Friday, November 2, 2007

“Menata Kembali Ruang Kawasan Budidaya Perikanan di Indonesia”

Luasnya perairan Indonesia yang terdiri dari perairan laut, pesisir, danau, rawa,embung dan daerah aliran sungai merupakan potensi pengembangan budidaya perikanan. Budidaya perikanan adalah kegiatan memproduksi biota (organisme) akuatik (air) secara terkontrol dalam rangka mendapatkan keuntungan. Dengan penekanan terkontrol dan orientasi utnuk mendapatkan keuntungan tersebut, definisi ini mengandung makna bahwa kegiatan budidaya perikanan adalah kegiatan ekonomi yangmengarah pada industri yang tepat waktu, tepat jumlah, tepat mutu dan tepat harga.
Potensi budidaya perikanan yang dibagi menjadi perikanan budidaya laut, perikanan budidaya payau, dan perikanan budidaya tawar masih besar dan belum dimanfaatkan secara optimal. Potensi budidaya perikanan laut khususnya budidaya ikan dan moluska yang diperkirakan masih dapat dikembangkan dengan peningkatan teknologi maupun intensifikasi sehingga akan memiliki nilai ekonomi yang lebih besar. Sementara itu potensi perikanan darat terdiri dari potensi perairan umum (danau, sungai dan rawa), potensi budidaya kolam, dan mina padi. Sedangkan untuk potensi perikanan budidaya payau adalah tambak.
Besarnya pemanfaatan perikanan budidaya dan tingginya nilai ekonomi yang diperoleh tidak mampu berjalan mulus seperti yang kita harapkan. Dalam pengembangannya, seringkali timbul berbagai kendala dan masalah yang sebagian diantaranya berdampak pada konflik seperti kendala lingkungan, permasalahan sosial ekonomi dan budaya, kendala keterbatasan lahan, kualitas dan kuantitas air, serta permasalahan teknologi. Permasalahan yang berpotensi terjadinya konflik adalah masalah lingkungan yang berkaitan dengan masalah penggunaan wilayah atau ruang untuk budidaya perikanan yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan yang berkaitan dengan pengelolaan sektor lainnya seperti transportasi laut, pariwisata, pemukiman, pertambangan, industri dan pemukiman.
Oleh karena itu, dalam pengelolaan dan pengembangan budidaya perikanan yang berkelanjutan dan lestari salah satunya adalah harus menata ruang penggunaan kawasan yang teratur dengan baik. Penataan ruang pengelolaan budidaya perikanan inilah yang menjadi arahan dalam tulisan ini.

Pembahasan
a. Ruang Lingkup Budidaya Perikanan
Budidaya perikanan memiliki cakupan yang luas ditinjau berdasarkan pada ruang (spasial), sumber air yang digunakan, dan jenis kegiatan.
(1) Budidaya Perikanan Berdasarkan Spasial
Budidaya perikanan bias dilakukan di darat dan dilaut, mulai wilayah pegunungan, perbukitan, dataran rendah, pantai, perairan dangkal dan laut lepas. Berdasarkan zonasi darat dan laut dikenal inland aquaculture dan marine aquaculture (marikultur). inland aquaculture adalah budidaya perikanan yang dilakukan di darat dengan menggunakan sumber air berupa air tawar atau air payau. Sedangkan marikultur adalah kegiatan budidaya yang dilakukan di laut.
(2) Budidaya Perikanan Berdasarkan Sumber Air
Air yang digunakan sebagai media untuk keperluan budidaya perikanan dibedakan berdasarkan salinitasnya atau kandungan garam (NaCl) menjadi perairan tawar, perairan payau dan perairan laut.
Perairan laut dengan kadar salinitas >32 ppt terdapat di laut atau kawasan pantai yang kurang dipengaruhi oleh perairan di daratan sehingga salinitas yang tinggi. Luas lahan total perairan laut yang berpotensi untuk budidaya ikan (kakap, baronang dan kerapu) sekitar 1.059.720 ha, dan budidaya moluska (kerang-kerangan) dan teripang sekitar 720.500 ha. Sedangkan potensi produksi dari kegiatan budidaya ikan dan moluska diperkirakan sekitar 46,73 juta ton per tahun. Potensi budidaya laut yang terdiri dari total potensi budidaya ikan (kakap, baronang dan kerapu), budidaya moluska (kerang-kerangan dan teripang) dan budidaya rumput laut serta mutiara mencapai volume total 528,4 ribu ton, memiliki potensi nilai ekonomi sekitar US$ 567,00 juta.
Perairan payau terdapat di kawasan pesisir, seperti pantai, muara sungai, rawapayau, serta kawasan yang masih dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Nilai salinitas di perairan ini bergantung pada pengaruh tersebut sehingga menjadi perairan payau yang mengarah ke tawar atau payau yang mengarah ke asin. Potensi perikanan budidaya payau (tambak) cukup besar, yaitu sekitar 866.550 ha. Sampai tahun 1996, potensi lahan budidaya baru dimanfaatkan sekitar 344.759 ha, dan sebagian besar potensi ini terdapat di kawasan timur Indonesia. Peluang pengembangan perikanan budidaya ini juga terbuka lebar mengingat tingkat pemanfaatannya masih rendah, dan dapat mendatangkan devisa yang cukup besar. Jika potensi ini digarap secara optimal dengan mengusahakan sekitar 500.000 ha saja, dengan target produksi konservatif sekitar 2 ton udang windu per hektar, setiap tahunnya setidaknya bisa dihasilkan 1 juta ton. Jika harga per kilogram US$ 10 maka nilai yang diperoleh mencapai US$ 10 milyar.
Perairan Tawar terdapat di daratan berupa mata air, sungai, danau, waduk saluran irigasi, air hujan dan sumur, serta genangan air lainnya di pegunungan, perbukitan, dataran tinggi hingga dataran rendah dan pantai. Perairan ini dikenal sebagai perairan umum. Total potensi perairan umum di Indonesia tahun 1993 adalah sekitar 141.820 ha, dengan potensi produksi sekitar 356.020 ton per tahun. Keseluruhan potensi perikanan dari perairan umum ini secara ekonomi mencapai nilai US$ 1 milyar. Sedangkan potensi pengembangan budidaya kolam terdiri dari potensi irigasi sekitar 3.755.904 ha dan potensi lahan seluas 375.800 ha, yang memiliki potensi produksi sekitar 805.700 ton per tahun. Sementara itu, untuk potensi minapadi yang terdapat di Indonesia untuk potensi irigasi seluas 1.760.827 ha, potensi lahan seluas 880.500 ha dengan potensi produksi sekitar 233.400 ton per tahun. Nilai ekonomi kedua potensi budidaya air tawar ini diperkirakan mencapai US$ 5,19 milyar.
(3) Budidaya Perikanan Berdasarkan Kegiatan
Kegiatan budidaya perikanan berdasarkan kegiatan mencakup kegiatan pengadaan sarana dan prasarana produksi, proses produksi hingga panen, penanganan pascapanen, dan pemasaran. Kegiatan pengadaan sarana dan prasarana produksi meliputi pemilihan lokasi, pengadaan bahan dan pembangunan fasilitas produksi, pengadaan induk, benih ,pakan, pupuk, obat-obatan, pestisida, peralatan akuakultur, dan tenaga kerja. Kegiatan proses produksi meliputi kegiatan persiapan wadah kultur, penebaran, pemberian pakan, pengelolaan lingkungan, pengelolaan kesehatan ikan, pemantauan ikan sampai pemanenan. Sedangakan kegiatan penanganan pascapanen dan pemasaran meliputi kegiatan meningkatkan mutu produk hingga bisalebih diterima konsumen, distribusi produk, dan pelayanan terhadap konsumen.

b. Kendala dan Permasalahan dalam Budidaya Perikanan
Secara umum dalam usaha budidaya perikanan laut, payau dan tawar ditemukan berbagai kendala dalam pengembangan dan pengelolaannya. Kendala dan permasalahan tersebut diantaranya kendala lingkungan, permasalahan sosial ekonomi dan budaya, masalah kelembagaan, kendala keterbatasan lahan, kualitas dan kuantitas air, serta permasalahan teknologi.
(1) Kendala Lingkungan
Kendala lingkungan diantaranya penataan wilayah atau penataan ruang pengembangan budidaya yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan, kerusakan lingkungan lahan budidaya akibat pengelolaan yang keliru, pencemaran lingkungan seperti pencemaran laut dan aktivitas manusia, degradasi tanah dengan segala aspek komplikasinya dalam kurun waktu yang panjang. Meskipun potensi perikanan budidaya kita yang tinggi dengan garis pantai sepanjang kurang lebih 81.000 km, tidak semua sumberdaya lahan tersebut dapat dikembangkan untuk budidaya. Masing-masing budidaya memiliki prasyarat tertentu dan batas-batas untuk dikembangkan.
Dalam pengembangan budidaya perikanan, selain mempertimbangkan kesesuain tempat juga harusmemperhatikan daya dukung lingkungan. Daya dukung tersebut diantaranya ditentukan oleh mutu perairan dan tanah, sumber air, arus dan pasang surut, topografi dan klimatologi, dan lain-lain. Tidak dipenuhinya daya dukung lingkungan terjadi oleh berbagai akibat seperti (a) pencemaran laut dan sungai seperti karena penggunaan transportasi dan pertambangan; (b) eutrofikasi (meningkatnya kesuburan perairan secara berlebihan) akibat pemupukan kelebihan pakan yang tidak terkonsumsi seperti red tide yangterjadi di Teluk Jakarta dan penurunan kualitas perairan tambak di pantai Utara Pulau Jawa; (c) aktivitas manusia di daratan seperti pembuangan limbah baik rumah tangga, industri, pertambangan (terjadi di Teluk Buyat), pertanian (akibat penggunaan pestisida dan pupuk kimiawi yang terbuang), penebangan hutan (erosi yang menimbulkan pelepasan dan dekomposisi bahan-bahan kimiawi yang mengalir terbawa aliran air hujan dan sungai); (d) pengelolaan pemanfaatan perairan yang kurang baik yang dapat menimbulkan umbalan (upwelling) yang terjadi karena fenomena alam berupa perubahan suhu yang mengakibatkan terbawanya materi dasar ke permukaan. Kasus ini contohnya terjadi di Waduk Saguling.
(2) Permasalahan Sosial Ekonomi dan Budaya
Persoalan yang menyangkut sosial ekonomi dan budaya diantaranya meliputi aspek-aspek ketersediaan sarana dan prasarana produksi, nilai ekonomi produksi, budaya perikanan, serta rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Secara umum wilayah perairan yang potensial menjadi lahan budidaya perikanan masih memiliki sarana dan prasarana yang terbatas seperti jaringan transportasi, listrik, dan komunikasi.
(3) Permasalahan Teknologi
Permasalahan ini berkaitan dengan penyediaan teknologi pembenihan masih belum sepenuhnya memadai karena belum terpecahkannya masalah transportasi benih, penyediaan pakan buatan dan penguasaan teknik pembasmian penyakit di tingkat petani ikan. Selain itu pengembangan usaha budidaya laut dalam karamba jarring apung (KJA) masih mengalami berbagai kendala antara lain belum adanya tata ruang pengembangan budidaya, belum dikuasainya teknologi, belum tercukupinya pasok benih dan sarana produksi lain seperti pakan dan obat-obatan serta belum terkendalinya masalah lingkungan dan penyakit.
(4) Permasalahan Kelembagaan
Permasalahan kelembagaan meliputi keterbatasan pelayanan penyuluhan oleh pemerintah, organisasi petani ikan belum berkembang dengan baik oleh karena kualitas sumberdaya manusia masih sangat rendah dan masih lemahnya dukungan dari lembaga keuangan bank dan non-bank dalam hal dukungan permodalan dan pengelolaan usaha.
(5) Kendala Keterbatasan Lahan
Kendala ini terjadi dalam usaha budidaya perikanan di darat, dimana usaha budidaya di perairan umum tersebut tidak bisa dimanfaatkan dalam usaha budidaya skala besar.

c. Konflik Pemanfaatan Ruang Budidaya Perikanan
Potensi budidaya perikanan baik di perairan laut, payau dan tawar yang sangat besar sebagaimana dijelaskan di atas merupakan lahan potensial yang memiliki nilai ekonomi tinggi, sehingga menarik berbagai investor untuk memanfaatkannya. Namun demikian, pemanfaatan usaha budidaya perikanan yang akan dilaksanakan atau yang sudah dilaksanakan saat ini masih banyak ditemui konflik-konflik pemanfaatan. Konflik pemanfaatan ruang yang terjadi diidentifikasi berdasarkan faktor-faktor kepemilikan, kewenangan, kepastian hukum, kepentingan, serta masalah pengawasan dan pengendalian.
Masalah kepemilikan; Konflik antara undang-undang dengan hukum adat atau perorangan terjadi pada persoalan status kepemilikan sumberdaya alam di wilayah pesisir. Di dalam UU No. 6/1996 tentang Perairan Indonesia Pasal 4, status sumber daya alam perairan pesisir dan laut, secara substansial, merupakan milik negara (state property). Sebaliknya, masyarakat adat atau perorangan mengklaim sumber daya di perairan tersebut dianggap sebagai hak pribadi atau hak ulayat (common property) berdasarkan hukum adat yang telah ada jauh sebelum berdirinya Negara Indonesia. Masalah kepemilikan sumberdaya juga terjadi di perairan umum, dimana perairan dianggap secara turun temurun menjadi milik pribadi atau hak adat. Masalah ini juga muncul ketika dimulainya desentralisasi dengan undang-undang otonomi daerah yang dipersepsikan bahwa perairan adalah milik daerah tertentu sehingga nelayan dari daerah lain dilarang untuk masuk ke wilayahnya,padahal sebenarnya berada di wilayah luar kewenangan sejauh 12 mil laut.
Ketidakpastian hukum yang terjadi pada bidang penguasaan/pemilikan wilayah perairan juga berkaitan dengan UU No. 5/1960 terjadi Ketentuan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang hanya diatur sebatas pemilikan/penguasaan tanah sampai pada garis pantai. Memang, ada ketentuan tentang Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan di dalam undang-undang ini, tetapi baru sekadar disebutkan saja tanpa ada rincian pengaturannya.
Masalah kewenangan; Konflik dapat terjadi secara horizontal maupun secara vertical. Secara horizontal, konflik terjadi antar sektor yang memiliki kewenangan pengembangan dan pengelolaan di wilayah perairan. Pengembangan budidaya perikanan yang memerlukan lahan baik di laut maupun di darat dapat saja bersinggungan dengan pengembangan sektor lainnya seperti sektor pariwisata, sektor pemukiman, sektor perhubungan laut. Konflik yang terjadi antar sektor dapat saja terjadi berkaitan dengan masalah kewenangan penanganan suatu wilayah pengelolaan. konlik secara vertical terjadi pada saat pemerintah pusat atau pemerintah di daerah melakukan suatu keputusan atau kebijakan yang saling bertentangan. Kewenangan daerah yang sudah kuat dengan adanya UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah memberikan ruang bagi daerah untuk mengelola daerahnya. Namun terkadang dengan kekuasaan dan wewenang yang kuat tersebut pemerintah daerah seringkali melakukan suatu kebijakan yang bertentangan dengan peraturan yang menjadi wewenang pemerintah pusat.
Masalah Peraturan dan hukum; Selama ini, kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir hanya dilakukan berdasarkan pendekatan sektoral yang didukung UU tertentu yang menguntungkan instansi sektor dan dunia usaha terkait. Akibatnya, pengelolaan perairan khususnya perairan laut cenderung eksploitatif, tidak efisien, dan berkelanjutan (sustainable). Pada dasarnya, hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia terjadi konflik-konflik antara berbagai pihak yang berkepentingan. Masing-masing mempunyai tujuan, target, dan rencana untuk mengeksploitasi sumberdaya perairan. Perbedaan tujuan, sasaran, dan rencana tersebut mendorong terjadinya konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan.
Konflik antar UU terjadi pada bidang pengaturan tata ruang wilayah pesisir dan laut. Di dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang ditentukan bahwa penataan ruang diatur secara terpusat dengan UU (Pasal 9). Sebaliknya, di dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah ditentukan bahwa penataan ruang wilayah laut sejauh 12 mil merupakan kewenangan propinsi dan sepertiganya kewenangan kabupaten/kota.
Selain itu, dengan disahkannya Undang-Undang (UU) Penanaman Modal oleh pemerintah pada akhir Maret 2007 akan berpotensi mengancam usaha perikanan budidaya di tanah air. Undang-Undang Penanam Modal memberikan keistimewaan yang lebih terhadap penanam modal asing untuk memiliki hak guna usaha lahan sehingga nantinya sektor perikanan budidaya hanya akan dikuasai sedikit pengusaha asing yang memiliki modal besar. Salah satu keistimewaan hak penguasaan terhadap tanah yang diberikan kepada pemodal asing yakni tercantum dalam pasal 22 Undang-Undang Penanamal Modal yang mengijinkan HGU selama 95 tahun dan bisa diperpanjang sekaligus selama 60 tahun sehingga mereka langsung bisa menguasai lahan selama 150 tahun. Kondisi tersebut, akan semakin merugikan jika pemodal asing menguasai garis pantai seluruh Indonesia karena lahannya telah mereka miliki sehingga menutup akses bagi masyarakat.
Permasalahan lainnya yang berpotensi konflik adalah berkaitan dengan Keputusan Presiden No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung menetapkan suatu wilayah sebagai kawasan lindung. Namun dalam kenyataannya ketetapan tersebut masih banyak dilanggar, karena alas an bahwa kawasan tersebut telah terlanjur berkembang menjadi kawasan budidaya sebelum Keppres dikeluarkan, karena masyarakat tidak memiliki pilihan lain untuk tinggal di kawasan yang lebih aman karena keterbatasan ekonomi dan atau keterikatan adat yang kuat dengan tanah kelahiran, karena kawasan tersebut merupakan kawasan yang subur sehingga mengundang untuk dikembangkan sebagai kawasan budidaya.
Masalah kepentingan; Setiap orang dan perusahaan bebas menentukan lokasi budidaya tanpa berintegrasi dan bersinergi dengan usaha atau kegiatan dalam satu sektor maupun dengan sektor lain. Setiap lokasi wilayah dianggap dapat dikembangkan dan diklaim sebagai tempat yang cocok untuk budidaya perikanan, atau lahan yang cocok untuk pengembangan budidaya serta sudah dikelola sebagai lahan budidaya dijadikan atau dialihfungsikan sebagai kawasan perumahan, pertambangan, industri, pertanian dan lain-lain. Sehingga dapat terjadi pertentangan antara usaha budidaya dengan sektor lain karena masalah kepentingan.

d. Kebijakan Penataan dan Pengaturan Tata Ruang Budidaya Perikanan
Berdasarkan UU No. 24 Tahun 1992, pengertian penataan ruang tidak terbatas pada proses perencanaan tata ruang saja, namun lebih dari itu termasuk proses pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang dibedakan atas hirarki rencana yang meliputi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, Provinsi, Kabupaten, dan Kota, serta rencana-rencana yang sifatnya lebih rinci; pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan; dan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW-nya. Selain merupakan proses, penataan ruang sekaligus juga merupakan instrumen yang memiliki landasan hukum untuk mewujudkan sasaran pengembangan wilayah.
Penataan dan pengaturan ruang juga berlaku dalam pengembangan kawasan budidaya. Kawasan budidaya dimaksud adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas daerah kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
Secara umum, strategi dan arahan kebijaksanaan pengembangan kawasan budi daya meliputi langkah-langkah pengembangan kawasan budi daya secara terpadu yang dilakukan untuk meningkatkan kelestarian manfaatnya bagi semua orang melalui peningkatan keterkaitan antara satu kegiatan dengan kegiatan lainnya yang saling berhubungan, serta pencegahan dampak negatif yang dapat terjadi terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup dan kehidupan politik, sosial, dan budaya masyarakat setempat.
Pengembangan kawasan budi daya tersebut meliputi pengembangan berbagai usaha dan/atau kegiatan, pengembangan sistem permukiman, pengembangan jaringan transportasi nasional, pengembangan energi dan jaringan kelistrikan nasional, pengembangan jaringan telekomunikasi nasional, serta pengembangan jaringan prasarana dan sarana air baku nasional. Pengembangan berbagai usaha dan/atau kegiatan di kawasan budi daya dilakukan untuk meningkatkan kegiatan produksi dan jasa yang bersumber dari potensi sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sumber daya manusia dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Pengembangan berbagai usaha dan/atau kegiatan satu dengan yang lainnya beserta prasarana penunjangnya di kawasan budi daya dilakukan secara selaras dan serasi sehingga tercipta sinergi antarkegiatan dalam mewujudkan tata ruang yang optimal, efisien, tertib, dan teratur.
Untuk mewujudkan keterkaitan antara satu kegiatan dengan kegiatan lainnya yang saling mendukung serta mencegah dampak negatif yang dapat terjadi terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup dan kehidupan politik, sosial, dan budaya masyarakat setempat dilakukan penetapan kawasan budi daya berdasarkan kriteria kawasan budi daya yang telah diatur. Di dalam kawasan budi daya dipilih kawasan-kawasan yang dapat berperan mendorong pertumbuhan ekonomi bagi kawasan tersebut dan kawasan di sekitarnya, serta dapat mewujudkan pemerataan pemanfaatan ruang di wilayah nasional.
Kriteria kawasan budi daya merupakan ukuran yang digunakan untuk penentuan suatu kawasan yang ditetapkan untuk berbagai usaha dan/atau kegiatan dan yang dibagi dalam:
(1) kriteria teknis sektoral, yaitu ukuran untuk menentukan bahwa pemanfaatan ruang untuk suatu kegiatan dalam kawasan memenuhi ketentuan-ketentuan teknis, daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, kesesuaian ruang, dan bebas bencana; dan
(2) kriteria ruang, yaitu ukuran untuk menentukan bahwa pemanfaatan ruang untuk suatu kegiatan budidaya dalam kawasan, menghasilkan nilai sinergi terbesar terhadap kesejahteraan masyarakat sekitarnya dan tidak bertentangan dengan pelestarian fungsi lingkungan hidup, yang didasarkan pada azas-azas sebagai berikut:
a) saling menunjang antarkegiatan yang meliputi : peningkatan daya guna pemanfaatan ruang serta sumber daya yang ada di dalamnya guna perkembangan kegiatan sosial ekonomi dan budaya; dan dorongan terhadap perkembangan kegiatan sekitarnya.
b) kelestarian fungsi lingkungan hidup yang meliputi: jaminan terhadap ketersediaan sumber daya dalam waktu panjang; dan jaminan terhadap kualitas lingkungan hidup.
c) tanggap terhadap dinamika perkembangan yang meliputi: peningkatan pendapatan masyarakat; peningkatan pendapatan daerah dan nasional; peningkatan kesempatan kerja; peningkatan ekspor; dan peningkatan peran serta masyarakat dan kesesuaian sosial budaya.
Pengembangan budidaya perikanan yang diharapkan mampu mengurangi konflik, tertatanya dan teraturnya pengelolaan yang berdampingan dengan sektor-sektor pembangunan lainnya, maka kebijakan dalam penataan ruang budidaya perikanan payau dan laut yang berada di wilayah pesisir dan lautan yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
(1) Pertama, program yang mendukung kebijakan pembangunan infrastruktur pengembangan budidaya perikanan, antara lain (i) penataan ruang pengembangan pulau-pulau kecil, (ii) peningkatan kebutuhan air baku untuk pulau-pulau kecil seperti di Kepulauan Riau, Nias Selatan, Selayar, dan lain-lain, (iii) perlindungan pantai termasuk permukiman nelayan dari abrasi, (iv) pembangunan jaringan jalan di pulau-pulau terpencil dan daerah terisolasi.
(2) Kedua, program yang mendukung kebijakan penataan ruang untuk mendukung pusat-pusat produksi dan ketahanan pangan serta keseimbangan pembangunan antar daerah, antara lain (i) operasionalisasi RTRWN, RTR Pulau, RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota dan Kawasan sebagai acuan pengembangan wilayah dan pembangunan infrastruktur. Melalui ketersediaan rencana tata ruang sebagai acuan spasial, maka diharapkan semua potensi kelautan dan perikanan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan, (ii) program pengawasan dan pengendalian pantai dan laut, (iii) peningkatan kualitas lingkungan permukiman kawasan kumuh dan nelayan, (iv) peningkatan akses jalan di kawasan cepat tumbuh di daerah-daerah tertentu.
Pembangunan infrastruktur berbasis penataan ruang untuk mendukung pusat-pusat produksi dan meningkatkan kualitas lingkungan perumahan juga dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dan produktivitas dari permukiman di pesisir pantai melalui peningkatan kualitas lingkungan permukiman nelayan, pengembangan desa-desa pusat pertumbuhan di pesisir pantai yang potensial, dimana upaya ini dilaksanakan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat agar terjamin keberlanjutannya. Selain itu, kebijakan tersebut juga ditujukan untuk meningkatkan kemudahan kegiatan usaha budidaya perikanan mulai kegiatan produksi dampai distribusi (termasuk pemasaran) produksi budidaya perikanan di kawasan pesisir dan laut.
(3) Ketiga, program yang mendukung kebijakan penataan ruang untuk keselarasan dan keseimbangan sosial ekonomi dan budaya antara lain (i) melakukan koordinasi dan sosialisasi dengan sector-sektor pembangunan lainnya, khususnya mengedepankan pengelolaan kawasan konserasi/lindung; (ii) melakukan koordinasi dan sosialisasi dengan semua unsur yang berkepentingan (stakeholder) dalam perencanaan, pengendalian dan pengawasan pengelolaan budidaya perikanan yang ramah lingkungan.
Sedangkan, kebijakan dalam penataan ruang budidaya perikanan umum di darat yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :
(1) Mempertahankan kawasan lindung/konservasi (tidak boleh dikonversi).
(2) Melakukan koordinasi dengan sector-sektor pembangunan lainnya (pertanian, kehutanan, pariwisata, industri, pertambangan) dalam rangka penanganan dan penertiban usaha-usaha dan aktivitas manusia yang berdampak pada perusakan sumber air bagi kelangsungan budidaya perikanan.
(3) Membuat kajian tentang master plan pengendalian dan pengelolaan sumberdaya air di beberapa wilayah potensial pengembangan budidaya perikanan.
(4) Menata pencegahan pencemaran air melalui pengendalian limbah-limbah industri dan rumah tangga.
(5) Memberikan penyuluhan pada masyarakat untuk ikut berperan serta dalam menjaga pelestarian lingkungan.
(6) Melakukan pengaturan kembali manajemen transportasi yang dilakukan di wilayah perairan.

Penutup
Keempat belas sektor meliputi sektor pertanahan, pertambangan, perindustrian, perhubungan, perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, konservasi, tata ruang, pekerjaan umum, pertahanan, percepatan daerah tertinggal, pemukiman, dan pemerintahan daerah memiliki akses baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pengembangan dan pengelolaan sumberdaya perairan. Dalam pelaksanaannya penataan ruang bagi setiap sector terkadang mengabaikan ruang pengembangan sector lainnya.
Kegiatan-kegiatan yang telah dibuat dan diatur dalam perundang-undangan umumnya bersifat sektoral dan difokuskan pada eksploitasi sumberdaya tertentu. Undang-undang tersebut terdikotomi untuk meregulasi pemanfaatan sumberdaya di darat saja atau di perairan laut saja. Oleh karena itu, perlu dilakukan penataan dan pengaturan ruang khususnya dalam kegiatan budidaya perikanan agar tidak menimbulkan konflik baik secara sosial dan ekonomi.
Kebijakan dalam pengaturan ruang pengembangan budidaya perikanan tersebut intinya adalah mengedepankan kawasan konservasi/lindung karena berkaitan dengan kelangsungan sumberdaya yang lestari, melakukan koordinasi dan sosialisasi dengan pihak-pihak lain agar dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan budidaya perikanan dapat selaras dan seimbang, serta melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat khususnya yang melakukan kegiatan usaha agar mengerti dan memahami pentingnya usaha budidaya perikanan yang berkelanjutan dan tetap menjaga agar lingkungan lestari.


Bahan Pustaka
ANTARA News. 2007. UU Penanaman Modal Ancam Usaha Perikanan Budidaya. http://www.antara.co.id/arc/2007/4/3/uu-penanaman-modal-ancam-usaha-perikanan-budidaya/ . Jakarta
Efendi, I., dkk. 2006. Materi Pokok Budidaya Perikanan. Universitas Terbuka. Jakarta.
Haluan, J., dkk. 2007. Materi Pokok Studi Lapangan. Universitas Terbuka. Jakarta.
Kusumastanto, T., 2006. Materi Pokok Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut. Universitas Terbuka. Jakarta.
Kompas. 2007. Budidaya Belum Didukung Tata Ruang. http://kompas.com/kompas-cetak/0407/17/ekonomi/1152664.htm. Download 30 Oktober 2007.
Purnomo, A.H., 2007. Materi Pokok Ekonomi Pembangunan Perikanan. Universitas Terbuka. Jakarta.
Sulistiyo. B., 2007. Materi Pokok Legalitas Hukum Kelautan dan Perikanan. Universitas Terbuka. Jakarta.Walhi. 2007. Aksi Hukum Pesisir dan Laut. http://www.walhi.or.id/kampanye/pela/pesisir-_laut_info_040604/. Download 30 Oktober 2007.


No comments: