Tuesday, January 8, 2008

Nelayan dan Pembudidaya Ikan; Apa bedanya?



Masyarakat nelayan dan masyarakat pembudidaya ikan memiliki perbedaan secara ekonomi dan sosial budaya. Realita ini jelas tergambar dalam kehidupan antara kedua kelompok masyarakat tersebut di Indonesia. Berdasarkan UU No 31 Tahun 2004, masyarakat nelayan diartikan sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan, dimana penangkapan ikan dilakukan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya. Sedangkan masyarakat pembudidaya ikan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan pernbudidayaan ikan, yaitu kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat,mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya

Berdasarkan aspek ekonomi dan sosial budaya, perbedaan kedua kelompok masyarakat diidentifikasi sebagai berikut :
  1. Mata pencaharian; masyarakat nelayan banyak menggantungkan hidupnya sehari-hari pada sumber daya laut. Pekerjaan menangkap ikan merupakan pekerjaan yang penuh resiko dan umumnya karena itu hanya dapat dikerjakan oleh lelaki, hal ini mengandung arti keluarga yang lain tidak dapat mebantu secara penuh. Selain itu, jam kerja yang harus mengikuti siklus bulan yaitu dalam satu bulan yang dapat dimanfaatkan untuk melaut hanya 20 hari sisanya mereka relatif menganggur. Berbeda dengan masyarakat pembudidaya ikan, dimana keberhasilan usaha yang dilakukan berdasarkan pengetahuan dan teknologi berdasarkan kualitas dan daya dukung perairannya serta kemampuan dalam ketepatan penanganan. Usaha budidaya juga dapat melibatkan seluruh keluarga serta dapat berlangsung secara terus menerus bergantung pada siklus usaha budidaya yang dilakukan. Contohnya budidaya rumput laut yang dapat dipanen selama 45 hari dan dapat dilanjutkan kembali pemanenan pada 45 hari selanjutnya.
  2. Lokasi usaha atau kegiatan; kegiatan usaha masyarakat nelayan yang pada umumnya mendiami sepanjang pesisir dan daerah kepulauan, hanya akan melakukan usaha penangkapan ikan di wilayah laut, baik di wilayah pesisir pantai dan laut lepas. Sedangkan masyarakat pembudidaya ikan bisa melakukan kegiatan usahanya di darat dan dilaut, mulai wilayah pegunungan, perbukitan, dataran rendah, pantai, perairan dangkal dan laut lepas. Usaha budidaya di laut contohnya budidaya rumput laut dan tiram mutiara, usaha budidaya di perairan payau atau wilayah pesisir adalah tambak, dan usaha budidaya di darat contohnya budidaya karamba ikan di sungai dan danau.
  3. Teknologi; teknologi usaha penangkapan ikan yang dilakukan masyarakat nelayan dibedakan berdasarkan tujuan ikan tangkapan dan dapat dimodifikasi berdasarkan kemampuan dan kebutuhan nelayan pemiliknya. Alat tangkap yang digunakan untuk ikan perenang cepat dan berukuran besar harus menggunakan longline, sedangkan untuk ikan yang bergerombol menggunakan purse seine, ikan yang berukuran kecil atau jenis crustacean menggunakan gillnet, dan lain-lain. Proses transformasi teknologi pada masyarakat nelayan tradisional umumnya lambat, karena berfikir masalah efektifitas penggunaan bahan bakar dan modal usaha yang bertambah, jangkauan penangkapan yang jauh sehingga jumlah hari juga bertambah. Berbeda dengan masyarakat nelayan modern.
  4. Sedangkan pada usaha budidaya ikan, teknologi yang digunakan untuk keberhasilan usahanya harus memperhatikan lokasi budidaya, desain konstruksi, benih, pakan, pengelolaan produksi, serta hama dan penyakit. Penentuan lokasi budidaya yang dikembangkan untuk mencapai produksi jenis komoditas budidaya secara optimal memerlukan kecermatan serta kecocokan metoda yang digunakan. Dalam hal ini, pemilihan lokasi untuk budidaya ikan harus mempertimbangkan aspek teknis dan non teknisnya. Desain konstruksi sarana usaha budidaya yang dilakukan seperti untuk tambak atau karamba atau kolam harus mempertimbangkan metoda yang digunakan. Persyaratan pembenihan yang digunakan untuk budidaya perlu diperhatikan penyediaan benihnya, penanganan dan transportasinya agar benih yang betul-betul sehat. Begitu juga dengan penanganan pakan yang perlu diperhatikan sampai ikan siap dipanen. Pengelolaan produksi yang dilakukan meliputi pengaturan pola tanam yang perlu disesuaikan dengan ketersediaan seperti (benih, pakan) dan pengaruh dari musim serta ketersediaan pasar, carapembenihan, cara pemberian pakan, dan penanganan hasil. Permasalahan dalam usaha budidaya seperti hama dan penyakit harus diketahui cara-cara pencegahan dan penanganannya.
  5. Strata sosial; struktur sosial nelayan sering kali dicirikan dengan adanya pola patron-klien. Kuatnya ikatan patron klien tersebut merupakan konsekwensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh resiko dan ketidakpastian. Berdasarkan kelas sosialnya, nelayan terbagi atas juragan bakul, juragan kapal dan nelayan buruh. Kelas pemilik sebagai juragan relatif kesejahteraannya lebih baik karena menguasai factor produksi seperti kapal, mesin alat tangkap maupun factor pendukungnya seperti es , garam dan lainnya. Kelas lainnya yang merupakan mayoritas adalah pekerja atau penerima upah dari pemilik factor produksi dan kalaupun mereka mengusahakan sendiri factor/ alat produksinya masih sangat konvensional, sehingga produktivitasnya tidak berkembang, kelompok inilah yang terus berhadapan dan digeluti oleh kemiskinan. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi yang dalam kegiatannya, nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa atau tenaganya dengan hak-hak yang sangat terbatas. Jumlah nelayan buruh di desa nelayan sangatlah besar. Sedangkan pada masyarakat pembudidaya ikan umumnya kelas sosial terbagi atas pemilik dan buruh saja. Untuk usaha budidaya skala kecil pembudidaya ikan pemilik juga sekaligus merangkap sebagai buruh.
  6. Mobilitas; mobilitas teritorial masyarakat nelayan di Indonesia dikenal sangat tinggi, Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya perpindahan masyarakat antar daerah. Banyak kita jumpai nelayan asal Indramayu dan Cirebon berada di Muara Angke, atau nelayan Bugis dan Bajo di banyak tempat di wilayah pesisir Indonesia. Berbeda sekali sekali dengan masyarakat pembudidaya ikan yang cenderung lebih menetap seperti layaknya masyarakat pertanian.
  7. Potensi konflik; masyarakat nelayan pada umumnya memiliki persoalan yang lebih komplek yang memiliki ciri-ciri khusus seperti pengunaan wilayah pesisir dan lautan sebagai milik bersama (common property) dan bersifat terbuka (open access). Namun demikian dengan diberikannya wewenang daerah berdasarkan UU No 22 Tahun 1999 dan dirubah pada UU No.32 Tahun 2004, persepsi masyarakat nelayan mengenai wilayah laut yang manganggap adanya pembatasan kepemilikan menjadi pemicu timbulnya konflik antar nelayan yang berbeda daerah yang melakukan kegiatan penangkapan ikan didaerah lain. Selain itu, upaya penangkapan ikan yang dilakukan sebagian masyarakat nelayan yang dianggap merusak habitat dan ekosistem sumberdaya seperti penggunaan trawl atau pembiusan ikan karang juga menyebabkan timbulnya konflik antar nelayan, karena saat ini sudah banyak sosialisasi kepada nelayan tentang pentingnya menjaga ekosistem dan penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan. Luasnya perairan laut menyebabkan tingkat heterogenitas nelayan yang sering berinteraksi merupakan bagian dari terjadinya konflik antar nelayan. Berbeda sekali dengan masyarakat pembudidaya ikan yang umumnya melakukan kegiatan yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya, baik pada budidaya laut, budidaya tambak, dan budidaya di danau atau sungai dan lainnya. Sehingga intensitas interaksi yang sedikit meminimalisir terjadinya potensi konflik. Adapun terjadinya konflik seperti yang terjadi pada budidaya perikanan, adalah karena pengaruh jangka panjang akibat pencemaran di wilayah hulu. Kejadian pembudidaya ikan di Sidoarjo yang rusak areal tambaknya akibat pencemaran langsung dari buangan lumpur Lapindo adalah pengecualian.
  8. Budaya dan ritual; masyarakat nelayan dikenal sebagai masyarakat yang memiliki cara berfikir, pandangan dan sikap yang diwariskan secara turun menurun, masih berpegang pada adat dan kebiasaan yang sudah ada sebagaimana masyarakat tradisional lainnya. Sistem kepercayaan masyarakat nelayan terhadap “penguasa” laut yang diwujudkan dalam upacara-upacara persembahan sesaji seperti upacara petik laut, atau buang saji atau labuh saji atau nyadran atau nadran atau pesta laut merupakan peristiwa budaya yang biasa dilakukan masyarakat nelayan. Kegiatan ini harus diakui sebagai sejarah tradisi masyarakat pesisir yang berasal dari anyaman nilai-nilai yang sangat dinamis,dan merupakan gabungan berbagai elemen masyarakat pesisir yang menjadi ciri dari kebudayaan pantai, dikemas dalam bentuk ritus sosisal. Umumnya, kegiatan budaya ini merupakan bentuk upacara rasa sukur kepada Tuhan YME, atas limpahan tangkapan ikan serta permohonan keselamatan di laut. Pada masyarakat perikanan budaya, kegiatan ritual seperti ini tidak ditemui.

No comments: