternalitas tersebut, dan (6) dalam memanfaatkan dan mengelola pesisir dan lautan, lingkungan laut harus dianggap sebagai bagian dari ekosistem global.
Untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumber daya kelautan dan perikanan dan menjadikan sektor ini sebagai prime mover pembangunan ekonomi nasional, diperlukan upaya percepatan dan terobosan dalam pembangunan kelautan dan perikanan yang didukung dengan kebijakan politik dan ekonomi serta iklim sosial yang kondusif. Dalam kaitan ini, koordinasi dan dukungan lintas sektor serta stakeholder lainnya menjadi salah satu prasyarat yang sangat penting.



Bahan Pustaka
Dahuri, R. 1999. Reformasi Pengaturan Lingkungan Bidang Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Jurnal Proyek Pesisir - PKSPL IPB. Edisi Nomor 04/Th. I/1999.
DKP, 2006. Strategi Pembangunan Kelautan dan Perikanan Tahun 2007.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0302/05/finansial/113978.htm. Download 29 Oktober 2007.
Kusumastanto, T., 2006. Materi Pokok Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut. Universitas Terbuka. Jakarta.
Pratikto, W.A., 2004. Pengelolaan Kelautan Berbasis Pengetahuan. Bagian Terakhir dari Dua Tulisan. http://www.republika.co.id/ASP/kolom.asp?kat_id=16. Download 29 Oktober 2007.
Sulistiyo. B., 2007. Materi Pokok Legalitas Hukum Kelautan dan Perikanan. Universitas Terbuka. Jakarta.
Utomo, S.W., 2006. Materi Pokok Ekologi. Universitas Terbuka. Jakarta.