Thursday, April 3, 2008

PEMANFAATAN SUMBER DAYA HAYATI LAUT BERBASIS MARIKULTUR DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI TRANSPLANTASI KARANG SEBAGAI CONTOH PENGELOLAAN

Oleh:
Aspari Rachman
Syaffiuddin

CV. DINAR DENPASAR,BALI-FIELD STASIUN UNHAS,MAKASSAR
e-maill: aspari@indosat.net.id


ABSTRAK
Pemanfaatan sumber daya hayati laut berbasis marikultur merupakan sistem produksi perikanan secara komersil melalui serangkaian penerapan teknologi pembibitan, pelepasan, pemeliharaan dan penangkapan hasil-hasil laut dengan memanfaatkan kemampuan alam atau lingkungan laut terkontrrol. Dengan penerapan teknologi tersebut, pemanfaatan sumber daya hayati laut dapat dilakukan secara terus-menerus (berkelanjutan), dan dapat memacu pengkayaan stok di alam, sehingga produksi dapat ditingkatkan. Walaupun transplantasi karang tergolong teknologi rendah dan mudah untuk diterapkan, tetapi karena sifat bio-ekologi karang yang kompleks maka dalam pengelolaannya cukup rumit sebab harus berdasarkan prinsip-prinsip ekosistim teknologi (ekotek) dan juga melibatkan semua pihak dengan pola kemitraan (stakeholders). Masalah-masalah kepemilikan lahan dan pengaturan pemanfaatannya cukup mendasar, disamping tingkat kerusakan karang akibat manusia dan alam yang sama-sama sulitnya dihentikan. Walaupun demikian, dengan potensi lahan terumbukarang yang luas, biodiversiti tinggi, adanya kemajuan teknologi dan usaha pemanfaatan multiguna, serta menghadapi era pasar bebas sehingga teknologi transplantasi karang mempunyai prospek untuk dikembangkan.


PENDAHULUAN

Dewasa ini pemanfaatan sumber daya hayati laut masih berorietasi pada penangkapan (dominan) dan melalui usaha budi daya laut. Kedua kegiatan tersebut disadari cenderung berdampak pada terjadinya kerusakan kelestarian sumber daya hayati karena kelebihan tangkap dan kerusakan lingkungan (ekosistim).
Upaya penyelamatan terhadap kerusakan sumber daya hayati laut tersebut masih terbatas dan pengelolaannya cenderung berbasis pada ekosistim. Sedangkan pengelolaan yang berbasis komuditas belum banyak dilakukan.
Pemanfaatan sumber daya hayati laut berbasis merupakan salah satu alternatif pengelolaan yang perlu diupayakan. Menurut Hanamura (1973), perikanan berbasis budidaya merupakan campur tangan manusia dalam sistim produksi perikanan secara komersil melalui serangkaian penerapan teknologi pembibitan, pelepasan, pemeliharaan, dan penangkapan hasil-hasil laut dengan memanfaatkan kemampuan alam atau lingkungan laut terkontrol.
Pengelolaan dengan cara tersebut dapat menjamin pemanfaatan sumber daya hayati berkelanjutan dan sekaligus dapat meningkatkan upaya pemanfaatan secara lestari dan keragaman hayati (biodiversiti) laut tetap dipertahankan, termasuk jenis-jenis karang.
Karang merupakan hewan laut yang memiliki sifat-sifat bioekologi yang kompleks, merupakan komponen utama pembentuk ekosistim terumbu dan sekaligus dapat menunjang ekosistim laut lain di sekitarnya. Sehingga secara bersama-sama merupakan gudang penyimpanan dan penyerap sumber daya hayati laut dan sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau di Indonesia.
Dengan demikian peranan karang bersama ekosistim yang dibentuk dan ekosistim yang ditunjangnya sangat besar. Akan tetapi pada kenyataannya di beberapa tempat, terumbu karang telah mengalami kerusakan (Tomascik at al, 1997b) dan potensial mendapat kerusakan baik, dari pengaruh aktifitas manusia maupun bencana alam (Grigg and Dollar, 1990).
Untuk itu pengelolaan komuditas karang melalui penerapan teknologi transplantasi sangat penting diupayakan dengan cara pengelolaan yang hati-hati berdasarkan prinsip-prinsip ekosistim teknologi (ekotek) dan melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan melalui pola kemitraan (stakeholders).

METODE DAN PENGELOLAAN

Pemilihan Lokasi
Lokasi untuk transplantasi karang diutamakan pada daerah-daerah terumbu karang yang telah mengalami kerusakan tetapi masih memenuhi syarat bagi kehidupan karang. Faktor-faktor ligkungan yang berpengaruh pada kehidupan karang adalah arus, kedalaman, cahaya, kadargaram, temperatur, kecerahan, partikel-partikel organik dan sedimentasi (Tomascik at al,1997a). Bentuk topografi dan substrat dasar dan spesies-spesies indikator dapat mempengaruhi kegiatan marikultur (Braley,1992). Disamping itu,sumber-sumber polusi, konflik-konflik sosial dan keterjangkauan juga perlu dipertimbangkan (Pillay,1990).

Desain dan konstruksi
Bahan-bahan untuk pembuatan substrat tumbuh dan wadah pemeliharaan harus aman bagi kehidupan karang dan lingkungan di sekitarnya. Bahan harus tersedia cukup, mudah diperoleh dan murah (Pillay,1990). Substrat tumbuh dapat berasal dari campuran semen, keramik, cangkang kerang, pecahan batu karang dan carborandum. Desain bentuk dan ukuran substrat, tergantung dari jenis bahan dan metode penempelan stek karang. Desain dan konstrukssi wadah karang transplantasi tergantung dari metode pemeliharaan yang diterapkan. Ukuran setiap unit wadah disesuaikan dengan padat penebaran dari setiap jenis karang.
Pemilihan spesies
Pemilihan spesies karang untuk transplantasi didasarkan atas permintaan pasar, kelangkaannya di alam, spesies yang potensil atau peka terhadap ancaman dan spesies yang telah dilarang untuk diperdagangkan (banned species). Disamping itu, karang yang dipilih adalah jenis lokal atau yang pernah terdapat pada lokasi transplantasi. Introduksi spesies asing dapat berpengaruh merusak fauna lokal (Pillay,1990).
Seleksi Induk
Program pengelolaan induk sangat penting dalam kegiatan transplantasi, karena dapat berpengaruh pada berkurangnya variasi genetik dalam populasi (Newkirk,1993). Oleh karena kebanyakan setiap koloni karang berasal dari induk yang sama (Harrison dan Wallace,1990), maka seleksi induk berdasarkan atas koloni-koloni setiap dari spesies yang diperlukan. Koloni induk yang digunakan harus dalam jumlah pasangan yang cukup agar variasi genetiknya dapat dipertahankan. Newkirk (1993), menyarankan minimum 50 pasang induk untuk setiap generasi. Pengadaan stok induk dilakukan dengan mengambil total satu koloni atau sebagian dari koloni dengan sistim penjarangan (tebang pilih).
Seleksi Stek
Berbeda dengan kebutuhan induk, banyaknya cabang stek yang dipergunakan harus dibatasi agar tidak terjadi dominasi keturunan dari induk yang sama. Pembatasan Jumlah stek yang diperlukan pada setiap koloni induk tergantung dari spesies, ketersediaan stok, kepekaan induk dan volume kegiatan. Ukuran setiap stek maksimum 5- 6 cm.
Penempelan Stek
Penempelan stek pada substrat menggunakan perekat (lem) khusus dan tahan terhadap pengaruh air laut. Penempelan stek juga dapat dilakukan dengan sistem ikat pada penopang yang dibuat tegak lurus pada permukaan substrat dan sistim tancap (bor), dimana pada bagian tengah substrat dilubangi secukupnya sehingga stek karang dapat masuk ke dalamnya.
Penebaran
Penebaran karang transplantasi didasarkan atas kelompok-kelompok dari populasi satu spesies yang berasal dari sejumlah pasangan induk. Penempatan wadah transplantasi juga diatur berdekatan menurut populasi -populasi sejenis, populasi berlainan jenis tetapi bergenus sama dan populasi-populasi dari genus yang berlainan, tergantung dari bentuk interaksi yang terjadi pada spesies-spesies tersebut.
Odum (1971) mengatakan bahwa asosiasi yang baru lebih banyak mengembangkan interaksi negatif hebat dari pada asosiasi yang lama. Beberapa jenis karang memiliki strategi kompetitif sehingga dapat menghambat Jenis karang lainnya.(Veron,1993; Lang dan Chornesky,1990 dan Bak,1984). Populasi-populasi sejenis yang berdekatan lebih berhasil meningkatkan daya reproduksinya melalui pemijahan dan pembuahan yang sukses ( Harrison dan Wallace,1990).
Growing
Growing merupakan kegiatan menumbuhkan karang transplantasi dengan menggunakan wadah khusus pada kondisi alam dan memanfaatkan kemampuan produksi alam itu sendiri. Keterlibatan manusia hanya pada batas pengontrolan seperti: pembersihan biofouling, kompetitor dan kontrol terhadap predator dan gangguan lingkungan lainnya. Wadah pemeliharaan yang digunakan adalah rak dasar, keramba apung dan tali rentang (long line), tergantung dari spesies dan kondisi lingkungannya.
Lama waktu yang diperlukan untuk menumbuhkan karang transplantasi sampai mencapai ukuran pasar tergantung dari jenis, kecepatan pertumbuhan bentuk, pertumbuhan dan kondisi lingkungannya.
Pertumbuhan karang transplantasi yang normal ditandai dengan pertumbuhan jaringan pada bagian dasar yang menyatu dengan substrat dan menutupi bagian permukaan dari substratnya dan adanya pertumbuhan tunas-tunas baru.
Panen dan Pemanfaatan
Panen karang hasil transplantasi dilakukan setelah mencapai ukuran komersil yang dikehendaki pasar atau telah mencapai ukuran yang memenuhi syarat untuk restoking dan pemanfaatan lainnya. Panen dan penanganan pasca panen karang hasil transplantasi dilakukan secara hati-hati agar kondisi karang tetap sehat, segar, tidak cacat dan tidak stres.
Jumlah pemanfaatan karang hasil transplantasi adalah sebanyak 80% untuk tujuan komersil, 10% untuk restoking dan 10% digunakan kembali untuk stok induk. Pola pemanfaatan ini serupa dengan yang dikemukakan oleh Masaru (1999), yaitu pemanfaatan yang berasal dari pola pengelolaan recruit marine ranching, dimana bibit yang diproduksi dari hatchery dilepaskan ke alam sampai dapat bereproduksi secara alami hingga menjadi dewasa, kemudian sebagiannya dapat ditangkap kembali dan sebagiannya dapat berkembang lagi di alam. Demikian seterusnya, sehingga pemanfaatannya berlangsung secara terus menerus.
Usaha Kemitraan
Pengelolahan bersama dengan pola kemitraan melalui keterlibatan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama dan masing-masing dapat memperoleh manfaat yang saling menguntungkan. Keterlibatan pemerintah sebagai fasilitator, pengusaha sebagai pemodal dan memasarkan hasil, masyarakat sebagai tenaga kerja dan LSM sebagai koordinator konservasi karang Semua pihak terlibat langsung dalam perencanaan hingga implementasi kegiatan dan pengaturan-pengaturan pemanfaatan.
Konsesi Area
Oleh karena pengelolaan trasplantasi karang cukup kompleks, sehingga diperlukan areal pengelolaan khusus agar dapat menjamin kepastian dan kelangsungan usaha dan dampak-dampak yang terjadi akibat dari kegiatan lebih mudah dipantau dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengelola (stakeholders).

Restoking
Pengelolaan restoking tidak dapat dipisahkan dari pengelolaan sebelumnya dimana penebaran (penempatan) kelompok-kelompok populasi sejenis atau yang saling mengutungkan akan semakin penting, mengingat koloni-koloni karang tersebut nantinya akan berkembang secara alami menuju keseimbangan sistem.
Pengelolaan restoking yang benar tidak hanya jumlah penebaran yang besar menjadi ukuran keberhasilan tetapi harus disetai dengan keragamaan genetisnya yang memadai. Newkirk (1993), mengatakan bahwa restoking secara berulang-ulang dari beberapa generasi yang berasal dari banyak induk akan menghasilkan keragamaan genetis yang mendekati populasi alam.

Penandaan dan Pendataan
Dalam pengelolaan karang trasplantasi penandaan dan pendataan penting untuk diterapkan dengan menggunakan kode-kode secara sistematis yang dimulai dari
seleksi induk, stek, wadah pemeliharaan sampai penanganan pasca panen dan restoking. Kegiatan tersebut dilakukan secara terus menerus yang disertai dengan pendataan yang akurat, sehingga identitas karang hasil transplantasi dari generasi ke generasi dapat ditentukan dan terpelihara dengan baik.


MASALAH-MASALAH PENGELOLAAN

Faktor Alam
Faktor-faktor alam yang potensial mengganggu karang transplantasi adalah predator (Endean dan Cameron, 1990), kompetitor dan bioerosi ( Glynn,1987 ), Penyakit ((Tomascik et al, 1997a). Bencana alam dapat menyebabkan kerusakan massal pada karang ( Grigg dan Dollar, 1990), seperti badai tropis, banjir, gelombang pasang (tsunamis), aktivitas gunung api dan gempa bumi (Tomascik et al, 1997a). El Nino juga dapat menyebabkan kerusakan meluas pada karang (Glynn, 1987).
Kegiatan Manusia
Kegiatan manusia dapat menyebabkan kerusakan pada karang, baik langsung maupun tidak langsung (Tomascik et al, 1997a), seperti sedimentasi (Chou, 1987), eutrifikasi (Tomascik at al, 1997a), pencemaran minyak (Grigg dan Dollar, 1990) dan kegiatan konstruksi dan pebangunan serta pemboman (Tomascik et al, 1997b).
Sosial Budaya
Perilaku masyarakat pesisir dan pulau-pulau pada umumnya masih cenderung melakukan kegiatan penangkapan dari pada melakukan budidaya laut. Transplantasi karang merupakan teknologi rendah, murah, sederhana dan mudah diterapkan. Akan tetapi karena tergolong teknologi baru, sehingga belum banyak dikenal oleh masyarakat.
Pemasaran
Berbeda dengan hasil laut lainnya, karang transplantasi tak dapat dikonsumsi dan dipertukarkan (subsisten) dan pemanfaatannya masih terbatas sebagai spesimen aquarium laut, sehingga pemasarannya masih terbatas. Dilain pihak permintaan pasar ekspor cukup selektif dan disertai dengan persyaratan- persyaratan yang ketat.
Kepemilikan Lahan
Konflik kepentingan nampaknya masih cukup menonjol pada penggunaan lahan di pesisir dan pulau-pulau. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan pengaruh pada kegiatan transplantasi karang. Hanamura (1999), menyatakan bahwa kepemilikan lahan merupakan faktor mendasar dalam kegiatan perikanan berbasis budidaya laut.
Kelembagaan dan Pengaturan
Karang termasuk fauna yang berada dalam pengawasan internasional, CITES appendiks II (Well,1994). Secara nasional berada di bawah kewenangan pengelolaan PHKA (management authority) dan LIPI (scientific authority). Keterkaitan kelembagaan yang demikian luas ini akan menjadi rumit pada era otonomi daerah dan ditambah lagi dengan belum adanya pengaturan tentang transplantasi karang dan pemanfaatanya.



PROSPEK PENGEMBANGAN

Teknologi transplantasi karang mudah untuk diterapkan karena tidak diperlukan keahlian khusus. Fasilitas-fasilitas besar seperti hatchery dan pembesar bibit tidak diperlukan sehingga investasi lebih efisien. Disamping itu, biaya produksi transplantasi karang lebih rendah dan dengan pengelolaan yang benar selama proses produksi, kegiatan ini cukup aman bagi lingkungan laut.
Potensi lahan terumbu karang perairan Indonesia cukup besar dengan luas sekitar 85.707 km2 dan biodiversiti karang cukup tinggi, sekitar 452 species (Tomascik, et al,1997a). Dengan demikian transplantasi karang memiliki prospek untuk dikembangkan.
Pengelolaan karang secara multi guna, baik secara langsung maupun tidak langsung maka pemanfaatan karang akan meningkat dimasa yang akan datang, seiring dengan kemajuan teknologi di bidang farmasi, kedokteran, perikanan dan peningkatan kegiatan pariwiswata berbasis terumbu karang.
Pengelolaan secara terpadu melalui pola kemitraan dengan melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan pada pemanfaatan karang dan disertai dengan kelembagaan yang permanen dan pengaturan yang baik dapat menjamin kepastian dan kelangsuangan usaha yang lebih efisien dan produktif.
Dalam era globalisasi, isu-isu lingkungan dan pemanfaatan sumber daya hayati laut secara lestari merupakan faktor kunci dalam pengembangan usaha transplantasi karang di Indonesia di masa yang akan datang.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Teknologi transplantasi karang tergolong sederhana, murah, mudah diterapkan dan bila disertai dengan pengelolaan yang benar tidak menimbulkan dampak bagi lingkungan. Pengelolaan yang berdasarkan komuditi, disamping dapat mempertahankan kelestarian spesies juga dapat meningkatkan produksi dan memacu stok alam.
Pengelolaan transplantasi karang cukup kompleks karena harus berdasarkan prinsip-prinsip ekosistim teknologi (ekotek) dan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders). Sehingga masalah-masalah kepemilikan lahan dan pengaturan pemanfaatan cukup mendasar dalam pengelolaan.
Pemanfaatan karang masih terbatas sehingga permintaan pasar juga terbatas dan bahkan selektif. Namun demikian dalam era globalisasi dan kemajuan teknologi, maka pemanfaatan multi guna karang akan meningkat pula di masa yang akan datang, sehingga transplantasi karang memiliki prospek untuk dikembangkan.

Saran
Diperlukan adanya pengaturan-pengaturan khusus tentang pengelolaan transplantasi karang, termasuk kelembagaan dan pemanfaatannya serta penetapan areal pengeloaan terbatas melalui hak konsesi area.




DAFTAR PUSTAKA

Bak,R.P.M.1983. Aspects of community organization in Caribean stoni coral (sclerectinia).In Odgen,
J.C. and Gladfelter, E.H.(ed), Coral reefs, sea grass beds and mangroves: their interaction in the Coastal zone of the Caribean. UNESCO. p.51-63.

Braley, R.D.1992. The giant clams: Hatchery and nursery culture manual. ACIAR.Canberra Australia
144 p.

Chou, L.M. 1987. Community structure of sediment stressed reefs in Singapore. In. The conservation and management of coral reefs and mangrove ecosystems. UNESCO:MAB/COMAR, Proc.Vol.
1, p.101-111.

Endean, R. and Cameron, A.M. 1990. Acanthaster planci population outbreaks In Dubinsky,Z.(ed),
ecosystem of the world 25. Coral reefs. Elsevier, Amsterdam. p.419-435.

Glynn, P.W. 1987. El Nino warming, coral mortality and reef framework destruction by echinoid bioerosion in the Eastern Pasific In The conservation and management of coral reefs and
mangrove ecosystems. UNESCO:MAB/COMAR, Proc. Vol.1, p.129-160.

Grigg, R.W.and Dollar, S.J.1990.Natural and anthropogenic disturbance on coral reefs.In. Dubinsky,
Z. (ed), ecosystem of the World 25. Coral reefs. Elsevier, Amsterdam.

Hanamura, N. 1979. Advances and problems in culture-based fisheries in Japan.In. Pillay, T.V.R. and
Dill, W.A.(ed), advances in aquaculture. Fishing news books, Ltd. England. p. 541-547.

Harrison, P. I. and Wallace, C.C. 1990. Reproduction dispersal and recruitmen of sclerectinian corals
In.Dubinsky, Z.(ed), ecosyistem of the world 25. Coral reefs. Elsevier Amsterdam. p. 138-196.

Lang, J.C. and Chornesky, E.A. 1990. Competition between scleractinian reef corals - A Review of mechanisms and effects. In. Dubinsky, Z. (ed), ecosystem of the world 25. Coral reefs. Elsevier,
Amsterdam. p. 209-248.

Masaru, T. 1999. Marine ranching, present situation and perspective. In. Marine ranching global perspective with emphasis on the Japanese experince. FAO. Fiheries Cilcular, no. 494. Rome 524 p.

Newkirt, G. A 1993 Discussion of genetic aspects of broodstock estalishment and management.
In. Munro, P.(ed), genetic aspects of conservation and cultivation of giant clams.Proc.39,p 6-13.

Odum,E.P.1971.Fundamentals of Ekology.Third edition.W.B. Saundars company. Phildelphia. 574 p.

Pillay, T. V. R. 1990. Akuaculture principles and practices. Fishing news books. 575 p.

Tomascik, T; A.J. Mah; A. Nontji and M.K. Moosa. 1997a. The ecology of the Indonesian seas.
Periplus editions. Singapore. Part one vol. VII. 642 p.

Tomascik, T; A.J. Mah; A. Nontji and M.K. Moosa. 1997b. The ecology of the Indonesian seas.
Periplus editions. Singapore. Part two vol. VIII. P 643-1388.

Veron, J.E.N. 1993. Corals of Australia and the Indo-pasific. University of Hawai press. Honolulu.

Wells,S.M.1994.Giant clams: Status,trade and maricultur,with special reverence to the role of CITES
in management. IUCN-SSC.

No comments: