Tuesday, January 8, 2008

Sebuah Tinjauan: Beberapa Kendala Pemberdayaan Masyarakat Perikanan



Faktor-faktor yang menjadi kendala dalam upaya pemberdayaan oleh lembaga-lembaga formal yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perikanan
  1. Rendahnya sumber daya manusia (SDM); masyarakat nelayan yang menjadi sasaran pemberdayaan umumnya merupakan nelayan tradisional yang tergolong masyarakat berpendidikan dan berpenghasilan rendah. Dengan kondisi tersebut, dibenak mereka hanya ada bagaimana saya bisa melangsungkan hidup. Ini berarti yang mereka pikirkan hanya perut. Secara psikologis, mereka cepat puas dengan yang apa diperolehnya, sehingga mereka tidak tertarik dengan segala macam aturan, himbauan dan sebagainya termasuk program-program pemberdayaan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga formal. Kondisi ekonomi yang terkekang secara sosial dan kondisi alam menyebabkan psikologis masyarakat nelayan ini mudah puas dan kurang berpandangan untuk kepentingan masa depan. Sumberdaya manusia yang rendah dinilai dari aspek pendidikan yang umumnya diabaikan oleh masyarakat nelayan tradisional. Bukan hanya karena factor psikologis saja, tetapi karena aksesibilitas menuju sarana pendidikan juga umumnya masih kurang dan memerlukan biaya tambahan. Program pemberdayaan bagi masyarakat yang mengerti dan memahami aspek-aspek sosial ekonomi dan budaya masing-masing obyeklah yang mampu mengatasi kendala sumberdaya manusia ini.
  2. Program hibah; Adanya anggapan masyarakat nelayan tradisional umumnya bahwa bantuan pemerintah dengan jenis apapun yang disalurkan tersebut, tidak perlu dikembalikan. Akibatnya, penggunaan bantuan itu tidak optimal. Kurangnya sosialisasi dan pendekatan terhadap masyarakat sasaran merupakan salah satu pemicu timbulnya anggapan tersebut selain budaya tradisional yang menganggap bahwa menjadi kewajiban pemerintah menyalurkan dana gratis dan juga karena tingkat pendidikan yang rendah. Padahal, sebenarnya tidak semua bantuan pemerintah bisa digratiskan, seperti dana bantuan PEMP. Dana tersebut harus digulirkan ke kelompok lain, baik yang telah melunasi bantuan yang diterima sebelumnya atau kelompok lain yang menerimanya.
  3. Kelembagaan; Dalam penyaluran dana pemberdayaan, program yang akan dan sudah berjalan, menganggap bahwa semua masyarakat nelayan sasaran program memiliki nilai sosial yang sama. Sehingga dalam penyaluran dana melalui lembaga berdasarkan panduan yang dibuat dianggap sama atau disamaratakan. Hal ini kurang memahami perlunya lembaga yang harus dibentuk tanpa dilakukan identifikasi masing-masing lokasi sasaran berdasarkan kondisi sosial masyarakatnya. Yang terjadi adalah lemahnya pembentukan lembaga yang menyalurkan dana pemberdayaan tersebut. Selain lembaga saat itu belum berbadan hukum, juga tidak memiliki modal yang cukup. Bahkan, pembentukan lembaganya terkesan terburu-buru sehingga menyulitkan untuk menarik pengembalian dana pemberdayaan tersebut.
  4. Lemahnya pendampingan; Untuk melakukan sosialisasi, fasilitasi dan pendampingan, umumnya dibentuk dan diberdayakan Tenaga Pendamping Program (TPP) masing-masing lokasi sasaran. TPP tersebut terdiri dari sarjana-sarjana baru yang mana sebelumnya dilatih secara nasional. Selain itu juga disediakan Konsultan Manajemen (KM) untuk membantu mengembangkan dan meningkatkan kinerja kelembagaan dan pemasaran. Tetapi kenyataannya, proses pendampingan oleh TPP dan supervise oleh KM ini pada tataran teknis pelaksanaan masih mengedepankan sistem up down dan kurang mampu berintegrasi dengan masyarakat sasaran. Program pemberdayaan yang mengerti nilai sosial masyarakat sasaran adalah pada saat pendamping dan superviser dianggap sebagai keluarga sendiri dan tidak adanya jarak dengan masyarakat. Di beberapa lokasi pemberdayaan, pendamping dan superviser yang dianggap berhasil melaksanakan program pemberdayaan adalah pada saat mereka masuk ke rumah masyarakat sasaran melalui pintu belakang. Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan masyarakat terhadap program pemberdayaan dinilai dari seberapa tangguhnya pendamping dan superviser sebagai penggerak dan motivator bagi masyarakat sasaran.
  5. Peran tengkulak dan rentenir; Tidak dapat dipungkiri, bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan tradisional sebagai sasaran program umumnya masih terikat secara moral dalam tradisi patron-klien. Patron sebagai pemilik modal telah memberikan keleluasaan dan kebebasan bagi kliennya dalam pengelolaan sumberdaya ikan, walaupun sekaligus sebagai pengekang yang sulit untuk dibebaskan. Sudah menjadi aturan yang tidak tertulis, bahwasanya hubungan antara patron dan klien ini sebagai suatu ikatan yang saling membutuhkan. Segala kebutuhan klien dalam usaha perikanan yang dilakukannya dipenuhi oleh patron sebagai pemilik modal atau sebagai penguasa usaha local. Sistem ini selain menjerat nelayan tradisional, juga memberikan kekuatan pandangan bagi mereka bahwa menerima apa yang dibutuhkan dari patron lebih mudah dan lebih leluasa dibandingkan dengan menerima bantuan bergulir dari program pemberdayaan. Oleh karena itu, program pemberdayaan yang mampu bersaing dalam strategi pemenuhan kebutuhan masyarakat sasaranlah yang dapat berjalan dan berhasil.
  6. Pinjaman kurang mencukupi kebutuhan; Modal bantuan program pemberdayaan yang diberikan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga formal umumnya terbatas dan dibatasi. Akibatnya, kebutuhan yang harus dipenuhi dalam meningkatkan usaha atau mengembangkan usaha kurang mencukupi. Dampaknya, modal yang diberikan tidak memberikan efek yang berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat sasaran. Selain itu, dana yang sudah sangat terbatas tersebut masih di “kuliti” ketika hendak disalurkan kepada sasarannya, sehingga yang tersisa tinggal daging dan atau tinggal tulangnya saja.

No comments: