Monday, March 3, 2008

CATATAN RINGAN; DISKUSI PENGELOLAAN PESISIR SECARA TERPADU (ICM)

Kampus Dramaga IPB, 9 Januari 2008
Oleh :Imam Bachtiar



Hari terakhir dari tahun 1428 H merupakan hari dimana mimpi banyak pemerhati sumberdaya pesisir seperti saya menjadi kenyataan. Wacana Pesisir IPB mengadakan diskusi tentang Pengelolaan Pesisir Terpadu (ICM, Integrated Coastal Management) di kampus Dramaga, yang menghadirkan praktisi atau implementator dari para pengelola Proyek Pesisir (Prof. Dr. Dietriech G. Bengen), Proyek PEMSEA (Ir. Zulhasni, M.Sc.), Proyek MFCDP (Ir. Sri Wahyuningsih, M,Sc.), Proyek MCRMP (Ir. Eko Rudianto, M.Bus.) dan Proyek COREMAP (Prof. Dr. Jamal Jompa), serta Dr. Karen von Juterzenska (dosen tamu IPB). Diskusi tersebut dihadiri oleh semua mahasiswa S2 dan S3 serta sebagian dosen (Dr. Sulistiono, Ir. Ki Agus Azis, M.Sc.) dari Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Walaupun demikian, sebagian dosen dosen-dosen yang peduli dengan pengelolaan pesisir dari progran studi lain juga hadir, misalnya Dr. Arif Satria, Dr. Fredinand Yulianda, Dr. Budi. Sebagai pembahas adalah Prof. Dr. Tridoyo Kusumastanto pada diskusi pertama, dan Dr. Unggul Aktani pada diskusi kedua. Moderator diskusi pertama dan kedua berurutan adalah Dr. Neviati Jamani dan Dr. Luky Adrianto.

Diskusi ini dimaksudkan sebagai wahana belajar dari pengalaman-pengalam an impelementasi proyek dalam mewujudkan suatu ICM di lapang. Bagi mahasiswa pascasarjana, diskusi tersebut merupakan kesempatan yang sangat baik untuk lebih memahami apa dan bagaimana implementasi ICM di Indonesia. Perbedaan pengalaman dari para mahasiswa juga dapat memberikan perspektif dan kesimpulan yang berbeda sehingga dapat memperkaya pencarian solusi-solusi dari permasalahan yang muncul ketika dalam melakukan inisiasi dan implementasi ICM.

Tulisan ringan ini merupakan catatan kecil yang subyektif dari keseluruhan diskusi tersebut. Belajar dari pengalaman keempat proyek tersebut, saya mendapati bahwa kita belum memiliki contoh dari ”best practice” ICM yang monumental sebagaimana di Filipina dan Cina. ”Dengan jumlah pakar pengelolaan pesisir yang banyak dan dana proyek yang besar, keyataan ini agak ironis”, demikian pernyataan Pak Aziz. Ketika proyek telah dapat mencapai tujuannya, sustainabilitas dari pencapaian tersebut juga menjadi masalah. Banyak lembaga yang dibentuk oleh proyek menjadi mati suri ketika proyek berakhir. Penegakan aturan pengelolaan juga menyisakan tanda tanya besar. Jika ketika proyek masih berjalan penegakan aturan sulit dilakukan, apalagi setelah proyek berakhir.

Dalam pemaparannya, Pak Dietriech telah menunjukkan sejumlah keberhasilan Proyek Pesisir yang mencatat sejarah baru dalam pengelolaan pesisir di Indonesia. Tetapi sustainabilitas keberhasilan tersebut masih meragukan. Hal yang sama berlaku untuk semua proyek yang sudah berakhir maupun yang sedang berjalan seperti COREMAP. Hal ini menjadi tantangan yang menarik bagi akademisi yang memiliki komitmen dan optimisme bahwa ICM dapat diterapkan di Indonesia. Kita hanya perlu waktu untuk mendemonstrasikan kepada masyarakat dan pemerintah bahwa ICM merupakan suatu keharusan jika kita memiliki mimpi mempunyai kawasan pesisir yang indah, produktif dan sustainable.



Butuh cinta sejati

Sesuatu yang besar tidak dapat tercapai tanpa kegairahan, demikian bunyi sebuah pepatah dari barat. Pencapaian tujuan sebuah proyek ICM sangat tergantung bagaimana kegairahan para pengelola (implementator). Para pengelola proyek dapat dipisahkan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang memiliki kegairahan atau semangat tinggi dalam mencapai tujuan proyek. Pak Eko menyebutnya sebagai pejuang atau ”champion”. Bagian proyek yang terpenting bagi mereka adalah adalah tercapainya tujuan, yaitu terwujudnya kegiatan ICM di lokasi proyek. Kelompok kedua adalah mereka yang melakukan kegiatan proyek sebagai kewajiban atau tugas, atas honor yang mereka terima. Jika dianalogkan dengan olahraga sepakbola, kelompok pertama adalah pemain yang ingin sekali timnya membuat gol; sedangkan kelompok kedua tidak begitu peduli dengan gol yang dihasilkan, yang penting mereka sudah bermain dan menendang bola. Bagi kelompok yang kedua, proyek merupakan kegiatan pemerintah yang harus dilaksanakan dan dapat dipertanggungjawabk an. Bagian proyek yang terpenting bagi mereka adalah adalah tertib administrasi.

Tujuan sebuah proyek yang menelan biaya puluhan juta dollar tentunya bukanlah tujuan yang kecil, maka untuk mencapai tujuan itu dibutuhkan kegairahan. Kegairahan yang paling besar hanya muncul dari ”cinta sejati”. Pak Jamal menyebut kegairahan dengan komitmen atau ”cinta sejati”. Cinta sejati memang akan membuahkan kegairahan yang sangat besar pada diri manusia. Cinta sejati tersebut hanya dimiliki oleh kelompok pertama dari pengelola proyek. Tanpa cinta sejati, pelaksanaan suatu proyek merupakan sekedar rutinitas pekerjaan menghabiskan anggaran dan mempertangungjawabk annya.

Bagi akademisi yang menjadi pelaksana proyek, membuat sesuatu yang belum pernah dibuat oleh orang lain merupakan misi dan tantangan yang sangat menarik. Para ilmuwan sangat berkeinginan membuat sejarah, bahwa kehadirannya di muka bumi ini memberi makna tertentu bagi kebaikan umat manusia. Misi pribadi para ilmuwan ini merupakan energi sangat penting bagi pencapaian proyek. Kecintaan ilmuwan kepada ilmu dan tantangan untuk mewujudkan ICM di arena terbuka akan menjadi kunci sukses sebuah proyek. Hal ini dapat dilihat dari pemaparan Pak Dietriech tentang sejarah yang telah dibuat oleh timnya di Proyek Pesisir dan Mitra Pesisir. Tetapi bagi masyarakat pesisir, birokrasi atau politisi, sejarah-sejarah kecil tersebut dapat menjadi tidak penting.

Memang patut disayangkan, kegairahan dari cinta sejati para akademisi masih sulit untuk ditularkan kepada para mitra mereka di dalam proyek. Hal inilah yang dapat menyebabkan sustainabilitas hasil-hasil proyek rendah. Setelah proyek berakhir, para akademisi menarik diri dari proyek sehingga daerah binaan proyek kehilangan sentuhan cinta tersebut. Idealnya, cinta sejati para akademisi dapat menular kepada para birokrasi di tingkat kabupaten, sehingga daerah binaan proyek tidak pernah kekurangan cinta dan kegairahan. Pak Tridoyo yang peduli dengan sustainabilitas proyek akan sangat senang jika di dalam proyek ICM lebih banyak dihuni oleh orang-orang yang memiliki cinta sejati. Banyak pejabat daerah kurang berani melakukan sesuatu yang baru seperti ICM tanpa didampingi secara dekat oleh akademisi. Penggunaan akademisi lokal yang menjadi konsultan proyek merupakan pilihan yang baik untuk mengatasi kurangnya kegairahan setelah proyek berakhir. Hanya dengan cara ini hasil-hasil proyek dapat dipelihara sustainabilitasnya.

Bagi Proyek COREMAP yang ditangani Pak Jamal, issue sustainabilitas pasca proyek ini mesti diantisipasi sejak awal. COREMAP harus mampu menumbuhkan cinta sejati pada terumbu karang di dalam hati para birokrat dan akademisi di kabupaten. Dengan cara ini sustainabilitas hasil-hasil proyek akan terpelihara. Bagi para mahasiswa pascasarjana SPL, ini merupakan tantangan kita bersama mencari metode yang efektif untuk menyebarkan rasa cinta dan kegairahan pada banyak orang. Perlu diingat bahwa cinta itu bukan hanya di bibir saja melainkan jauh di dalam lubuk hati.



Tanpa sanksi aturan tidak berbunyi

Pengelolaan yang efektif sangat membutuhkan penegakan aturan. Pelanggar aturan pengelolaan harus menerima sanksi secara adil. Penegakan aturan pengelolaan juga harus dijalankan secara konsisten sehingga aturan pengelolaan memiliki wibawa. Jika aturan pengelolaan tidak dapat dijalankan, maka hal ini tidak bebeda dengan kondisi tanpa pengeloaan. Kesadaran masyarakat untuk menegakkan aturan pengelolaan memang sangat penting, karena di laut kita tidak dapat mengandalkan aparat penegak hukum formal.

Proyek PEMSEA di Bali, mendapatkan keuntungan besar dalam hal ini. Masyarakat Bali memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap masyarakat adatnya (banjar) sehingga melanggar kesepakatan masyarakat merupakan sebuah tabu. Pelanggar kesepakatan banjar biasanya langsung dapat dikenai sanksi. Sanksi untuk sebuah pelanggaran yang berat dapat berupa pengeluaran pelanggar dari adat banjar. Pengucilan dari banjar ini berdampak sangat besar, misalnya kematian si pelanggar tidak lagi diurus oleh banjar sehingga tidak ada upacara agama untuk kematiannya.

Dengan kondisi sosial yang memiliki tingkat kohesi tinggi, maka keberhasilan Proyek PEMSEA di Bali akan sulit ditiru di lokasi lain di Indonesia. Masyarakat Lombok yang memiliki budaya mirip dengan Bali berpotensi dapat mencapai kesuksesan yang kurang lebih sama walaupun kohesi sosial masyarakat Lombok lebih longgar. Proyek Co-Fish pernah menggunakan pendekatan ICM di Lombok Timur, tetapi tidak diundang dalam diskusi ini.

Proyek Pesisir mencoba mendekati penegakan aturan pengelolaan melalui Perdes dan Perda. Ini merupakan pendekatan yang dapat diimitasi secara nasional jika berhasil dengan baik. Sayangnya, Pak Dietriech tidak memberikan deskripsi tentang bagaimana efektivitas pengelolaan di Proyek Pesisir. Proyek COREMAP, MFCDP dan MCRMP juga menggunakan paradigma yang sama. Di dalam diskusi, sayangnya, Proyek PEMSEA tidak mengelaborasi pendekatan ini sehingga belum jelas bagi peserta.

Pada umumnya Perda tidak secara serius diimplentasikan di Indonesia. Dalam Era Reformasi banyak sekali Perda dibuat oleh kabupaten atau propinsi, tetapi implementasinya biasanya sangat rendah. Hanya Perda yang berkaitan dengan retribusi daerah yang dilaksanakan. Perda Miras dan Perda Anti Maksiat, misalnya, telah dibuat di banyak kabupaten tetapi hampir tidak pernah diimplementasikan, atau hanya sekali menjelang bulan Ramadlan. Apalagi jika ada Perda Pengelolaan Pesisir yang lebih jauh jaraknya dari kehidupan ekonomi dan agama masyarakat kota kabupaten. Penggunaan Perdes dalam pengelolaan pesisir juga menyisakan pertanyaan untuk kawasan teluk yang digunakan oleh masyarakat dari dua desa atau lebih.

Pak Jamal juga mengkhawatirkan tentang penegakan aturan pengelolaan di wilayah COREMAP. Kekhawatiran tersebut memang sangat beralasan jika kita mengandalkan penegakan aturan oleh polisi atau aparat pemerintah lainnya. Tetapi jika penegakan aturan itu dilaksanakan oleh masyarakat di desa itu sendiri, maka ada harapan bahwa aturan pengelolaan masih dapat berjalan. Sebaiknya masyarakat tidak diminta menangkap pelanggar aturan pengelolaan dan menyerahkannya kepada polisi. Di banyak daerah kepercayaan masyarakat pada ”cinta sejati” polisi sangat rendah. Polisi juga sangat terikat dengan hukum formal yang mensyaratkan adanya bukti dan saksi yang cukup. Kebanyakan kasus pelanggaran aturan pengelolaan pesisir tidak didukung oleh bukti dan saksi yang cukup. Perda tentang Pengelolaan Perikanan Secara Partisipatif di Lombok Timur menyediakan alternatif dalam penegakan aturan pengelolaan, yang berbeda dari lokasi Proyek Pesisir dan COREMAP.



Sayangnya koordinasi dari bahasa Inggris

Di dalam pengelolaan pesisir terpadu (ICM), koordinasi merupakan komponen yang paling penting. Hanya dengan koordinasi kita dapat mencapai suatu keterpaduan antar sektor. Pada pengelolaan pesisir, sektor-sektor utama yang harus dipadukan programnya meliputi sektor-sektor perikanan, perhubungan, pariwisata, dan pertambangan.

Pak Eko dari Proyek MCRMP menyatakan bahwa ketika tidak ada sektor, maka keterpaduan mudah dicapai. Sebaliknya ketika sektor mulai muncul, maka keterpaduan merupakan barang yang susah sekali didapatkan. Di tingkat desa, kita lebih mudah untuk membangun keterpaduan daripada di tingkat kabupaten. Tampaknya ada kecenderungan semakin tinggi tingkatan birokrasi, keterpaduan menjadi semakin langka. Tidak mengherankan jika Dewan Maritim Nasional yang memiliki misi sangat besar menjadi lembaga yang mati suri (seperti lembaga yang dibentuk proyek), karena membutuhkan koordinasi dari sejumlah kementerian.

Koordinasi juga bukan kata yang asli dari bahasa Indonesia, melainkan kata jadian yang berasal dari bahasa Inggris. Pak Luky secara berkelakar mengatakan hal ini untuk menghibur dan menyadarkan hadirin bahwa kita memang tidak memiliki budaya koordinasi. Tetapi budaya terus berkembang, demikian juga budaya kita dalam koordinasi.

Koordinasi sulit dilaksanakan dengan baik, saya kira, karena menyangkut siapa yang mendapat proyek. Adanya proyek dari suatu koordinasi berarti ada uang ekstra yang masuk ke saku pejabat di sektor yang mengelola proyek, sehingga koordinasi dianggap hanya menguntungkan sektor tertentu dan merugikan sektor yang lain karena hanya jadi penonton. Akan berbeda jika suatu proyek tidak menghasilkan uang ekstra bagi pejabat, sehingga semua peserta koordinasi hanya memikirkan tujuan dari koordinasi tersebut. Tidak ada kecemburuan sosial. Sayangnya, hal ini masih sebagai mimpi di negeri ini.



Roma tidak dibangun dalam satu hari

Yang paling penting dari diskusi tersebut adalah kita menyadari bahwa kita belum memiliki suatu contoh ”best practice” dari ICM di Indonesia. Kita sekarang sangat membutuhkan contoh tersebut, dan harus dapat mewujudkannya sebelum generasi kita digeser oleh generasi berikutnya. Kita harus mampu mewariskan minimal sebuah ”best practice”. Tekad seperti ini tidak dapat muncul setiap hari, sehingga harus segera ditindaklanjuti sebelum menjadi layu atau terkubur dengan kesibukan rutin sekolah pascasarjana.

Sebagai tindak lanjut dari tekad tersebut, PKSPL bersama Wacana Pesisir perlu mengkomunikasikan hal ini kepada Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Kita juga perlu mengambil langkah pertama ke arah sana, yaitu mengidentifikasi sejumlah kabupaten yang sedang atau pernah menjadi lokasi proyek di pesisir yang potensial dikembangkan untuk menjadi contoh ”best practice” ICM. PKSPL dan Wacana Pesisir sebaiknya jangan fanatik terbatas pada proyek yang dekat dengan PKSPL IPB seperti yang didiskusikan hari ini, tetapi sebaiknya juga menengok proyek lain yang menginisiasi pengelolaan sumberdaya di kawasan pesisir, misalnya Co-Fish Project dari Ditjen Perikanan Tangkap.

Kekurangan-kekurang an dari implementasi proyek yang lalu sebaiknya dapat dikaji secara ilmiah dan dipaparkan secara jujur agar menjadi pelajaran bagi kita semua. Memang agak sulit atau bahkan agak tabu untuk menceritakan semua kekurangan kita, sedangkan yang paling tahu kekurangan kita adalah kita sendiri. Tetapi hanya dengan belajar dari kekurangan-kekurang an tersebut kita dapat mengimplementasikan proyek ICM lebih baik.

Pak Dietriech telah menyebarkan banyak optimisme dan kegairahannya kepada kita. Di dalam kondisi Indonesia yang sering dianggap terpuruk ini, kita masih dapat melakukan inisiasi dan implementasi ICM, asalkan kita masih memiliki cinta sejati yang menggebu pada sumberdaya pesisir. Roma tidak dibangun dalam satu hari. Kita juga tidak berharap dapat membangun ICM dalam satu dasawarsa. Jejak-jejak kecil yang telah ditorehkan dalam perjalanan akan menjadi bagian dari sejarah perkembangan ICM di Indonesia. Kegagalan yang telah kita alami bukanlah sesuatu yang tidak berarti, tetapi akan menjadi modal pengalaman yang sangat penting untuk meraih keberhasilan di masa depan.

Mari kita ekspresikan cinta sejati kita untuk sumberdaya pesisir bukan hanya terbatas dalam kata-kata. ”Semua bisa bilang sayang, apalah artinya cinta tanpa kenyataan”, demikian kata sebuah lagu. Mari kita bangun bersama ICM di Indonesia.



Bogor, 12 Januari 2008
disadur dari milist coremap2@yahoogroups.com

No comments: