Showing posts with label perikanan. Show all posts
Showing posts with label perikanan. Show all posts

Wednesday, May 5, 2010


Kegiatan mata pencaharian alternatif (MPA) pada COREMAP II (Coral Reef Rehabilitation and Management Program Phase II) merupakan suatu kegiatan usaha baru atau usaha lama yang dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi dan sumberdaya yang ada di lingkungan sekitarnya. Umumnya usaha yang dilakukan adalah kegiatan sampingan dan mampu meningkatkan pendapatan seperti usaha budidaya, usaha pengolahan atau usaha ekonomi lainnya yang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Selain mengisi pendapatan nelayan yang terkena dampak langsung kegiatan pengembangan pengelolaan sumberdaya laut secara berkelanjutan, Program mata pencaharian alternatif yang dilakukan Coremap II ini diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan cara-cara penangkapan ikan atau pemanfaatan sumberdaya laut lainnya yang berakibat pada rusaknya terumbu karang.

Target pokok pelaksanaan COREMAP II adalah meningkatnya pendapatan masyarakat pesisir (sebanyak 10.000 kepala keluarga) secara nyata minimal 2 % pertahun. Salah satu input yang diberikan oleh proyek melalui dukungan pelaksanaan MPA. Penentuan jenis MPA tidak hanya dilihat dari keinginan masyarakat saja, tetapi harus mempertimbangkan faktor-faktor lainnya. Bahkan untuk memastikan bahwa jenis-jenis usaha yang akan diusulkan sebagai MPA, maka sebelumnya dilakukan kajian secara komprehensif tentang jenis-jenis usaha yang telah ada dan peluang pengembangan usaha lainnya. Faktor-faktor usaha ekonomi yang dikaji kelayakannya adalah; (a) kesesuaian lokasi (kebutuhan benih, lingkungan perairan, kebiasaan masyarakat setempat), (b) penguasaan teknologi, (c) melibatkan banyak orang, (d) ketersediaan sarana dan prasarana, (e) tenaga terampil, dan (f) keterjangkauan terhadap pasar. Pemilihan jenis MPA tanpa memperhatikan faktor-faktor tersebut di atas, dapat menyebabkan peluang keberhasilannya sangat kecil apalagi jika dikaitkan dengan terget proyek. Untuk menjamin efektifitas pelaksanaan MPA, maka Pokmas diberikan penyuluhan dan pelatihan tentang manajemen dan teknis usaha, sistem keuangan, dan pembukuan (bookeeping). Topik pelatihan yang diberikan harus disesuaikan dengan jenis-jenis MPA yang akan dilaksanakan, serta kebutuhan praktis untuk pengembangan MPA. Siklus MPA tidak berujung di Desa/Kelurahan dimana MPA dilaksanakan, akan tetapi masih ada mata rantai yang harus dilewati utamanya untuk penjualan produk atau hasil dari MPA.

Untuk mengefektifkan proses penjualan produk atau hasil dari MPA, maka COREMAP II akan mendukung Pokmas-Pokmas agar dapat lebih kuat menjangkau pasar. Dalam konteks ini, PIU (Project Implementing Unit), RCU (Regional Coordinating Unit), dan PMO (Project Management Officer) membantu dan memfasilitasi Pokmas-Pokmas membangun kemitraan dengan pengusaha lokal, regional bahkan nasional. Agar posisi Pokmas-Pokmas semakin baik dan proses kemitraan berjalan lancar, maka PIU dan RCU memberikan dukungan dalam hal pemberian kemudahan bagi pengusaha mitra dalam melakukan pembinaan usaha bagi Pokmas-Pokmas dan proses pembelian/penjualan, serta pengembangan skala usaha. Selain itu, PIU dan RCU akan memfasilitasi Pokmas-Pokmas untuk melakukan promosi usaha, dan kemitraan dengan pihak-pihak terkait lainnya (seperti perguruan tinggi, lembaga riset untuk melakukam kajian bisnis).

Thursday, April 2, 2009

Akses Permodalan dalam Pengembangan Budidaya Rumput Laut di KKWL Pulau Biawak dsk



Salah satu strategi pengembangan rumput laut di KKWL Pulau Biawak dan sekitarnya adalah pengembangan ekonomi melalui bantuan dan akses permodalan. Pengembangan kawasan ini tentunya terlebih dahulu mengembangkan dan memberdayakan wilayah melalui peningkatan sarana prasarana dan kemudahan akses agar memiliki ketertarikan ekonomi. Oleh karena itu forum pengelola melalui pendanaan pemerintah perlu menyediakan fasilitas sarana prasarana yang memadai dengan melibatkan pengusaha dan masyarakat sebagai stakeholder investasi.

Pengembangan budidaya rumput laut yang akan dilakukan masyarakat pesisir Indramayu membutuhkan dukungan permodalan. Menurut Monintja (1994), dukungan permodalan untuk peningkatan kesejahteraan adalah syarat mutlak bagi para pelaku usaha perikanan baik bagi usaha skala kecil, menengah dan besar temasuk koperasi. Dukungan ini dapat diupayakan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah dan lembaga keuangan.
Dukungan permodalan dalam usaha perikanan menurut penelitian Supardan (2006), diprioritaskan melalui peran lembaga keuangan ekonomi masyarakat, karena lembaga-lembaga keuangan pemerintah dan lembaga keuangan non pemerintah masih enggan memberikan kemudahan fasilitas permodalan pada pengembangan usaha perikanan di Indonesia. Hal ini perlu menjadi perhatian dalam pengembangan budidaya rumput laut di KKWL.

Lembaga keuangan ekonomi masyarakat atau lembaga keuangan mikro diupayakan untuk dapat difasilitasi pembentukannya oleh forum pengelola KKWL bersama dinas terkait. Lembaga keuangan yang baik di tingkat masyarakat dalam pengembangan usaha menurut penulis diarahkan dalam bentuk lembaga koperasi. Adapun investor atau perusahaan yang ingin bekerjasama dapat mengembangkan melalui pola kemitraan terpadu. Pengembangan budidaya rumput laut melalui pola kemitraan terpadu memberikan kemudahan terutama dalam pemasaran. Pemasaran produksi rumput laut pembudidaya dapat dilakukan dengan langsung menjualnya kepada perusahaan mitra melalui koperasi yang dibentuk para pembudidaya. Harga beli rumput laut hasil produksi menurut BI (2002) oleh perusahaan mitra bisa ditetapkan sesuai dengan harga yang terbesar memberi keuntungan bagi pembudidaya menurut kesepakatan dengan ketentuan apabila harga jual rumput laut yang terjadi di pasar setempat lebih tinggi, akan menggunakan harga tersebut.

Sumber dana yang dibutuhkan dalam pengembangan usaha budidaya rumput laut diawal pelaksanaan perlu dikoordinasikan forum pengelola bersama pemerintah daerah. Apabila mengacu pada Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 14 Tahun 2006 Pasal 29, pemerintah dapat memberikan bantuan teknis dan keuangan. Hal ini memberikan kemudahan bagi forum pengelola untuk menyampaikan kebutuhan-kebutuhan pengembangan budidaya rumput laut berdasarkan peraturan daerah tersebut.

Pembiayaan pengembangan budidaya rumput laut juga dapat berasal dari kredit perbankan dan modal sendiri masyarakat pembudidaya yang dikumpulkan dari kelompok petani nelayan melalui lembaga keuangan koperasi. Selain itu, forum pengelola dapat menyampaikan kebutuhan pembiayaan melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan. Dukungan tersebut disampaikan oleh Ditjenkan Budidaya (2008), bahwa telah dilakukan kegiatan akselerasi budidaya rumput laut dengan sumberdana APBN di beberapa wilayah Pantura yaitu Kabupaten Pemalang, Subang dan Indramayu. Adapun kegiatan tersebut adalah dalam rangka mempercepat pengembangan kawasan budidaya rumput laut di wilayah pantura.

Wednesday, January 28, 2009

KKLD ?



Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, konservasi sumberdaya ikan dilakukan pada tatanan ekosistem, jenis ikan dan genetik, selanjutnya disebutkan bahwa konservasi ekosistem tersebut dilakukan melalui kegiatan : (1) Perlindungan habitat dan populasi ikan; (2) Rehabilitasi habitat dan populasi ikan; (3) Penelitian dan pengembangan; (4) Pemanfaatan sumberdaya ikan dan jasa lingkungan; (5) Pengawasan pengendalian, dan (6) Monitoring dan evaluasi.

Selanjutnya, satu atau beberapa tipe ekosistem yang terkait dengan sumberdaya ikan dapat ditetapkan sebagai kawasan konserasi perairan. Kawasan Konservasi Laut Daerah adalah kawasan konservasi yang kewenangan pengelolaannya berada pada pemerintah daerah, yang bertujuan : (1) Mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati laut dan ekosistemnya di daerah untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat; (2) Melindungi dan mengelola keterwakilan tipe-tipe ekosistem penting di wilayah pesisir dan laut untuk menjamin keberlanjutan fungsi ekologis jangka panjang; (3) Sebagai suatu kawasan untuk pemanfaatan sumberdaya alami bagi kepentingan wisata dan rekreasi, pendidikan, penelitian dan bentuk lain yang tidak bertentangan dengan prinsip konservasi; (4) Sebagai tempat pengembangan program pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya oleh masyarakat dan atau masyarakat adat terkait dengan praktek-praktek budaya tradisional, dan (5) Sebagai tempat untuk pengembangan program interprestasi sumberdaya alam dan lingkungannya dalam rangka mendukung konservasi, rekreasi, pendidikan dan penelitian.

Thursday, January 22, 2009

Ikan Hiu dan Ikan Pari Diolah Menjadi Ikan Asin



Menyantap nasi timbel rasanya tidak klop kalau tidak ditemani sambal terasi dan ikan asin jambal roti. Meski hanya sekotak kecil berbentuk dadu ikan asin menjadi lauk wajib dalam sajian nasi timbel atau makanan khas Jawa Barat.

Banyak jenis ikan asin di dapat di pasar tradisional atau supermarket mulai dari ikan asin favorit jambal roti atau jenis lainnya seperti teri, tongkol, cumi atau bahkan ikan asin hiu atau sering disebut nelayan Cirebon sebagai ikan cucut.

Karena harganya relatif terjangkau, bahan makanan ini sering digunakan menyiasati keterbatasan anggaran rumah tangga.

Proses produksi ikan asin juga tidak terlalu rumit dan hanya menggunakan teknologi tradisional. Para pengasin biasanya memperoleh ikan dari tempat pelelangan ikan di pelabuhan setempat atau membeli langsung dari nelayan. Jika hasil tangkapan ikan melimpah, setiap pengasin bisa memproduksi beberapa ton ikan asin per hari.

Seperti halnya di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Kejawanan Kota Cirebon produksi ikan asin skala besar juga berlangsung di sini.

UD Barokah salah satu usaha pengolahan ikan menjadi ikan asin dalam sebulan bisa memproduksi lebih dari 100 ton ikan asin. Terkadang bisa lebih jika hasil tangkapan ikan pari atau hiu (cucut) juga melimpah.

H. Darkinah, pemilik UD Barokah mengatakan ikan asin yang dihasilkan di PPN Kejawanan lebih banyak menggunakan ikan pari atau cucut karena nelayan yang berlabuh di PPN Kejawanan biasanya hanya menangkap jenis ikan ini.

Usai dibersihkan, ikan-ikan tersebut lalu disimpan digudang pendingin untuk kemudian nantinya di potong dalam ukuran kecil atau hanya di iris tipis-tipis menjadi ikan asing kering.

Bau busuk ikan pari dan cucut tidak terlalu dihiraukan para pekekerjanya, mungkin karena sudah terbiasa. Ikan-ikan ini memang rentan busuk karena bisanaya disimpan di gudang pendingin lebih dari satu bulan baru kemudian diolah menjadi ikan asin.

“Kami biasanya baru membuat ikan asin jika tidak hujan dan sudah mendapatkan pesanan,” katanya.

Setelah ikan dipotong kecil atau diiris tipis sebelum dijemur biasanya dimasukkan ke dalam larutan garam. Perendaman bisa 12 jam hingga semalam suntuk. Ikan yang telah diasinkan lalu dikemas dan dijual kepada para pengepul di Cirebon, Jakarta, Bandung atau daerah lain.

Selama musim penghujan seperti saat ini proses penjemuran ikan asin terganggu dan kurang sempurna. Ikan asin mudah ditumbuhi jamur, mudah hancur, terutama apabila cara pengemasannya tidak rapi dan harus dikirim ke luar kota. Bisa -bisa, ikan asin itu pun tidak laku di pasaran.

Selain dikenal sebagai makanan yang murah, ikan asin juga sering dicurigai mengandung formalin. Ada beberapa alasan perajin ikan asing menggunakan formalin.

Dengan proses garam dan penjemuran, rendemen yang tersisa kurang dari separuh. Bila bahan bakunya seratus kilogram saat masih basah, setelah jadi ikan asin tinggal 40% atau 40 kg. Kehilangan 60 kg itu sangat merugikan karena harga jual menggunakan satuan kilogram. Jika memakai formalin, rendemen dipercaya bisa mencapai 75%. Selisih 35% itu yang dikejar para pengolah.

Selain itu beberapa konsumen juga menginginkan ikan asin dengan tampilan yang menarik dan tidak gampang rusak. Pilihannya adalah menggunakan formalin. Namun seperti buah simalakama, sejak isu penggunaan formalin merebak penjualan ikan asin merosot.

Perajin ikan asin sendiri berharap adanya alternatif bahan pengawet yang aman digunakan dalam pengolahan ikan. Jika tidak, maka formalin tetap digunakan. (BC-11)
From beritacerbon.com. 20 Jan 2009 07:41 - by Raharjo

Pelayaran ke Pulau Biawak Ditutup



INDRAMAYU,Cuaca buruk yang terjadi di perairan Laut Jawa utara di Kab. Indramayu tidak hanya membuat ribuan nelayan terpaksa melego jangkar, tetapi juga berpengaruh terhadap sektor wisata bahari. Pihak berwenang setempat mengumumkan, jalur pelayaran wisata dari Tanjung Indramayu menuju Pulau Biawak dinyatakan tertutup.

Pasalnya, ketinggian gelombang pada alur pelayaran tersebut sangat tinggi dan cenderung ekstrem. Berdasarkan pemantauan “MD”, Selasa (20/1), meski tampak tenang, namun kondisi umum perairan laut di Tanjung Indramayu tetap menimbulkan risiko. Pasalnya, di beberapa titik kerap muncul gelombang tinggi secara tiba-tiba, terutama di sekitar perairan dekat Kepulauan Rakit.

Gelombang besar yang dikenal dengan sebutan ‘badai rakit’ masih menjadi ancaman di alur pelayaran dari dan menuju Pulau Biawak. Kepala Kantor Pelabuhan Indramayu, Drs. Sukiman menyatakan, untuk keselamatan wisatawan, pihaknya sudah mengumumkan alur palayaran dari Indramayu menuju Pulau Biawak untuk sementara ditutup. Penutupan tersebut, diberlakukan sampai keadaan gelombang dan cuaca kembali normal. “Kami sudah sampaikan kepada beberapa pihak agar tidak melalui jalur pelayaran yang berpotensi menimbulkan ancaman bahaya bagi wisatawan,” ungkap Sukiman.

Sementara itu para nelayan yang memiliki perahu berukuran kurang dari 8 GT, hampir seluruhnya memilih tidak melaut. Pasalnya, hempasan gelombang tinggi dapat langsung membalikkan perahu-perahu. Perahu-perahu berukuran kurang dari 8 GT itu berjejer rapi di muara Karangsong Indramayu. Sedangkan para nelayannya memilih untuk melakukan aktivitas membetulkan jaring ikan maupun perahu yang mengalami kerusakan.

Banyaknya nelayan yang tidak melaut itu akhirnya berdampak pada aktivitas pelangan ikan di tempat pelelangan ikan (TPI) Karangsong. Sejak seminggu terakhir, aktivitas pelelangan ikan menurun secara drastis. Ketua Koperasi Perikanan Laut (KPL) Mina Sumitra, Ono Surono, menjelaskan, dalam kondisi normal, nilai transaksi jual beli ikan di TPI Karangsong mencapai Rp 300 juta - Rp 500 juta per hari. Namun saat ini, nilai tersebut turun hingga menjadi Rp 100 juta - Rp 200 juta per hari. “Yang masih melaut hanya kapal-kapal besar saja, sedangkan perahu-perahu kecil tidak ada yang berani melaut,” kata Ono.(C-26). From mitra dialog on Wednesday, 21 January 2009

Thursday, January 15, 2009

Pengelolaan Sumberdaya Laut Melalui Konservasi



Kita semua mungkin sudah tahu, bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang terbesar di dunia, dengan jumlah pulau lebih dari 17.500 buah, teritorial yang membentang sepanjang 5.000 km dan hampir 2.000 km melebar di atas garis khatulistiwa, serta memiliki panjang pantai sekitar 81.000 km. Hampir dua pertiga atau sekitar 7,1 juta km dari wilayah Indonesia tersebut merupakan lautan, sehingga laut dan wilayah pesisir merupakan lingkungan fisik yang mendominasi kepulauan Indonesia.

Dari luas wilayah laut dan panjang pantai yang ada, Indonesia memiliki berbagai potensi sumberdaya alam laut yang terkandung didalamnya, baik yang berupa sumberdaya alam hayati maupun sumberdaya alam non hayati. Disamping itu juga memegang peranan penting sebagai ruang, alat, kondisi juang bangsa Indonesia dalam mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan dan keamanan dengan fungsi sebagai sarana dan media perhubungan, serta sebagai perwujudan pertahanan dan keamanan kepulauan dan perairan Indonesia.

Pada saat ini, upaya pemanfaatan sumberdaya alam laut dianggap masih belum optimal dan masih dapat ditingkatkan. Walaupun demikian, upaya pendayagunaan tersebut harus didasarkan pada pola pemanfaatan yang tepat dengan tetap memperhatikan kelestariannya, mengingat dewasa ini ada kecenderungan yang menunjukan adanya gejala penurunan kualitas dan kuantitasnya sebagai akibat dari berbagai faktor. Salah satu faktornya adalah aktivitas masyarakat di daratan yang memanfaatkan sumber daya alam laut dengan tidak memperhatikan aspek-aspek konservasi.

Perlu kita ketahui bersama, bahwa pelaksanaan konservasi sumberdaya alam laut di Indonesia saat ini adalah melalui menyisihkan kantong-kantong konservasi yakni dengan penunjukan dan penetapan wilayah-wilayah tertentu yang merupakan perwakilan keanekaragaman jenis biota laut, keutuhan sumber plasma nutfah, keseimbangan ekosistem, keunikan dan keindahan alam yang biasa disebut dengan kawasan konservasi luat atau KKL. KKL ini kemudian dikembangkan oleh instansi pemerintah maupun NGO/ lembaga swadaya masyarakat atau oleh individu. Oleh instansi pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan, biasa disebut sebagai kawasan konservasi laut daerah (KKLD) yang dalam penamaannya bervariasi. Namun, menurut literatur internasional, kawasan tersebut biasanya disebut sebagai Marine Protected Area (MPA) atau Marine Management Area (MMA).

Tentu saja, dalam rangka pengelolaan suatu kawasan di laut untuk dapat dilestarikan terkendala oleh berbagai permasalahan. Permasalahan utama dalam pengelolaan sumberdaya alam laut tersebut adalah sering tidak diperhatikannya kelestarian lingkungan sehingga dikhawatirkan akan terjadi kerusakan yang mengakibatkan kepunahan berbagai jenis biota laut beserta ekosistemnya. Oleh karenanya dalam upaya-upaya pemanfaatan, pengelolaan dan pengembangan sumberdaya alam laut tersebut, harus dilskukan secara bijaksana, terencana dan terkendali yang diarahkan untuk mempertahankan keberadaannya dalam keseimbangan yang dinamis, sehingga terjamin kelestariannya.

Untuk itu, sangatlah penting bagi instansi pemerintah atau NGO/LSM dan masyarakat untuk mensosialisasikan dan menemukenali berbagai isu sebagai berikut :
  1. Pentingnya pengelolaan berbagai jenis sumberdaya ikan (SDI sesuai UU 32 tentang Perikanan) dan ekosistemnya,
  2. Rencana pengelolaan kawasan konservasi laut,
  3. Penataan ruang pengelolaan kawasan konservasi dan pengelolaannya berbasis ekosistem dan berbasis masyarakat,
  4. Pemetaan dan penataan batas kawasan konservasi laut,
  5. Pengelolaan wisata bahari, perikanan berkelanjutan, pengelolaan ekosistem perairan dan pencemarannya,
  6. Dampak perubahan iklim global terhadap kelangsungan pemanfaatan sumberdaya ikan dan kerusakan wilayah pesisir,
  7. Pengelolaan berbasis masyarakat,
  8. Efektifitas pengelolaan sumberdaya ikan terbatas,
  9. Pengelolaan berbasis ilmu pengetahuan; riset dan monitoring, dan
  10. Penguatan kelembagaan pengelolaan kawasan konservasi

Tuesday, December 30, 2008

Kawasan Konservasi Perairan berdasarkan PP 60 TAHUN 2007



Kawasan Konservasi Perairan adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Sesuai dengan PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60 TAHUN 2007 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA IKAN sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, pada Pasal 13.

Tipe ekosistem yang terkait dengan sumber daya ikan terdiri atas laut;padang lamun; terumbu karang; mangrove; estuari; pantai; rawa; sungai; danau; waduk; embung; dan ekosistem perairan buatan. Satu atau beberapa tipe ekosistem yang terkait dengan sumber daya ikan tersebut, dapat ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan.

Kawasan konservasi perairan sebagaimana PP dimaksud terdiri atas taman nasional perairan, taman wisata perairan, suaka alam perairan, dan suaka perikanan. Kawasan konservasi perairan tersebut ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.

Penetapan kawasan konservasi perairan sebagaimana dimaksud dilakukan berdasarkan kriteria:
a. ekologi, meliputi keanekaragaman hayati, kealamiahan, keterkaitan ekologis, keterwakilan, keunikan, produktivitas, daerah ruaya, habitat ikan langka, daerah pemijahan ikan, dan daerah pengasuhan;
b. sosial dan budaya, meliputi tingkat dukungan masyarakat, potensi konflik kepentingan, potensi ancaman, kearifan lokal serta adat istiadat; dan
c. ekonomi, meliputi nilai penting perikanan, potensi rekreasi dan pariwisata, estetika, dan kemudahan mencapai kawasan.

Suatu kawasan yang dapat ditetapkan sebagai Kawasan konservasi perairan adalah yang memiliki potensi biofisik dan sosial budaya yang sangat penting secara global dapat diusulkan oleh Pemerintah kepada lembaga internasional yang berwenang sebagai kawasan warisan alam dunia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kawasan konservasi perairan dapat diajukan oleh orang perseorangan, kelompok masyarakat, lembaga penelitian, lembaga pendidikan, lembaga pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat. Usulan tersebut disampaikan kepada Pemerintah atau pemerintah daerah dengan dilengkapi kajian awal dan peta lokasi.

Pengelolaan :
Kawasan konservasi perairan yang telah ditetapkan dikelola oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya. Pengelolaannya dilakukan oleh satuan unit organisasi pengelola sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pengelolaan kawasan konservasi perairan yang dilakukan oleh Pemerintah meliputi:
a. perairan laut di luar 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
b. perairan yang berada dalam wilayah kewenangan pengelolaan lintas provinsi; atau
c. perairan yang memiliki karakteristik tertentu.

Pengelolaan kawasan konservasi perairan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi meliputi:
a. perairan laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan; dan
b. kawasan konservasi perairan yang berada dalam wilayah kewenangan pengelolaan lintas kabupaten/kota.

Pengelolaan kawasan konservasi perairan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota, meliputi:
a. perairan laut 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan pengelolaan provinsi; dan
b. perairan payau dan/atau perairan tawar yang berada dalam wilayah kewenangannya.

Pemanfaatan
Pemanfaatan kawasan konservasi perairan untuk penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan dilakukan di zona perikanan berkelanjutan. Setiap orang dalam melakukan penangkapan ikan wajib memiliki izin. Izin penangkapan ikan dalam kawasan konservasi perairan, diberikan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota atau pejabat yang ditunjuk sesuai kewenangannya.
Pertimbangan dalam memberikan izin penangkapan ikan antara lain :
a. daya dukung dan kondisi lingkungan sumber daya ikan;
b. metoda penangkapan ikan; dan
c. jenis alat penangkapan ikan.

Pertimbangan dalam memberikan izin pembudidayaan ikan pada kawasan konservasi perairan, antara lain:
a. jenis ikan yang dibudidayakan;
b. jenis pakan;
c. teknologi;
d. jumlah unit usaha budidaya; dan
e. daya dukung dan kondisi lingkungan sumber daya ikan.

Pemanfaatan kawasan konservasi perairan untuk pariwisata alam perairan dapat dilakukan di zona pemanfaatan dan/atau zona perikanan berkelanjutan. Pariwisata alam perairan dalam kawasan konservasi perairan dapat dilakukan melalui:
a. kegiatan pariwisata alam perairan; dan/atau
b. pengusahaan pariwisata alam perairan.

Setiap orang dalam melakukan kegiatan dan pengusahaan pariwisata alam perairan, wajib memiliki izin.Izin tersebut diberikan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan kewenangannya.

Pemanfaatan kawasan konservasi perairan untuk kegiatan penelitian dan pendidikan dapat dilakukan di zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, maupun zona lainnya. Setiap orang dalam memanfaatkan kawasan konservasi perairan untuk kegiatan penelitian dan pendidikan wajib memiliki izin pemanfaatan. Izin diberikan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan kewenangannya. Orang asing dan/atau badan hukum asing yang akan melakukan kegiatan penelitian dalam kawasan konservasi perairan dapat diberikan izin setelah memenuhi persyaratan perizinan penelitian berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tuesday, October 28, 2008

WWF Usulkan Insentif Bagi Negara "Coral Triangle



Organisasi konservasi lingkungan, World Wildlife Fund (WWF), mengusulkan pemberian insentif kepada negara-negara di wilayah Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle) terkait pelestarian tuna dunia.

Opsi insentif dari dunia itu dimaksudkan untuk membantu menjaga tempat pemijahan tuna di daerah coral triangle seperti Indonesia. Upaya tersebut adalah untuk menjaga pelestarian tuna di kawasan segitiga terumbu karang, kata Coral Triangle Network Initiative Leader WWF, Lida Pet Soede, di Jakarta, Selasa.

Dalam menjaga pelestarian tuna di dunia, dibutuhkan kepedulian semua pihak. Ide pemberian insentif bagi negara di sekitar coral triangle juga merupakan usulan Indonesia mengenai perdagangan karbon pada COP 13 di Bali akhir Desember 2007.

Mengenai besaran insentif kepada negara di kawasan "coral triangle" harus dibicarakan bersama.

Menurut dia, pelestarian tuna tidak cukup hanya dengan pembatasan kuota tangkapan saja. WWF meminta pemerintah menggeser arah kebijakan dengan melakukan penangkapan yang lebih berkelanjutan.

Upaya lain yang dilakukan untuk mengendalikan keberadaan tuna adalah mengikuti langkah sektor kehutanan dengan mewajibkan produk kehutanan memiliki eco label, ujar dia. Ini akan menjadi syarat agar produk perikanan dapat masuk ke pasar Eropa dan Amerika Serikat.

Sebelumnya, Jose Ingles dari program "Coral Triangle" WWF juga mengatakan akan adanya persyaratan eco label pada setiap produk perikanan. Eco label hanya diberikan pada produk perikanan yang telah dihasilkan dari cara-cara yang benar.

Dia mengatakan konsumen di Eropa dan Amerika Serikat akan lebih diedukasi agar membeli produk yang telah memiliki eco label.

Menurut Purwito Martosubroto dari Komisi Tuna Indonesia, selama ini ekspor perikanan Indonesia selalu mendapat tantangan dari Eropa dan Amerika Serikat terkait dengan tingkat higienis produk.ANTARA News 21/10/08.

Friday, October 10, 2008

Krisis Keuangan AS dan Sektor Perikanan



Berkaitan dengan terjadinya krisis keuangan Amerika Serikat (AS), berbagai langkah antisipasi dilakukan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dengan mencermati terus secara seksama dampak lanjutan krisis keuangan AS. Selain di AS, negara UE dan Jepang merupakan pasar utama alternatif hasil perikanan Indonesia sampai Agustus 2008, nilai ekspor ke AS adalah U$ 580 juta ke Jepang U$ 430 juta dan ke UE mencapai U$ 240 juta.

Ekspor produk perikanan Indonesia ke Amerika Serikat mengalami peningkatan pada periode Januari-Maret 2008, yakni senilai US$ 264,3 juta, atau sebesar 27,8 persen dibanding tahun 2007, senilai US$ 206,8 juta. Kenaikan yang utama adalah produk udang, sebesar 57,7 persen, yakni dari US$ 94,2 juta menjadi US$ 148,7 juta. Berikutnya adalah ikan tuna, sebesar 20,4 persen, yaitu dari US$ 32,2 juta menjadi US$ 38,8 juta. Lainnya berupa fillet ikan sebesar US$ 39,5 juta, beku US$ 7,3 juta dan ikan kering U$ 4,4 juta.

Situasi pasar ekspor hasil perikanan pada bulan Oktober – Desember 2008 sifatnya masih volatile (tidak menentu). Hal ini sebagai bahan untuk mempertimbangkan bahwa hasil perikanan merupakan kelompok bahan pangan (human consumption) dan segmen pasar hasil perikanan terutama udang relatif segmented, Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan memperkirakan sementara dampak krisis akan mempengaruhi kinerja ekspor hasil perikanan sekitar 10 – 15 persen.

Realisasi ekspor hasil perikanan bulan September - awal Oktober 2008 pada umumnya merupakan tindak lanjut dari kontrak yang telah disepakati sebelum terjadinya krisis. Saat ini belum dirasakan dampak yang signifikan terhadap kinerja ekspor hasil perikanan.

Beberapa pelaku usaha memberi informasi, terdapat indikasi bahwa mitra importir di luar negeri khususnya AS diperkirakan akan melakukan negosiasi ulang kontrak yang sudah ada terutama mengenai harga dan volume. Oleh karena itu dampak nyata dari krisis ini terhadap kinerja ekspor hasil perikanan kemungkinan akan mulai terlihat dalam satu atau dua bulan kedepan dan seterusnya ke tahun 2009.

Langkah lain yang dilakukan oleh DKP bagi pengusaha perikanan adalah melakukan konsolidasi dengan para pelaku usaha dalam mengambil langkah bersama menghadapi dampak yang akan terjadi. Memelihara dan melayani dengan baik kontrak–kontrak berjalan terutama kelancaran pembayaran kontrak. Pihak eksportir seyogjanya senantiasa melakukan kontak dengan perbankan dalam negeri, disamping untuk pembukaan L/C juga untuk memastikan kelancaran pembayaran, juga mendorong para pelaku usaha untuk melakukan diversifikasi pasar terutama ke negara yang belum terkena dampak krisis.

Bagi para pelaku usaha, dihimbau untuk merealisasikan kontrak yang belum dieksekusi. Khusus pasar Eropa, mengupayakan beberapa Unit Pengolahan Ikan (UPI) yang telah memenuhi persyaratan untuk mendapatkan Approval Number agar dapat melakukan ekspor ke UE.

Dalam upaya mengantisipasi dampak krisis keuangan AS, DKP mengajak pelaku usaha untuk meningkatkan efisiensi usaha, melalui Ditjen P2HP telah memberlakukan pelayanan penerbitan Health Certificate (HC) 1 (satu) hari, dan dihimbau kepada para pelaku usaha tetap menjaga citra produk Indonesia yang baik saat ini dengan pemenuhan standard mutu, kontinuitas supplai, dan ketepatan waktu pengiriman.

Kalau pada krisis moneter tahun 1998 lalu, pada saat sektor manufaktur mengalami hantaman keras, produk perikanan dan komoditi sumberdaya alam yang lain malah memanen rejeki dari tingginya nilai dolar. Memang lain dulu, lain sekarang. Yang terpenting adalah terdapat kebersamaan antara pihak Swasta dan Pemerintah, sehingga apapun masalahnya, akan dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya.

Disadur dari : http://www.dkp.go.id

Tuesday, October 7, 2008

Indonesia Agar Waspadai Limpahan Produk Perikanan AS

Indonesia agar mewaspadai kemungkinan adanya limpahan produk perikanan yang ditujukan ke Amerika Serikat (AS) dari China, kata seorang pejabat Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).

Indonesia memang menjadi salah satu pintu masuk yang mengiurkan bagi produk perikanan asing untuk mencapai negara lain, kata kata Direktur Pemasaran Luar Negeri Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Saut P Hutagalung, di Jakarta, Selasa.

"Jumlah ekspor perikanan China ke Amerika sangat besar, bisa juga dikatakan China eksportir terbesar produk perikanan ke Amerika. Jika sampai krisis perekonomian Amerika berpengaruh pada menurunannya permintaan kemungkinan China akan mencari pasar lain," katanya.

Dia mengatakan Indonesia memang menjadi salah satu pintu masuk yang mengiurkan bagi produk perikanan asing untuk mencapai negara lain. Hal tersebut menjadi masalah tersendiri yang hingga saat ini coba diatasi.

Oleh karena itu, menurut dia, Indonesia harus berhati-hati dalam melakukan impor produk perikanan jangan sampai berakhir pada penolakan produk sendiri oleh negara tujuan ekspor seperti Uni Eropa dan Jepang.

"Produk kita sudah diterima di Eropa, mereka mengakui kualitas produk kita. Jangan sampai karena keinginan mendapatkan untung besar satu pihak saja berakhir pada penolakan pada semua produk perikanan asal Indonesia," ujar dia.

Guna mengatasi atau meredam kemungkinan pengenaan dumping dari negara lain terhadap produk perikanan DKP sendiri sejak lama mempersiapkan Peraturan Menteri (Permen) yang berfungsi mengontrol impor produk perikanan tersebut, namun hingga saat ini Permen tersebut belum selesai.

Ekspor produk perikanan Indonesia sendiri ke AS diperkirakan akan terpengaruh akibat krisis perekonomian di negara tersebut, ujar dia. Dalam dua bulan ke depan seberapa besar dampaknya baru akan diketahui.

AS sendiri merupakan pasar ekspor perikanan terbesar Indonesia dengan nilai mencapai 580 juta AS dolar hingga Agustus 2008 ini. Sedangkan ekspor ke Jepang mencapai 430 juta AS dolar dan ke Uni Eropa mencapai 240 juta AS dolar.

Produk perikanan terbesar adalah udang yang mencapai 55 persen dari total ekspor ke negara tersebut. Sedangkan 35 persen merupakan produk ikan laut non tuna dan 10 persen tuna.(*) Jakarta, (ANTARA News)

Saturday, September 27, 2008

Indonesia Jajaki Ekspor Perikanan Eropa Timur

Indonesia mulai menjajaki ekspor perikanan ke Timur Tengah dan Eropa Timur untuk meningkatkan nilai ekspor produk perikanan.

"Sekarang ini kita mencoba menjajaki peluang ekspor perikanan ke Timur Tengah dan Eropa Timur. Kedua negara tersebut merupakan pasar baru yang belum pernah dimasuki secara serius," kata Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Martani Huseini, di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, pasar di kedua kawasan tersebut cukup menjanjikan mengingat negara-negara di kawasan tersebut merupakan negara kaya.

"Permintaan ada dari Eropa Timur, mulai dari Rusia, Polandia, dan Syria. Tentara mereka meminta tuna impor dalam bentuk beku, bisa dibayangkan berapa besar kebutuhannya, ini peluang untuk Indonesia," ujarnya.

Sedangkan pasar ekspor lainnya yang sedang dijajaki, menurut Martani, adalah Timur Tengah. Selama ini kebutuhan ikan negara Timur Tengah baru dipasok dari Thailand, China dan Vietnam, padahal China pun mengimpor dari Indonesia.

"Bulan November rencananya kita akan ke Timur Tengah untuk
menindaklanjuti peluang yang ada. Pasar di sana nilainya mencapai 40 juta dolar AS per tahun, tidak terlalu besar memang tapi pasar ini sangat mungkin berkembang mengingat perkembangan Timur Tengah sangat pesat," katanya.

Berbagai produk perikanan yang diekspor antara lain ikan laut maupun air tawar berupa filet maupun dalam bentuk utuh, ujar dia. Ikan yang ekspor mulai dari tuna, udang, nila, hingga patin.

Sementara itu, Direktur Pemasaran Luar Negeri, Saut P Hutagalung mengatakan, pasar Timur Tengah lebih kecil jika dibanding pasar China yang mencapai 65 juta AS dolar. Pasar Timur Tengah yang hampir separuhnya diperuntukan untuk Arab Saudi mencapai 18 juta dolar, sisanya untuk Yordania mencapai 15 juta dolar dan Mesir mencapai tujuh juta dolar.

"Untuk saat ini baru MoU dengan Mesir yang hampir siap, sedangkan untuk Arab Saudi masih harus melalui penjajakan. Dan untuk Yordania sama sekali belum dicoba pembicaraan antara dua negara," katanya.

Menurut dia, selama ini kendala dalam melakukan ekspor perikanan ke Timur Tengah karena pihak Indonesia belum mengenal dengan baik pasar tersebut. Jika dilihat secara politis, hubungan Indonesia dan negara-negara di Timur Tengah memang tidak ada masalah, tetapi dalam kaitan dengan dunia ekonomi masih perlu pembelajaran.

"Tarif bea masuk di sana tinggi memang, 20 hingga 40 persen. Tapi tidak masalahkan karena negara lain juga dapat membayar sebesar itu," ujarnya.

Justru yang menjadi masalah, menurut dia, adalah belum adanya sertifikat halal untuk produk perikanan Indonesia, sedangkan Filipina telah memilikinya. Pembahasan sertifikasi halal telah dibicarakan dengan MUI, tetapi terhambat dengan adanya RUU Label Halal.

"Hal lain yang diperlukan dalam hal ini MoU Perdagangan antar negara. Ini sangat penting sebagai payung hukum, kita sudah ada MoU dengan Iran, menyusul Mesir dalam waktu dekat," katanya.(*)Jakarta, (ANTARA News)

Wednesday, September 3, 2008

A Process for Community-based



There are many similarities, and some differences, between community-based coastal resource management (CBCRM) and co-management. When CBCRM is considered an integral part of co-management, there is a new category of co-management which can be called community-based co-management. Community-based comanagement is people-centered, community-oriented, resources-based and partnership-based. The implementation of community-based co-management has four components: resources management, community and economic development, capability building, and institutional support.

Reference : Pomeroy, R.S. NAGA, The ICLARM Quarterly, 1998. Vol. 21, No. 1, pp 71-76.

Download :

http://uploads.bizhat.com/file/348616

A Rapid Appraisal Approach to Evaluation of Community-Level Fisheries Management Systems


Framework and Field Application at Selected Coastal Fishing Villages in the Philippines and Indonesia


Among the recent attempts to use the Rapid Rural Appraisal (RRA) techniques traditionally employed in agriculture and other terrestrial resource systems is in the evaluation of the coastal and marine fisheries’ environments. One of these approaches is called Rapid Appraisal of Fisheries Management Systems (RAFMS) which was developed at the International Center for Living Aquatic Resources Management (ICLARM). The RAFMS is a diagnostic tool designed to quickly document and evaluate the operating fisheries management systems both formal and informal at the community level. As a critical first step in diagnosing the existing types of community-level fisheries management systems, the RAFMS shall provide general information on their essential features, operations and impacts. Given limited funds, time, and research personnel, it is not always possible to conduct indepth studies of community-based fisheries resource management systems at a specific site or across a country. While the RAFMS is no substitute for more detailed studies, it can provide cost-effective information and a research and/or policy direction for further study. This paper first describes the framework of the RAFMS. Then, it provides examples of output from RAFMS generated through field applications in the fishing villages of Ulugan Bay and Binunsalian Bay in Palawan Island, Philippines and Nolloth Village in Saparua Island, Indonesia. The RAFMS was found useful in generating information for use of the outside experts, the local researchers and the residents of the fishing communities. The outputs from the field application in the Philippines and Indonesia are now being used for various planning, project development and research purposes.

Reference: Pido, M.D., R.S. Pomeroy, L.R. Garces and M.B. Carlos. 1997. Coastal Management Vol. 25, No. 2, pp 183-204.

Download :

http://uploads.bizhat.com/file/348613

A note on cyanide fishing in Indonesia

In Indonesia reef fish stocks are declining as a result of over-fishing and destruction of habitats. The latter is caused by the dying of corals from cyanide and by the breaking of corals around holes where fish are hiding. In the capture of a single grouper, more than a square meter of corals is destroyed when the fish is removed from its hiding place. In areas where cyanide fishing has been practised intensively, the reef is mostly dead, overgrown with algae, and has only very few animals still living on it.


Reference : P
ET-SOEDE, L. & M.V. ERDMANN. (1998). An overview and comparison of destructive fishing

practices in Indonesia. SPC Live Reef FishInformation Bulletin 4: 28-36.


Download :

http://uploads.bizhat.com/file/348614

Wednesday, August 27, 2008

Conservation and Fisheries Literature



Carrying Capacity And Marine Protected Areas

What is being measured in carrying capacity studies is generally confined to the direct physical impacts on the environment. However, the indirect effects of visitation such as increased sedimentation levels from coastal zone construction or increased nutrients from the discharge of untreated or partially treated sewerage waste, may be much more significant sources of stress to the environment.

Reference : Glass, A. and K. De Meyer. 2002. Carrying capacity and marine protected areas. Science Fact Sheet. The Coral Reef Alliance (CORAL)

Download :
http://www.2shared.com/file/3829900/fe4a80b2/carrying_capacity_and_mpa.html
password : konservasi



Coral Reefs and the Global Network of Marine Protected Areas

Existing marine reserves are largely ineffective and as a whole remain insufficient for the protection of coral reef diversity.

Reference : Mora, C., S. Andrefouet, M. J. Costello, C. Kranenburg, A. Rollo, J. Veron, K. J. Gaston and R. A. Myers. Science vol 312: 1750-1751. 2006.

Download :
http://www.2shared.com/file/3829938/dbbc5b43/coralreef_n_globalnetwork_mpa.html
password : konservasi


Good Practices for Community-based Planning and Management of Shrimp Aquaculture in Sumatra, Indonesia.

This paper presents a case study of a pilot project in Indonesia that is working to promote environmentally responsible and sustainable shrimp aquaculture. The project is located in Pematang Pasir, a coastal village located in Lampung Province on the island of Sumatra, in Indonesia. Lampung Province is the second largest shrimp-producing province in Indonesia. It has achieved this status over a very short period of time. Like so many other places around the world, the rate of growth has overwhelmed government capacity to plan and guide shrimp aquaculture growth in a responsible manner. The pilot project in Pematang Pasir is part of the Indonesian Coastal Resources Management Project (Proyek Pesisir) whose overall objective is to decentralize and strengthen coastal resource planning and management.4 As a “pilot” project, it is intended to test and expand knowledge of effective methods and lessons learned that could be replicated in other locations on a wider scale. This paper describes what has been learned to date, and offers strategies, methods and tools of community-based coastal resource management that can be used worldwide in efforts directed at analyzing constraints to adoption of good practices for shrimp farming and how to overcome them.

Proyek Pesisir Working Paper. USAID/BAPPENAS NRM II Program. Jakarta, Indonesia. 2001. 45pp.


Download :
http://www.2shared.com/file/3829999/5654835f/com_based_aquaculture_lampung.html
password : konservasi


A Marine Rapid Assessment of the Raja Ampat Islands, Papua Province, Indonesia.

The Raja Ampat Islands, situated immediately west of the Birdshead Peninsula, are composed of four main islands (Misool, Salawati, Batanta, and Waigeo) and hundreds of smaller islands, cays, and shoals. Much of the area consists of gazetted wildlife reserve (cagar alam), but there remains a critical need for biological surveys. Delegates at the January 1997 Conservation Priority-setting Workshop on Biak unanimously agreed that the Raja Ampats are a high-priority area for future RAP surveys, both terrestrial and marine. The area was also identified as the number one survey priority in Southeast Asia at CI’s Marine RAP Workshop in Townsville, Australia, in May 1998. Due to its location near the heart of the “Coral Triangle” (the world’s richest area for coral reefs encompassing N. Australia, Indonesia, Philippines, and Papua New Guinea) coupled with an amazing diversity of marine habitats, the area is potentially the world’s richest in terms of marine biodiversity. The area supports some of the richest coral reefs in the entire Indonesian Archipelago. The sparsely populated islands contain abundant natural resources, but unfortunately are a tempting target for exploitation. The islands have long enjoyed a form of natural protection due to their remote location, but as fishing grounds have become unproductive in areas to the west, the number of visits by outside fishing vessels has increased. Particularly over the past two to three years, there has been a noticeable increase in the use of explosives and cyanide by both outsiders and local people. This report presents the results of a Conservation International Marine RAP (Rapid Assessment Program) survey of marine biodiversity in the Raja Ampat Islands, focusing on selected faunal groups, specifically reef-building (scleractinian) corals, molluscs, and fishes. Additional chapters present the results of fisheries and reef condition surveys, as well as a study of marine resource use by local communities. The purpose of this report is to document local marine biodiversity and to assess the condition of coral reefs and the current level of fisheries exploitation in order to guide regional planning, marine conservation, and the use of sustainable marine resources.

(Laporan ini memaparkan hasil penilaian lapangan secara cepat di Kepulauan Raja Ampat, Indonesia, yang terletak di paling ujung barat Propinsi Papua dulu bernama Irian Jaya. Kepulauan ini terdiri dari beberapa pulau besar dan bergunung-gunung, yaitu Waigeo, Batanta, Salawati dan Misool serta ratusan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Daratan dan lautan di sekelilingnya mencakup luas sekitar 43.000 km2. Total populasi penduduk adalah 48,707 atau 7 jiwa/ km2 berdasarkan sensus terakhir tahun 1998. Pulau-pulau ini merupakan bagian dari “segitiga karang” (Coral Triangle) yang terdiri dari Indonesia, Filipina, Malaysia, Papua New Guinea, Jepang dan Australia. Kawasan tersebut mendukung kehidupan eanekaragaman hayati laut terkaya di dunia, yang umumnya berpusat di habitat-habitat karang yang luas, bakau dan padang lamun. Survai ini dilakukan oleh Marine Rapid Assessment Program (RAP) Conservation International (CI) bekerjasama dengan Universitas Cenderawasih dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P3O-LIPI)).

Reference:
McKenna, S.A. G. R. Allen and S.Suryadi (Eds.). 2002. RAP Bulletin of Biological Assessment 22, Conservation International, Washington, DC. 193 p.

Download :
http://www.2shared.com/file/3830125/f26d213d/RajaAmpat_RAP.html
password : konservasi


Marine Protected Areas - providing a future for fish and people.

They also provide services to local communities who depend on the sea and its resources, increasing food security and reducing poverty. MPAs can also benefit local people by opening new opportunities to gain income. Countries with coral reefs attract millions of SCUBA divers every year, yielding significant economic benefits to the host country. Globally, almost USD 10 billion are spent on coral reef tourism annually. By establishing MPAs, we can restore the balance in the use of our oceans, safeguarding valuable fish stocks and important habitats while providing long-term solutions for local communities. The challenge The world’s oceans are under more pressure than ever before. From France to Japan, from Senegal to Australia and Chile, fish stocks are overfished and important habitats are being lost or degraded at an unprecedented rate. Sixty per cent of coral reefs are expected to be lost by 2030 if present rates of decline continue. The increasing number of people living on the coasts and the rapid rise in consumer demand for fish threaten marine biodiversity across the oceans. Inadequate fisheries management and widespread overuse of marine and coastal resources are also eroding the traditional basis of life for millions of people and even entire countries, depriving communities of their main source of vital protein and increasing poverty. Yet, only a mere 0.5 per cent of the oceans are protected – compare this to 13 per cent of land area under protection. And the large majority of that is inadequately managed, with almost all marine protected areas open to tourism and recreation and 90 per cent open to fishing. To turn the tide towards healthy oceans, the world’s leaders agreed, at the World Summit for Sustainable Development in 2002, to create representative networks of MPAs by 2012.

Reference : Global Marine Programme, WWF International Gland, Switzerland. 2005. 20p.

Download :
http://www.2shared.com/file/3830222/6e4f0ac7/marineprotectedareas.html
password : konservasi

Tuesday, August 5, 2008

DPL = Daerah Perlindungan Laut?




DPL atau Daerah Perlindungan Laut mulai dikenalkan pada tahun 1998, yaitu melalui Program Nature Resourche Management (NRM)atau Proyek Pesisir di Desa Blongko Sulawesi Utara. Upaya pengelolaan DPL ini dilakukan menggunakan model berbasis masyarakat, dimana upaya pengelolaan mulai dari inisiasi sampai pelaksanaan dan evaluasi pengelolaan dilakukan oleh partisipasi masyarakat. Oleh karena itu, jenis DPL ini dikenal dengan DPL-BM (Daerah Perlindungan Laut - Berbasis Masyarakat)

DPL, selanjutnya menjadi ikon bagi program lain dalam rangka pengelolaan kawasan di pesisir dan laut di Indonesia seperti MCRMP dan COREMAP. Hal ini menjadi perhatian penting mengingat tujuan pengembangan DPL adalah Untuk menjaga keseimbangan ekologi, ekonomi dan sosial pada masing-masing kawasan perairan laut. Secara ekologi, untuk melindungi habitat dan berkembang biaknya sumberdaya ikan pada suatu kawasan perairan, secara ekonomi juga akan menjamin bahwa sumberdaya ikan hasil tangkapan nelayan berkualitas baik dengan volume yang stabil, secara sosial keberadaan DPL memberikan pembelajaran efektif bagi masyarakat di wilayah sekitarnya tentang pentingnya menjaga ekosistem perairan. Dalam jangka panjang, pengelolaan DPL sebagai “bank ikan” akan menjamin ketersediaan sumberdaya ikan, sehingga dapat menghindarkan dari gejala overfishing. Tujuan akhir dari pengelolaan DPL dalam skala besar adalah kelestarian sumberdaya perairan (ikan, terumbu karang, dan ekosistem lainnya) untuk kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.

Mengapa ikan, terumbu karang, dan ekosistem lainnya (mangrove/hutan bakau, lamun, dll)? Secara ekologis, jelas bahwa ikan melakukan perkembangbiakan di ekosistem terumbu karang, lamun, mangrove, dan ekosistem lainnya. Padahal, mudah sekali kita merusak ekosistem-ekosistem tempat berkembangbiak berbabai jenis ikan yang biasa kita makan. Kerusakan ekosistem oleh manusia dapat terjadi akibat :
a. pembuangan sampah atau limbah secara langsung di laut maupun dari sungai,
b. pengeboman dan pembiusan di wilayah perairan untuk mendapatkan ikan secara berlimpah dalam waktu instan,
c. pengambilan terumbu karang atau penebangan mangrove, dan
d. aktifitas manusia di perairan yang mengakibatkan kerusakan terumbu karang seperti menginjak, membuang jangkar, penangkapan ikan menggunakan trawl/pukat dasar/pukat harimau, dan lain-lain.

Lalu, mengapa DPL mampu.....?

DPL, sebagai istilah yang digunakan dalam pengelolaan partisipatif masyarakat dalam mengelola wilayah perairan merupakan sebuah upaya yang dapat diinisiasi oleh pemerintah maupun masyarakat langsung pada suatu kawasan perairan. Pada perkembangannya, daerah di perairan yang menjadi DPL merupakan daerah yang dilindungi atas kesepakatan masyarakat sendiri melalui keputusan desa/kampung, bisa atas inisiatif sendiri atau pun atas intervensi program. Berjalan atau tidaknya pengelolaan DPL dan bermanfaat atau tidaknya pengelolaan kawasan tersebut, serta tercapainya tujuan akhir pengembangan DPL adalah kembali kepada kesadaran dan kepedulian masyarakat itu sendiri. Program pemerintah atau pun program lembaga non pemerintah dalam pengembangan DPL ini seberapa besar pun biayanya hanya merupakan dukungan atau sebuah fasilitasi.

Untuk itu?

Agar pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat dapat berdaya guna dan berhasil guna (efisien dan efektif) maka keberadaan DPL perlu ditunjang dengan sebuah aturan hukum yang memiliki kekuatan hukum kuat di tingkat desa. Idealnya DPL didukung dengan sebuah Peraturan Desa/Kampung (Perdes/Perkam), atau Keputusan Desa/Kampung (Kepdes/Kepkam). Keberadaan Perdes atau Kepdes mutlak diperlukan untuk mendukung keberhasilan pengelolaan suatu kawasan DPL. Keberhasilan pengelolaan suatu kawasan DPL sangat tergantung pada aturan-aturan yang dibuat dan ditetapkan berdasarkan kesepakan masyarakat. Perdes atau Kepdes tentang DPL merupakan sebuah peraturan perundang-undangan formal yang memiliki kekuatan hukum terkuat di tingkat desa. Perdes ini harus mengikat masyarakat di dalam dan luar desa, sehingga masyarakat, Pemerintah Desa, dan Pokmas Konservasi yang mengelola DPL mempunyai kekuatan atau dasar hukum untuk melarang atau menindak pelaku pelanggaran.

Dengan terbentuknya daerah perlindungan laut yang dipilih dan disepakati oleh masyarakat sendiri diharapkan, dapat membantu keinginan masyarakat untuk menjaga dan memanfaatkan kekayaan laut mereka untuk kehidupan yang lebih sejahtera.

Friday, August 1, 2008

Mampukah Pengadilan Perikanan menjadi terobosan?

Pengadilan Perikanan : Dasar hukum yaitu UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Rusmana, salah seorang bagian Hukum DKP pernah menulis tentang beberapa masalah, yang menghadang pelaksanaan pengadilan khusus (ad hoc) perikanan tersebut.

Masalah Pertama Kekurang Kompakan Peradilan:

Pembentukan Pengadilan Perikanan, idenya dilandasi semangat untuk mengatasi krisis "ketidakberdayaan" lembaga-lembaga peradilan yang ada dalam menjawab berbagai persoalan hukum. Kita bisa lihat bagaimana instansi-instansi yang terkait dengan penegakan hukum di bidang perikanan tidak berjalan secara sinergis, bahkan cenderung berebut dan bersaing sesuai dengan kepentingannya masing-masing.

Padahal ini adalah logika sederhana. Kita lihat saja KPK, dalam memberantas korupsi saja, didalamnya terdapat pihak-pihak yang bekerja sinergi, seperti jaksa, polisi, investigator dan lainnya. Nah, sudah barang tentu sinergisme ini tidak bisa dinomor duakan, jika ingin permasalah segera selesai.

Masalah Kedua Putusan Hakim:

Persoalan itu pun semakin diperburuk dengan banyaknya putusan pengadilan yang jauh dari rasa keadilan masyarakat. Ambil contoh, putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang menyidangkan kasus pencurian ikan oleh 2 kapal ikan Thailand.

Kedua kapal ilegal itu hanya didenda masing-masing Rp 10 juta serta Rp 15 juta per unit, sedangkan kapal yang disita dilepaskan lagi (Harian Kompas, 1 Oktober 2003). Kasus serupa terjadi di Pengadilan Negeri Gresik, dimana kasus pencurian ikan oleh kapal asing hanya di divonis bebas dan dikenai biaya perkara Rp. 1.000,-.

Ada lagi kasus pelepasan 6 kapal ikan Thailand berikut 250 anak buah kapal (ABK)-nya di Pontianak setahun yang lalu, padahal jelas-jelas kapal asing tersebut tertangkap sedang menangkap ikan secara ilegal di perairan Indonesia. Alasannya pun tidak masuk akal, karena pemerintah kesulitan memenuhi kebutuhan makan mereka serta dikhawatir kan ABK yang ditahan menularkan penyakit HIV/AIDS (Harian Kompas, 19 Februari 2003).

Inilah yang kerap terjadi, yakni adanya kesan 'sungkan' menghukum. Tidak perlu jauh-jauh. Kriminal khusus pun ada yang divonis bebas, dengan meninggalkan kejanggalan- kejanggalan yang menjadi pembicaraan mereka-mereka yang mengerti seluk beluk hukum.

Lalu bagaimana jika hal tersebut diatas terjadi juga di pengadilan perikanan yang bakal dibentuk? Ya, kita hanya bisa prediksi, negara bakal tetap kehilangan sumberdaya perikanan.

Kerugian akibat pencurian ikan di perairan Indonesia sendiri diperkirakan berkisar 1 juta sampai 1,5 juta ton per tahun, atau setara dengan dua miliar dollar AS sampai empat miliar dollar AS (Rokhmin Dahuri:2003) .

Kerugian tersebut belum termasuk kerusakan biota laut sebagai akibat dari penangkapan ikan dengan menggunakan pukat harimau dan berbagai alat tangkap berteknologi canggih lainnya. Berangkat dari kenyataan itulah, kemudian banyak kalangan mulai menyuarakan perlunya dibentuk Pengadilan Perikanan.

Masalah Ketiga Waktu Peradilan:

Kalau kita cermati ketentuan-ketentuan dalam UU No. 31/2004, khususnya Bab XIII tentang Pengadilan Perikanan, ternyata masih banyak hal yang harus dibenahi sebelum lembaga baru ini benar-benar dibentuk dua tahun ke depan. Menurut Rusmana, paling tidak ada tiga persoalan pokok yang perlu mendapat perhatian serius.


Pertama, adanya kelamahan-kelamahan pada hukum acara. Hukum acara PP mematok waktu cukup singkat, yaitu 160 hari untuk menyelesaikan suatu perkara mulai dari penyidikan sampai putusan MA. Persoalannya, jangka waktu yang sedemikian singkat itu akan berbenturan dengan kondisi rill di lapangan, khususnya berkenan dengan jalur beracara yang harus dilalui.

Acara pemeriksaan di PP mengenal tiga tahapan, yaitu pemeriksaan tingkat pertama (PP), tingkat banding (PT) dan kasasi (MA). Untuk tiap tahapan tersebut dialokasikan waktu masing-masing 30 hari.

Di tingkat pertama (PP) - dengan dukungan SDM yang memadai serta khusus hanya menangani perkara-perkara perikanan - mungkin tenggang waktu 30 hari cukup memadai. Gile lu...? Perkara korupsi aja di tingkat pertama (pengadilan negeri) dijatah 3 bulan alias 90 hari. Apalagi masalah penangkapan ikan?

Lalu bagaimana halnya dengan PT dan MA? Cukupkah waktu 30 hari? I dont think so....

Faktanya perkara yang ditangani kedua lembaga peradilan ini selalu overload. Kelemahan mekanisme ini sebenarnya terkait dengan tidak adanya mekanisme pembatasan terhadap perkara-perkara yang akan diajukan banding/kasasi.

By: Angiola Harry (teman sekamar kostan zaman dulu kala sekarang wartawan) from milist

Thursday, July 17, 2008

Wednesday, July 2, 2008

Jepang Bebaskan Bea Masuk Produk Perikanan Indonesia

Kompas, Rabu, 2 Juli 2008 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Tarif masuk 51 produk perikanan Indonesia ke Jepang turun dari 3,5 persen sampai 10,5 persen menjadi nol persen mulai Selasa (1/7). Pengusaha diminta memanfaatkan peluang itu dengan menjaga ketat mutu produk ekspornya.

Direktur Pemasaran Luar Negeri Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Saut Hutagalung yang dihubungi di Tokyo, Selasa (1/7), menjelaskan, beberapa produk yang mendapat pembebasan tarif meliputi udang, lobster, kaki kodok, mutiara, dan ikan hias di luar jenis ikan emas. Produk udang tercatat mendominasi ekspor ke Jepang, yaitu sekitar 4 juta dollar AS.

Upaya peningkatan ekspor dilakukan dengan pemenuhan ketentuan standar mutu dan keamanan produk guna memenuhi persyaratan pasar Jepang yang dikenal ketat terhadap mutu.

”Pengusaha nasional diharapkan membangun citra produk perikanan yang baik dengan memasok produk yang baik, sehat, dan aman,” kata Saut.

Pasar ekspor perikanan nasional ke Jepang merupakan kedua yang terbesar setelah Amerika Serikat. Dari total nilai ekspor produk perikanan Indonesia tahun 2007 sebesar 2,3 miliar dollar AS, nilai ekspor ke Jepang mencapai 600 juta dollar AS.

Dengan penghapusan bea masuk itu, lanjut Saut, masih terdapat 35 produk perikanan ekspor lain yang diupayakan mengalami penurunan tarif masuk secara bertahap. Di antaranya, produk tuna, ikan teri, kepiting, dan tiram yang saat ini dikenai bea masuk antara 3,5-11 persen.

Kalangan eksportir menyambut positif diberlakukannya Perjanjian Kemitraan Ekonomi atau EPA Indonesia-Jepang mulai 1 Juli 2008 karena berbagai kemudahan perdagangan yang ditawarkan. Mereka meminta diplomat Indonesia yang bertugas di Jepang aktif mengumpulkan berbagai informasi potensi pasar sehingga ekspor mudah digenjot.

”Bagi Asmindo, ada atau tidak ada perjanjian ini, kami tetap menggenjot ekspor ke Jepang. Sekarang kami membutuhkan informasi peta pasar mebel dan kerajinan di Jepang,” kata Ketua Umum Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Ambar Tjahyono, Selasa (1/7) di Jakarta.

Selama dua tahun terakhir, ekspor mebel dan kerajinan ke Jepang tumbuh 7 persen. Kondisi ini cukup menggembirakan di tengah melemahnya daya beli masyarakat Jepang.

Saat ini generasi muda Jepang menjadi target pasar baru. Kelompok yang juga berpendapatan tinggi ini mulai meminati mebel dan kerajinan produk Indonesia.

Sementara itu, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu di sela-sela pertemuan pertama Komisi Bersama Indonesia-Jepang di Tokyo, Jepang, Selasa kemarin, mengingatkan, para eksportir perlu memahami prosedur ekspor yang baru untuk memanfaatkan preferensi tarif yang diatur melalui EPA.

”Surat keterangan asal (SKA) form Indonesia-Japan EPA sudah dapat diperoleh di 85 kantor penerbit SKA di seluruh Indonesia,” ujar Mari. (lkt/ham/day)