Friday, August 1, 2008

Mampukah Pengadilan Perikanan menjadi terobosan?

Pengadilan Perikanan : Dasar hukum yaitu UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Rusmana, salah seorang bagian Hukum DKP pernah menulis tentang beberapa masalah, yang menghadang pelaksanaan pengadilan khusus (ad hoc) perikanan tersebut.

Masalah Pertama Kekurang Kompakan Peradilan:

Pembentukan Pengadilan Perikanan, idenya dilandasi semangat untuk mengatasi krisis "ketidakberdayaan" lembaga-lembaga peradilan yang ada dalam menjawab berbagai persoalan hukum. Kita bisa lihat bagaimana instansi-instansi yang terkait dengan penegakan hukum di bidang perikanan tidak berjalan secara sinergis, bahkan cenderung berebut dan bersaing sesuai dengan kepentingannya masing-masing.

Padahal ini adalah logika sederhana. Kita lihat saja KPK, dalam memberantas korupsi saja, didalamnya terdapat pihak-pihak yang bekerja sinergi, seperti jaksa, polisi, investigator dan lainnya. Nah, sudah barang tentu sinergisme ini tidak bisa dinomor duakan, jika ingin permasalah segera selesai.

Masalah Kedua Putusan Hakim:

Persoalan itu pun semakin diperburuk dengan banyaknya putusan pengadilan yang jauh dari rasa keadilan masyarakat. Ambil contoh, putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang menyidangkan kasus pencurian ikan oleh 2 kapal ikan Thailand.

Kedua kapal ilegal itu hanya didenda masing-masing Rp 10 juta serta Rp 15 juta per unit, sedangkan kapal yang disita dilepaskan lagi (Harian Kompas, 1 Oktober 2003). Kasus serupa terjadi di Pengadilan Negeri Gresik, dimana kasus pencurian ikan oleh kapal asing hanya di divonis bebas dan dikenai biaya perkara Rp. 1.000,-.

Ada lagi kasus pelepasan 6 kapal ikan Thailand berikut 250 anak buah kapal (ABK)-nya di Pontianak setahun yang lalu, padahal jelas-jelas kapal asing tersebut tertangkap sedang menangkap ikan secara ilegal di perairan Indonesia. Alasannya pun tidak masuk akal, karena pemerintah kesulitan memenuhi kebutuhan makan mereka serta dikhawatir kan ABK yang ditahan menularkan penyakit HIV/AIDS (Harian Kompas, 19 Februari 2003).

Inilah yang kerap terjadi, yakni adanya kesan 'sungkan' menghukum. Tidak perlu jauh-jauh. Kriminal khusus pun ada yang divonis bebas, dengan meninggalkan kejanggalan- kejanggalan yang menjadi pembicaraan mereka-mereka yang mengerti seluk beluk hukum.

Lalu bagaimana jika hal tersebut diatas terjadi juga di pengadilan perikanan yang bakal dibentuk? Ya, kita hanya bisa prediksi, negara bakal tetap kehilangan sumberdaya perikanan.

Kerugian akibat pencurian ikan di perairan Indonesia sendiri diperkirakan berkisar 1 juta sampai 1,5 juta ton per tahun, atau setara dengan dua miliar dollar AS sampai empat miliar dollar AS (Rokhmin Dahuri:2003) .

Kerugian tersebut belum termasuk kerusakan biota laut sebagai akibat dari penangkapan ikan dengan menggunakan pukat harimau dan berbagai alat tangkap berteknologi canggih lainnya. Berangkat dari kenyataan itulah, kemudian banyak kalangan mulai menyuarakan perlunya dibentuk Pengadilan Perikanan.

Masalah Ketiga Waktu Peradilan:

Kalau kita cermati ketentuan-ketentuan dalam UU No. 31/2004, khususnya Bab XIII tentang Pengadilan Perikanan, ternyata masih banyak hal yang harus dibenahi sebelum lembaga baru ini benar-benar dibentuk dua tahun ke depan. Menurut Rusmana, paling tidak ada tiga persoalan pokok yang perlu mendapat perhatian serius.


Pertama, adanya kelamahan-kelamahan pada hukum acara. Hukum acara PP mematok waktu cukup singkat, yaitu 160 hari untuk menyelesaikan suatu perkara mulai dari penyidikan sampai putusan MA. Persoalannya, jangka waktu yang sedemikian singkat itu akan berbenturan dengan kondisi rill di lapangan, khususnya berkenan dengan jalur beracara yang harus dilalui.

Acara pemeriksaan di PP mengenal tiga tahapan, yaitu pemeriksaan tingkat pertama (PP), tingkat banding (PT) dan kasasi (MA). Untuk tiap tahapan tersebut dialokasikan waktu masing-masing 30 hari.

Di tingkat pertama (PP) - dengan dukungan SDM yang memadai serta khusus hanya menangani perkara-perkara perikanan - mungkin tenggang waktu 30 hari cukup memadai. Gile lu...? Perkara korupsi aja di tingkat pertama (pengadilan negeri) dijatah 3 bulan alias 90 hari. Apalagi masalah penangkapan ikan?

Lalu bagaimana halnya dengan PT dan MA? Cukupkah waktu 30 hari? I dont think so....

Faktanya perkara yang ditangani kedua lembaga peradilan ini selalu overload. Kelemahan mekanisme ini sebenarnya terkait dengan tidak adanya mekanisme pembatasan terhadap perkara-perkara yang akan diajukan banding/kasasi.

By: Angiola Harry (teman sekamar kostan zaman dulu kala sekarang wartawan) from milist

No comments: