Pertanyaan yang sederhana yang sedari dulu sampai saat ini masih teringat dalam memori di kepala, masihkah kita baru bangga dengan slogan dan atribut? Slogan atau atribut semacam apa yang dimaksud, yaitu mungkin 'kita harus menjadi negara yang demokratis!', atau 'mari kita galakan swasembada pangan', atau 'tegakkan emansipasi wanita', atau yang lebih sederhana 'aku orang indonesia', 'kulo wong jowo' atau 'abdi urang sunda' atau lagi 'kaula gragemania', dll dll.....
Ke'bangga'an identik dengan rasa percaya diri, tapi pada saat berlebihan dan tidak berdasar lagi merupakan suatu penunjukkan diri yang nilainya 10 dari skala 100. Lantas yang kurang apa ya? masih ada nilai 80 lagi tuh?
Itu yang terkadang kita lupakan, mungkin. Dasar penunjukkan itulah penyebabnya, seperti dalam teori yang perlu dilakukan adalah dengan kata tanya apa, kenapa, bagaimana, untuk apa. Apa dasarnya slogan? Kenapa perlu dilakukan? Bagaimana caranya? Dan untuk apa tujuannya?
Yang pasti, perlu disadari bahwa kita masih baru menunjukkan posisi kita yang diharapkan, seperti KPK yang memposisikan penegakkan korupsi tapi belum mengarah pada mewujudkan eksistensinya sebagai lembaga yang berperan penuh terhadap tujuan perwujudan penegakkan korupsi tersebut secara utuh.... contohnya kenapa 'ga nyampe-nyampe membereskan korupsi kelas kakap sampai mau diganti lagi pimpinannya...
Seperti kita yang masih sempet-sempetnya membuka internet dan mengetik hal-hal seperti ini, padahal kita bangga bekerja di tempat yang diinginkan dan bangga menunjukkannya pada orang lain......
Tentu saja, kalau mau berfikir dan berbuat yang besar lebih baik dimulai dari yang kecil dulu..... tapi tidak untuk KPK.....
Belajar mengenal laut, ikan dan cara-cara pengelolaannya melalui pemanfaatan berkelanjutan dan pelestarian melalui upaya konservasi.........
Thursday, June 21, 2007
Rawai Tuna, Kendala dan Solusi Operasionalnya
Rawai tuna atau tuna longline merupakan alat penangkap ikan tuna yang paling efektif. Rawai tuna merupakan ragkaian sejumlah pancing yang dioperasikan sekaligus. Satu tuna longliner biasanya mengoperasikan 1.000-2.000 mata pancing untuk sekali turun.
Rawai tuna umumnya dioperasikan di laut lepas atau mencapai perairan samudera. Alat tangkap ini bersifat pasif, yaitu menanti umpan dimakan ioleh ikan sasaran. Setelah pancing diturunkan ke perairan, lalu mesin kapal dimatikan, sehingga kapal dan alat tangkap akan hanyit mengikuti arus atau disebut drifting. Drifting berlangsung selama kurang lebih 4-5 jam. Selanjutnya mata pancing diangkat kembali ke atas kapal.
Umpan longline harus bersifat atraktif, misalnya sisik ikan yang mengkilat, tahan di dalam air dan tulang punggung yang kuat. Umpan dalam pengoperasian alat tangkap ini berfungsi sebagai alat pemikat ikan. Jenis umpan yang digunakan umumnya ikan pelagis kecil, seperti lemuru (Sardinella sp.), layang (Decapterus sp.), kembung (Rastrelliger sp.) dan bandeng (Chanos chanos).
Rawai tuna ini merupakan alat tangkap yang ramah lingkungan karena bersifat selektif terhadap jenis ikan yang ditangkap. Jenis ikan tangkapan utama berupa ikan tuna dan ikan cakalang merupakan jenis komoditi yang exportable, sehingga pemanfaatan alat tangkap ini semakin meningkat. Dahuri (2001), menyampaikan bahwa potensi tuna dan cakalang di perairan ndonesia adalah 780.040 ton. Oleh karena itu, pentingnya pengoperasian alat tangkap rawai tuna dibahas dalam tulisan ini.
Unit Penangkapan Rawai Tuna
a. Kapal
Alat tangkap rawai tuna dioperasikan menggunakan kapal khusus rawai tuna yang memiliki buritan cukup luas untuk pengoperasian rawai menggunakan line hauler. Kapal yang digunakan berukuran yang bervariasi sekitar 30-600 GT. Ukuran kapal tersebut menentukan jumlah hari trip penangkapan yang dilakukan.
Bahan pembuatan kapal ada yang terbuat dari kayu, FRP dan baja. Bahan kapal juga tergantung kepada ukuran besar kapal. Ukuran kapal lebih dari 150GT umumnya terbuat dari baja.
b. Alat tangkap rawai
pada dasarnya rawai tuna terdiri atas 3 komponen utama, yaitu pelampung rangkaian tali temali dan pancing. Pada pancing dilengkapi dengan umpan berupak ikan utuh jenis pelagis kecil yang disukai ikan tuna. Jumlah pancing yang digunakan berkisar antara 800-2000 pancing dengan panjang rentang tali bisa mencapai ratusan kilimeter..
c. Alat bantu penangkapan
Alat bantu yang dipergunakan dalam pengoperasian rawai tuna adalah lampu apung atau radio apung yang berfungsi sebagai pendeteksi keberadaan atau posisi alat tangkap. Selain itu juga umumnya dilengkapi dengan line hauler, line thrower, belt conveyor, penggulung tali cabang dan peralatan oceanografi.
Daerah Penangkapan
Daerah penyebaran tuna di perairan Indonesia adalah di Samudera Hindia sebelah Barat Pulau Sumatera, Selatan Pulau Jawa, Laut Timor, Laut Sulawesi, Laut Flores, dan perairan sebelah Utara Papua (Naingolan, 2007).
Kendala Operasional Rawai Tuna
Usaha perikanan secara umum pada tingkat operasional tentu saja akan mengalami berbagai kendala, begitu juga dengan usaha perikanan rawai tuna. Beberapa kendala yang diamati oleh penulis adalah penentuan lokasi daerah penangkapan yang tepat, penggunaan peralatan tangkap dan peralatan pendukung lainnya, dan penangananan ikan hasil tangkapan.
a. Penentuan daerah penangkapan ikan yang masih menggunakan metode-metode lama. Perkembangan teknologi menuntut pengusaha atau pun nelayan untuk bersaing dalam upaya penangkapa ikan. Penggunaan teknologi yang terus berkembang mengakibatkan operasi kapal rawai yang belum menggunakan teknologi terbaru susah bersaing dengan kapal rawai yang menggunakan teknologi terbaru. Penggunaan teknologi terbaru akan lebih cepat menentukan daerah penangkapan ikan dan berakibat pada penekanan biaya operasional.
b. Posisi penurunan atau pengangkatan alat tangkap rawai yang umumnya panjang (berkisar antara 800-2000 mata pancing panjanynya mencapai ratusan kilometer) menuntut kemampuan dan keterampilan ABK dalam penggunaan peralatan tangkap dan peralatan pendukung lainnya. Kesalahan dalam penurunan dan pengangkatan rawai berakibat pada kecelakaan seperti putusnya tali, tersangkutnya kail, dan lain-lain.
c. Penanganan ikan hasil tangkapan pada kapal rawai tuna ini umumnya sudah memenuhi standar kualitas penanganan mutu yang diinginkan oleh konsumen. Namun demikian, penanganan ikan pun membutuhkan keterampilan pemilahan ikan dari kail dan penggunaan teknologi yang digunakan untuk menyimpan ikan.
Solusi Operasional Rawai Tuna yang Efektif dan Efisien
Solusi usaha perikanan rawai tuna yang efektif dan efisien bukanlah jawaban yang mudah. Namun demikian, penulis mencoba membahas berdasarkan faktor-faktor kendala sebagaimana dijelaskan di atas.
Teknologi yang digunakan dalam pemanfaatan sumberdaya tuna disesuaikan dengan sifat dan tingkah laku ikan sasaran. Tuna (Thunnus spp.) dan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan jenis ikan perenang cepat yang bergerombol. Oleh karena itu, alat tangkap ikan menggunakan rawai tuna harus disesuaikan dengan sifat dan tingkah laku ikan yang menjadi tujuan penangkapan.
Umumnya tuna dan cakalang dapat tertangkap pada keldalaman 0-400 meter. Salinitas perairan yang disukai berkisar 32-35 ppt atau di perairan oseanik dan suhu perairan berkisar17-31o C.
Penentuan daerah penangkapan dengan tepat dapat dilakukan dengan dukungan berbagai informasi dan bantuan teknologi yang terus berkembang selain dengan secara visual langsung di perairan. Penggunaan teknologi saat ini adalah penginderaan jauh kelautan dan hidroakustik yang menentukan daerah penangkapan dengan menganalisis secara fisika kimiawi perairan. Riani (1998) menngungkapkan bahwa penggunaan teknologi sangat membantu dalam pencarian sumberdaya ikan yang baru, sehingga akan mempercepat pengambila keputusan atau kebijakan, terutama untuk menetapkan daerah penangkapan ikan agar potensi ikan dapat dipertahankan.
Keterampilan ABK dalam penggunaan peralatan tangkap dan peralatan pendukung lainnya merupakan tuntutan dalam pengoperasian rawai tuna di laut lepas. Kemampuan tersebut diperlukan agar proses operasi mulai dari pencarian daerah penangkapan ikan dapat segera diketahui menggunakan teknologi akustik dan inderaja terbaru, penurunan dan pengangkatan rawai berhasil dengan baik, penanganan ikan tangkapan juga memenuhi standar baku yang ditentukan oleh konsumen.
Tuesday, June 19, 2007
Efektifitas Penggunaan Trammel Net (Jaring Angkat) di Perairan Pantura Jawa
Trammel Net merupakan salah satu jenis alat penangkap ikan yang banyak digunakan oleh nelayan. Hasil tangkapannya sebagian besar berupa udang, walaupun hasilnya masih jauh dibawah pukat harimau (trawl). Secara umum, Trammel net banyak dikenal nelayan sebagai "Jaring kantong", " Jaring Gondrong" atau "Jaring Udang". Sejak pukat harimau dilarang penggunaannya, Trammel net ini semakin banyak digunakan oleh nelayan.
Konstruksi dan desain Trammel net sangat sederhana sehingga mudah dibuat sendiri oleh nelayan. Alat tersebut merupakan jaring berbentuk empat persegi panjang dan terdiri dari tiga lapis jaring, yaitu : dua lembar "jaring luar" dan satu lembar "jaring dalam". Agar alat tersebut terbuka tegak lurus di perairan pada saat dioperasikan, maka Trammel net dilengkapi pula dengan pelampung, pemberat dan tali ris. Dengan demikian alat ini digolongkan juga sebagai jaring insang (gill net). Bedanya kalau Trammel net terdiri dari 3 lapis jaring, sedangkan gill net hanya 1 lapis jaring. Dengan konstruksi tersebut, Trammel net sering juga disebut sebagai "jaring insang berlapis tiga' (triple net ).
Biasanya tertangkapnya ikan atau udang pada Trammel net karena tersangkut jaring dan bukanya terjerat pada insangnya. Sehingga pada saat melepaskan hasil tangkapan (ikan atau udang) agak sulit dan bila bahan jaring tidak kuat dapat mengakibatkan jaring tersebut sobek. Oleh karena itu agar Trammel net mempunyai daya tahan lebih tinggi dan lebih efisien, maka konstruksi jaring dan ukuran benang harus kuat. Sebagai bahan untuk pembuatan tubuh jaring (daging jaring) digunakan bahan sintetis Polyamide (PA). Sedangkan untuk bagian pinggiran jaring (selvage) digunakan bahan dari Polyethylene (PE). Penggunaan bahan tersebut agar Trammel net digunakan agar tidak mudah rusak dan lebih tahan lama (BIPU, 2000).
Penggunaan Trammel net banyak digunakan dalam operasi penangkapan udang di perairan pantai utara Jawa. Penggunaan pukat harimau yang merajalela di perairan tersebut mulai beralih pada Tahun 1980-an karena diberlakukannya Keputusan Presiden Nomor 39 mengenai pelarangan alat tangkap pukat harimau. Efektifitas dalam menangkap ikan dan udang masih rendah dibandingkan pukat harimau, namun demikian penggunaan alat tangkap ini banyak digunakan selain alat tangkap sejenis dan alat tangkap lain seperti pukat cincin, jaring insang rajungan (bottom gill net).
Konstruksi Alat
a. Tubuh Jaring.
Tubuh jaring (webbing) atau daging jaring merupakan bagian jaring yang sangat penting, karena pada bagian inilah udang atau ikan tertangkap secara terpuntal (tersangkut ) jaring. Tubuh jaring terdiri dari 3 lapis, yaitu 1 lapisan jaring dalam dan 2 lapisan jaring luar yang mengapit lapisan jaring dalam. Ukuran mata jaring lapisan dalam lebih kecil dari pada ukuran mata jaring lapisan luar.
o Lapisan jaring dalam terbuat dari bahan Polyamide (PA) berukuran 210 dp-210 d4. Ukuran mata jaring nya berkisar antara 1,5 - 1,75 inchi ( 38,1 mm -44,4 mm ). Setiap lembar jaring mempunyai ukuran panjang 65,25 m ( 1.450 mata ) dan tingginya 51 mata.
o Lapisan jaring luar juga terbuat dari Polyamide (PA) hanya saja ukuran benangnya lebih besar yaitu 210 d6. Setiap lembar jaring panjangnya terdiri dari 19 mata dan tingginya 7 mata dengan ukuran mata jaring 10,4 inchi ( 265 min ).
b. Selvage ( Srampat )
Untuk memperkuat kedudukan jaring pada penggantungnya, maka pada bagian pinggir jaring sebelah atas dan bawah dilengkapi dengan selvage (srampat). Selvage tersebut berupa mata jaring yang dijurai dengan benang rangkap sehingga lebih kuat. Selvage tersebut mempunyai mata jaring berukuran 45 mm, dan terdiri dari 1 - 2 mata pada pinggiran jaring bagian atas dan 5 - 6 mata pada pinggiran jaring bagian bawah. Sebagai bahan selvage sebaiknya Kuralon atau Polyethylene (PE) dengan ukuran 210 d4 - 210 d6.
c. Tali Ris
Trammel net dilengkapi dengan dua buah tali ris yaitu tali ris atas dan tali ris bawah. Fungsi tali ris adalah untuk menggantungkan tubuh jaring dan sebagai penghubung lembar jaring satu dengan lembar jaring lainnya secara horizontal (memanjang). Sebagai bahan untuk pembuatan tali ris adalah Polyethylene (PE) dengan garis tengah tali 2 - 4 mm. Panjang tali ris atas berkisar antara 25,5 – 30 m, sedangkan tali ris bawah antara 30 - 32 m.
d. Pelampung
Pelampung merupakan bagian dari Trammel net yang berfungsi sebagai pengapung jaring pada saat dioperasikan. Jenis pelampung yang digunakan adalah plastik No. 18 dengan jarak pemasangan antara 40 - 50 cm. Tali pelampung terbuat dari bahan Polyethylene dengan garis tengah 3 - 4 mm
e. Pemberat
Pada Trammel net, pemberat berfungsi sebagai pemberat jaring pada saat dioperasikan. Dengan adanya pelampung dan pemberat tersebut, maka jaring dapat terbuka secara tegak lurus di perairan sehingga dapat menghadangkan atau udang yang menjadi tujuan penangkapan. Pemberat tersebut dibuat dari bahan timah (timbel) yang berbentuk lonjong, dengan berat antara 10 - 13 gram/buah. Pemasangan pemberat dilakukan dengan jarak antara 19 - 25 cm, pada sebuah tali yang terbuat dari Polyethylene dengan garis tengah 2 mm. Disamping itu biasanya pada jarak 12 m dari ujung jaring pada tali yang diikatkan ke kapal masih dipasang pemberat tambahan dari batu seberat kira-kira 20 kg.
f. Tali Penghubung ke Kapal.
Trammel net juga dilengkapi dengan tali yang terbuat dari Polyethylene bergaris tengah 7,5 - 10 mm untuk menghubungkan jaring dengan kapal dan juga sebagai penghubung antara jaring dengan pelampung utama (berbendera) sebagai tanda. Selain itu juga dilengkapi sebuah swivel dengan garis tengah 6 - 7,5 cm yang dipasang pada sambungan tali ke kapal dan kedua tali ris atas dan bawah.
Operasi Penangkapan
a. Cara Lurus.
Cara ini adalah yang biasa dilakukan oleh para nelayan, Jumlah lembaran jaring berkisar antara 10 - 25 tinting. Perahu yang digunakan adalah perahu tanpa motor atau motor tempel, dengan tenaga kerja antara 3 - 4 orang. Pada cara ini Trammel net dioperasikan di dasar laut secara lurus dan berdiri tegak. Setelah ditunggu selama 1/2 - 1 jam, kemudian dilakukan penarikan dan penglepasan ikan atau udang yang tertangkap.
b. Cara Setengah Lingkaran.
Pengoperasiannya dilakukan dengan menggunakan perahu motor dalam (inboard motor) atau perahu motor luat (outboard motor). Satu unit Trammel net dapat mengoperasikan jaring 60 – 80 tinting (lembar jaring) dengan tenaga kerja sebanyak 8 orang. Pada cara ini Trammel net dioperasikan di dasar perairan dengan melingkarkan jaring hingga membentuk setengah lingkaran. Kemudian ditarik ke kapal dan ikan & udang yang tertangkap dilepaskan.
c. Cara Lingkaran
Pengoperasiannya dilakukan dengan menggunakan perahu motor dalam seperti pada cara setengah lingkaran. Caranya adalah dengan melingkarkan jaring di dasar perairan hingga membentuk lingkaran. Setelah itu jaring ditarik ke kapal dan udang & ikan yang tertangkap diambil.
Hasil Tangkapan
Jenis hasil tangkapan utama alat tangkap Trammel net adalah udang. Beberapa jenis ikan lain yang tertangkap dengan alat tangkap ini antara lain jenis ikan dasar seperti ikan pari, gulamah, kerot-kerot dan lain-lain (BPPI, 2002).
Daerah Penangkapan (Fishing Ground) di Perairan Pantura Jawa
Daerah penangkapan ikan pengoperasian alat tangkap Trammel net di perairan pantai utara Jawa umumnya digunakan di perairan tertentu yang memiliki kecerahan sedang, salinitas rendah dan dasar perairan pasir berlumpur (Iskandar, 1996). Penggunaan alat tangkap ini umunya ditujukan untuk menangkap udang yang, sehingga pemilihan daerah penangkapan oleh nelayan berdampak pada jumlah hasil tangkapan. Umumnya, nelayan Pantura Jawa yang masih tradisional menggunakan perkiraan (feeling), informasi nelayan lain dan kebiasaan dalam menentukan lokasi operasi penangkapan udang. Oleh karena itu, hal ini masih memiliki banyak spekulasi dengan tingkat efisiensi hasil tangkapan dan tingkat efektifitas penggunaan alat rendah.
Strategi Penangkapan dan Penanganan yang Efektif
Dalam melakukan operasi penangkapan ikan menggunakan Trammel net, beberapa hal yang menjadi masalah adalah jumlah hasil tangkapan utama yang sedikit, penentuan daerah penangkapan yang tidak sesuai dan salah sasaran, mudahnya alat tangkap mengalami kerusakan, dan hasil tangkapan yang memiliki nilai jual rendah. Oleh karena itu, perlu dilakukan beberapa lahkah strategi dalam menggunakan alat tangkap Trammel net dan menangani hasil tangkapan sehingga memiliki efektifitas yang tinggi.
Beberapa langkah strategi penggunaan dan penanganan yang dilakukan antara lain :
a. Pemilihan bahan alat tangkap
Bahan untuk pembuatan jaring umumnya digunakan bahan sintetis Polyamide (PA) dan Polyethylene (PE). Penggunaan bahan yang tepat adalah bahan yang tidak mudah putus dan resisten terhadap korosi dan gesekan akibat penarikan jaring. Bagi nelayan tradisional, jaring yang digunakan disarankan terbuat dari bahan yang bagus dan murah.
b. Persiapan operasi penangkapan ikan
Persiapan operasi penangkapan ikan meliputi persiapan alat tangkap (jaring dan kelengkapannya), peralatan lain seperti lampu dan bakul (box) pengumpul ikan, serta kapal atau perahu yang siap untuk digunakan. Alat tangkap ditumpuk secara rapi agar mudah digunakan pada saat diturunkan dan dinaikkan kembali. Lampu untuk menerangi kapal pada saat operasi pada malam hari. Box yang sudah diisi dengan es agar udang atau ikan masih dalam kondisi segar pada saat dijual.
c. Penentuan daerah dan waktu penangkapan ikan
Untuk mengetahui secara pasti daerah penangkapan, nelayan tidak hanya menggunakan feeling, kebiasaan, dan informasi nelayan lain saja, tapi perlu didukung dengan informasi dan peralatan lain yang secara pasti menunjukkan keberadaan gerombolan ikan yang dituju. Informasi dapat diperoleh dari liputan sebaran ikan menggunakan citra satelit yang saat ini diperoleh di Dinas Perikanan dan Kelautan setempat yang berasal dari Badan Riset Departemen Kelautan dan Perikanan. Peralatan yang secara langsung dapat menangkap keberadaan ikan seperti fish finder akan memberikan manfaat agar operasi Trammel net ini efektif.
Operasi penangkapan juga memerlukan penentuan waktu yang tepat agar hasil tangkapan maksimal. Operasi penangkapan dilakukan baik pada siang atau pun malam hari tergantung jenis ikan yang akan ditangkap. Jenis udang dan rajungan dilakukan pada malam hari, sedangkan jenis ikan lain ada yang dilakukan pada siang hari.
d. Penggunaan operasi alat tangkap dan perawatannya
Operasi alat tangkap yang sesuai mulai dari penyimpanan alat tangkap, menurunkannya, menarik kembali dan menyimpannya perlu dilakukan secara baik dan benar agar alat tangkap tidak mudah rusak serta dapat digunakan dalam waktu lama. Perawatan pasca pemakaian perlu dilakukan, pembusukan ikan bekas tangkapan pada jaring agar segera dibersihkan, bagian yang putus dan robek akibat gesekan agar segera disambung dan diperbaiki, serta selalu membersihkan jaring setelah melakukan operasi penangkapan.
e. Penanganan ikan hasil tangkapan
Ikan yang terjerat pada jaring agar dilepaskan secara hati-hati agar tubuh ikan tidak rusak dan jaring tidak putus. Ikan yang tertangkap segera dikumpulkan dalam palkah atau box yang telah diisi dengan es atau bersuhu rendah. Ikan disortir berdasarkan jenis dan ukuran masing-masing. Ikan yang dikumpulkan harus terhindar dari sinar matahari secara langsung dan disimpan dalam suhu rendah. Penyimpanan ikan dalam suhu rendah diharapkan dapat menjaga mutu ikan yang akan dijual.
Arahan Pengelolaan dan Pengembangan Perikanan yang Lestari dan Berkelanjutan
a. Penyadaran Masyarakat
Penyadaran masyarakat melalui kampanye dan penyuluhan secara langsung dan terus menerus. Upaya kampanye dan penyuluhan yaitu :
::> Memberikan penyadaran dan pemahaman tentang bahaya pencemaran laut
::> Memberikan penyadaran dan pemahaman tentang pemanfaatan sumberdaya ikan yang lestari dan berkelanjutan
::> Mendorong masyarakat untuk hidup bersih guna menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup
::> Mendorong masyarakat untuk berperan serta dalam penegndalian pencemaran laut
::> Kampanye dan penyebarluasan informasi terhadap seluruh lapisan masyarakat
::> Penyuluhan dan penyadaran langsung terhadap masyarakat untuk hidup bersih guna pengendalian pencemaran laut dan guna menjaga kelestarian fungsi lingkungan perairan pesisir dan laut.
b. Rehabilitasi Kawasan
Penerapan penanaman mangrove atau vegetasi pantai lainnya yang dapat berfungsi sebagai penegndali pencemaran laut atau untuk rehabilitasi kawasan pantai secara keseluruhan. Diharapkan dengan semakin banyaknya vegetasi mangrove dapat meningkatkan wilayah-wilayah tempat ikan melakukan spawning ground.
c. Pengaturan Pengelolaan Sumberdaya Ikan
Kondisi potensi sumberdaya ikan yang sudah mengalami over fishing harus segera diberlakukan pengaturan pemanfaatan sumberdaya ikan sebagai berikut :
(1). Pembatasan alat tangkap (restriction on gears)
Ditujukan untuk melindungi sumberdaya ikan dari penggunaan alat tangkap yang bersifat merusak atau destruktif. Disamping itu, kebijakan ini juga dapat dilakukan dengan alasan sosial politik untuk melindungi nelayan yang menggunakan alat tangkap yang kurang atau tidak efisien.
(2). Penutupan area (closed season)
Kebijakan ini pada dasarnya mempunyai pengertian menghentikan kegiatan penangkapan ikan di suatu perairan. Kebijakan ini dapat bersifat permanent, atau dapat juga berlaku dalam kurun waktu tertentu. Dampak dari kebijakan ini relatif sama dengan kebijakan penutupan musim. Dalam hal ini terdapat beberapa negara menerapkan kebijakan ini untuk kapal ikan dengan ukuran tertentu dan atau alat tangkap tertentu.
(3). Kuota penangkapan
Kuota penangkapan adalah suatu cara yang dapat dilakukan dalam rangka melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan. Kebijakan ini pada dasarnya adalah pemberian hak kepada industri atau perusahaan perikanan untuk menangkap atau mengambil sejumlah ikan tertentu dari perairan. Dengan kata lain, kuota adalah alokasi dari hasil tangkapan yang diperbolehkan diantara unit individu dari effort yang ada.
Berdasarkan ketentuan ini, instansi pemerintah yang berwenang mengatur pengelolaan sumberdaya perikanan mengeluarkan hak kepada perusahaan atau industri bukan saja dalam hal ijin menangkap ikan, akan tetapi juga hak untuk menangkap ikan dalam jumlah tertentu (kuota). Hak kuota ini dapat berupa jumlah ikan yang diperbolehkan untuk ditangkap (Total Allowable Catch/TAC), yang dapat dibagi per nelayan, per kapal atau per armada perikanan. Hak kuota tersebut pada hakekatnya juga dapat dialihkan atau ditransfer kepada nelayan lain.
(4). Pembatasan ukuran ikan yang didaratkan
Bentuk kebijakan ini pada hakekatnya lebih ditujukan untuk mencapai atau mempertahankan struktur umur yang paling produktif dari stok ikan. Hal ini dilakukan dalam rangka memberi kesempatan pada ikan yang masih muda untuk tumbuh, dan bertambah nilai ekonominya serta kemungkinan berproduksi sebelum ikan tersebut ditangkap. Kebijakan ini akan berdampak pada komposisi dari hasil tangkapan dan ukuran individu ikan yang tertangkap.
(5). Pengembangan Budidaya perikanan yang lebih luas
Kondisi saat ini, upaya pengembangan budidaya di Teluk Lasongko sudah digalakan, yaitu budidaya rumput laut dan karamba ikan. Rumput laut yang dibudidayakan saat ini masih dipasarkan secara lokal wilayah propinsi, untuk itu perlu dikembangkan dalam skala besar untuk mencapai pasar domestik Indonesia dan luar negeri.
d. Penataan Zona Wilayah Laut
Untuk pemanfaatan sumberdaya ikan yang lestari dan berkelanjutan, perlu dilakukan penataan ruang wilayah pesisir, pantai dan laut bagi kesesuaian pemanfaatannya. Penataan ruang dan zona meliputi lokasi yang sesuai bagi konservasi (zona inti), pemanfaatan (penangkapan ikan, budidaya, dan wisata), serta penyangga.
e. Pelibatan Masyarakat
Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya ikan penting dilakukan. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan yang dianggap sebagai sebuah pendekatan terbaik dalam pengelolaan sumberdaya ikan, partisipasi masyakarat menjadi prasyarat pendekatan ini. Masyarakat tidak hanya menjadi objek pembangunan, namun sebagai subjek atau pelaku pembangunan. Model perencanaan top down, dipandang kurang baik, namun harus dikombinasikan dengan pendekatan bottom up, yang artinya masyarakat memiliki peran yang sejajar dengan pemerintah dalam mengelola sumberdaya ikan.
f. Pengembangan Mata Pencaharian Alternatif
Pengurangan jumlah unit usaha penangkapan ikan dalam rangka menjaga kelestarian sumberdaya ikan karena pemanfaatannya sudah overexploited sebagaimana telah dijelaskan di atas, memberikan dampak pada berkurangnya jumlah tenaga kerja pada usaha perikanan tangkap dan harus beralih pada usaha lainnya. Untuk mengatasi permasalahan ini perlu dikembangkan mata pencaharian alternatif. Program ini dapat berjalan melalui kegiatan : (1) identifikasi dan uji coba usaha skala kecil; (2) memberikan dukungan teknis dibidang keterampilan pengelolaan usaha skala kecil; (3) menyediakan bantuan permodalan ; dan (4) membantu perluasan jaringan pemasaran.
g. Pendampingan Terhadap Masyarakat
Setelah pelaksanaan bersih pantai dan laut perlu dilakukan pendampingan terhadap masyarakat melalui program Community Development atau Corporate Social Responsibility hingga terbentuknya kelembagaan/forum peduli yang mandiri di wilayah binaan, khususnya di lokasi bersih pantai dan laut. Pendampingan dianjurkan untuk dilaksanakan selama 5-10 tahun yang dilaksanakan melalui program “Bina Desa Pesisir Bersih “. Selain itu pendampingan dilakukan pula untuk menata infrastruktur di wilayah binaan khususnya fasilitas pengelolaan limbah, baik cair maupun padat, agar lokasi bersih pantai dan laut menjadi wilayah binaan yang bersih, sehat dan lestari.
Potensi Pasar Budidaya Udang versus Limbah Industri
Budidaya udang di tambak pernah menjadi primadona dan andalan pengembangan perikanan budidaya di Indonesia, dimana kegiatan ini pernah mengalami zaman keemasan mulai tahun 1980-an sampai akhir 1997. Pada tahun 1997 merupakan puncak produksi udang tertinggi yaitu sebesar 167.117 ton, namun mulai tahun 1998 turun menjadi 118.111 ton.
Pada awal perkembangannya budidaya udang di tambak memberikan keuntungan yang sangat besar, karena produksi dan produktivitas lahan yang tinggi serta udang sebagai komoditas ekspor (harga dalam dolar). Sehingga bisnis ini banyak menarik minat para pembudidaya dan pengusaha kecil maupun besar. Berbagai tingkat teknologi budidaya telah diterapkan di lapangan mulai teknologi tradisional sampai super intensif.
Pada perkembangan selanjutnya berbagai permasalahan telah muncul dalam budidaya udang di tambak, yaitu penurunan kualitas lingkungan serta timbulnya hama dan penyakit. Hal ini telah menyebabkan turunnya produktivitas lahan bahkan ada sebagian besar diantaranya sudah tidak berproduksi. Fenomena ini merupakan konsekuensi diri pengembangan kegiatan pertambakan yang tidak berwawasan lingkungan dan memperhatikan kaidah-kaidah ekologis..
Pada kasus Sinar Harapan yang terjadi di Surabaya tentang sulitnya petambak udang meningkatkan produksi panen sebagai akibat limbah industri (http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/usaha/2005/0226/ukm3.html), disampaikan bahwa para petambak ini kesulitan meningkatkan hasil panen udang karena makin meningkatnya limbah industri dan polusi udara di sekitar tambak dan belum adanya pembinaan dari dinas terkait. Padahal, pemerintah telah membuat keputusan untuk menutup keran impor udang dari luar negeri sebagai peluang pasar domestik yang tinggi. Pertanyaan yang harus dijawab berdasarkan artikel tersebut adalah bagaimana solusinya memanfaatkan peluang pasar yang tinggi (sebesar 5000 ton/tahun di Jawa Timur) menghadapi peningkatan pencemaran perairan yang dapat menghancurkan usaha budidaya tambak?
Kekhawatiran akan hancurnya lingkungan perairan disekitar lahan budidaya tambak yang secara langsung mengakibatkan menurunnya produksi perikanan sudah sepatutnya para ahli dan pemegang kebijakan perikanan untuk berusaha semaksimal mungkin mencari solusi pemecahannya. Penutupan keran impor udang berarti bahwa pasar domestik terbuka luas, sehingga petambak udang dapat meningkatkan produksi untuk memenuhi permintaan tersebut. Beberapa pendekatan yang bisa dilakukan untuk menuju usaha budidaya yang berkelanjutan dan mampu merespon peluang pasar domestik yang tinggi akibat kebijakan pemerintah menutup keran impor udang, perlu dilakukan beberapa strategi, yaitu :
a. Penataan Ruang dan Wilayah
Kondisi perairan tambak di Sidoarjo tercemar limbah industri dan polusi udara akibat berada di muara sungai yang terdapat banyak industri berkembang. Kegiatan industri yang banyak menghasilkan limbah harus segera ditata sebaik mungkin agar tidak menimbulkan dampak pencemaran perairan dan polusi. Penataan juga dilakukan terhadap wilayah di sekitarnya untuk berbagai kegiatan seperti pertanian, pemukiman dan pertambakan. Penataan yang baik dilengkapi dengan peraturan yang memberikan sanksi bagi yang melakukan pelanggaran terhadap pencemaran kondisi perairan sekitarnya.
b. Penggunaan Teknologi
Penerapatan teknologi dalam budidaya di tambak dapat dijadikan suatu alternatif pemecahan terhadap kondisi lingkungan yang rusak. Sumber air yang kualitas airnya sudah sangat tercemar sebaiknya dibenahi dahulu kondisinya, dan sambil menunggu pada situasi yang lebih membaik, para petani dapat memilih teknologi seperti teknologi sistem tertutup (close system) pada tambak.
Pengembangan sistem resirkulasi (close system) terhadap budidaya udang menjadi satu alternatif penting demi keberlanjutan usaha budidaya, karena sistem tersebut tidak memanfaatkan air baru dari luar budi daya tambak. Sebab, penggunaan air baru ditengarai dapat membawa penyakit atau logam berat yang berakibat pada peningkatan penggunaan obat-obatan. Dengan sistem itu petani tambak mensterilkan air yang sudah dipakai untuk dipergunakan lagi. Artinya, diperlukan satu tambak lain khusus untuk mengolah air.
Teknologi closed system sebagai teknologi budidaya udang dengan sistem resirkulasi dan pergantian air secara minimum adalah alternatif untuk mencegah penularan virus secara horizontal. Namun sistem ini harus juga memperhatikan carrying capacity tambak; proses produksi budidaya udang di tambak closed system dan menggunakan benur unggul, harus menerapkan konsep biosecurity secara ketat; dan keseimbangan populasi plankton dan bakteri di air tambak sebagai faktor penting yang dapat berpengaruh terhadap lingkungan dan kesehatan udang dapat dicapai dengan menggunakan probiotik secara tepat waktu dan tepat dosis serta melakukan aerasi tinggi.
c. Penyuluhan dan pelatihan
Penerapan teknologi closed system memerlukan biaya dan tenaga yang handal. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyuluhan dan pelatihan khusus untuk menerapkan teknologi ini bagi petambak. Dengan menerapkan teknologi sistem tertutup, para petani tambak akan beralih dari budidaya tradisional menjadi budidaya semi intensif atau intensif. Penyuluhan dan pelatihan yang dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang terkait (Dinas Perikanan dan Kelautan).
d. Kebijakan dan Dukungan Pemerintah
Aturan dan mekanisme penyelesaian masalah pada penanganan kasus ini juga tidak dapat berjalan tanpa didukung dengan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik berupa peraturan pemerintah, surat keputusan (presiden, menteri, gubernur, atau bupati). Selain itu, bagi pelaksanaan penanganan secara bersama juga diperlukan adanya nota kesepahaman (MoU) lintas sektoral apabila diperlukan.
Kebijakan pemerintah dalam menanggulangi pencemaran agar petambak berani meningkatkan produksi harus segera dilakukan. Prospek pasar yang menyerap cukup tinggi menjadi alasan untuk peningkatan produksi. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah yang memihak pada pengembangan budidaya yang berkelanjutan dapat mengurangi kekhawatiran petambak terhadap kerugian yang akan diderita karena matinya udang karena pencemaran perairan.
Dukungan pemerintah juga dilakukan dalam memberikan kemudahan akses terhadap teknologi, permodalan dan pemasaran bagi petambak yang akan meningkatkan produksinya guna memenuhi kebutuhan pasar lokal yang tinggi.
Kajian Penanganan Pencemaran Sungai Cilamaya terhadap Budidaya Tambak
PENDAHULUAN
Sungai Cilamaya merupakan sungai yang mengalir di wilayah Kabupaten Subang berhulu di perbukitan Selatan Karawang dan bermuara di perairan laut Jawa di Utara. Sungai ini megaliri 2 kabupaten lain, yaitu Kabupaten Karawang dan Purwakarta dan banyak digunakan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan, seperti MCK, persawahan dan tambak.
Tambak-tambak masyarakat di sekitar muara Sungai Cilamaya menggunakan air sungai tersebut sebagai sumber air tawar. Pencemaran sungai sudah berlangsung cukup lama, yaitu mulai tahun 1980- an. Karena sumber airnya yang telah tercemar maka ikan dan udang yang dipelihara di dalam tambak terhambat pertumbuhanya, mengalami stres, dan kemudian mati.
Kondisi tersebut, sebagaimana berita Harian Kompas terlampir, perlu segera diselesaikan secara komprehensif dan terarah dengan memperhatikan berbagai aspek yang terkait. Penanganan yang dilakukan secara menyeluruh dengan melibatkan berbagai pihak sangat diperlukan mengingat penyebab yang timbul berasal dari hulu sampai hilir sungai. Kondisi perairan sungai, khususnya yang terjadi di Sungai Cilamaya yang berhilir di perairan Laut Jawa, telah memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap kondisi budidaya ikan dan udang di tambak yang ada sepanjang pantai Subang. Oleh karena itu, arahan penyeleasaian pada tulisan ini akan difokuskan pada penanganan budidaya ikan dan udang di tambak akibat pencemaran dan penurunan kualitas perairannya.
PEMBAHASAN
Untuk membahas penanganan yang terjadi pada kasus pencemaran Sungai Cilamaya yang berdampak terhadap kondisi tambak dan perairan pantai dan laut di Subang, maka perlu dilakukan identifikasi faktor-faktor penyebab pencemaran, identifikasi potensi dan dampak pencemaran, dan arahan strategi penyelesaian kasus pencemaran.
Faktor-Faktor Penyebab Pencemaran
Segala aktifitas yang menimbulkan suatu perubahan baik itu aktifitas alamiah maupun yang dilakukan oleh manusia serta bersifat kimia, fisika, biologi merupakan penyebab utama terjadinya pencemaran yang menimbulkan penurunan kualitas perairan. Limbah adalah hasil kegiatan yang semula tidak berguna yang berasal dari alami ataupun kegiatan manusia yang dilakukan mulai dari hulu sampai hilir sungai.
Beberapa faktor penyebab yang diduga mencemari perairan Sungai Cilamaya berdasarkan informasi-informasi berita, artikel dan laporan dari berbagai media, instansi dan lembaga yang menangani permasalahan lingkungan diantaranya adalah limbah domestik, limbah pertanian, limbah internal tambak, dan limbah industri.
Limbah domestik, yaitu limbah cair yang berasal dari masyarakat urban, termasuk didalamnya limbah perkotaan (muncipal) dan aktifitas industri yang sistem pembuangannya masuk ke sistem saluran pembuangan kota. Limbah-limbah tersebut misalnya padatan baik organik maupun anorganik yang mengendap didasar perairan, padatan tersuspensi, mengandung bahan-bahan terapung, deterjen.
Limbah pertanian berasal dari kegiatan pertanian yang menimbulkan limbah seperti pengolahan tanah, pemupukan, dan pemberantasan hama penyakit tanaman. Antara lain adalah pupuk, pestisida.
Limbah internal, yaitu penggunaan pestisida dan bahan-bahan kimia lainya pada saat mengelola lahan tambak. Pestisida tersebut dimanfaatkan untuk membunuh hama misalnya kerang-kerangan. Penggunaan pestisida biasanya dilakukan sebelum menggarap lahan. Nelayan tambak umumnya membersihkan sisa pestisida dengan cara mengalirkan air dari saluran irigasi di pertambakan air buangan yang telah bercampur bahan-bahan kimia itu kemudian dibuang lewat saluran yang sama Padahal, air tersebut dipastikan akan dipakai untuk kebutuhan yang sama oleh nelayan tambak yang memiliki lahan di bawahnya. Akibatnya, semakin ke hilir, air irigasi makin tercemar.
Limbah industri merupakan buangan yang berasal dari proses suatu industri yang merupakan suatu pencemar yang ada di perairan, melalui perairan sungai yang bermuara di perairan pesisir atau laut. Jenis limbah industri ini terdiri dari 5 macam, yaitu bahan-bahan organik terlarut, bahan-bahan anorganik terlarut, bahan-bahan organik tidak larut, bahan-bahan anorganik tidak larut, dan bahan-bahan radioaktif.
Terjadinya pencemaran limbah buangan pabrik di Cilamaya diduga berasal dari tiga pabrik yang ada di sepanjang aliran sungai itu, satu pabrik di Subang dan dua lainnya berada di Kabupaten Purwakarta. Limbah pabrik yang terbuang diduga mengandung beberapa paramaeter kimia yang telah melewati ambang batas meliputi Oksigen terlarut (DO), Amoniak, Nitrit, BOD, dan COD (jabar.go.id). Industri yang mencemari adalah pabrik kertas dan pabrik lainya seperti pabrik pembuatan mie yang membuang limbahnya ke Sungai Cilamaya. Selain itu, sungai Cilamaya juga diduga mengandung zat kimia amoniak yang sudah melebihi ambang batas, yang berkadar mencapai 59,06 mg/l sedangkan standar zat amoniak di air adalah 0,01 mg/l(KAI, 2002).
Potensi dan Dampak Pencemaran
Secara kasat mata, muara Sungai Cilamaya yang berada di Desa Rawameneng, Kec. Blanakan, terlihat bahwa warna air berwarna kehitaman dan mengeluarkan bau yang menyengat. Kondisi pantauan visual ini mengindikasikan bahwa sungai cilamaya telah tercemar (DKP, 2006).
Muara sungai yang disekeliling daratan pantai membentang hamparan tambak terkena dampak pencemaran perairan sungai. Luas areal tambak yang tekena dampak pencemaran Sungai Cilamaya adalah ± 400 ha yang meliputi 5 desa, yaitu : Rawameneng, Jayamukti, Blanakan, Langensari dan Muara.
Kondisi perairan sungai yang tercemar selain berwarna hitam juga mengeluarkan bau busuk yang menyengat. Kondisi perairaran sungai yang tidak normal tersebut mengakibatkan pertumbuhan ikan dan udang di dalam tambak tidak normal atau susah menjadi besar. Dampak lebih jauh, masa panen ikan budidaya semakin lama, sehingga nelayan harus mengeluarkan biaya produksi tambahan.
Permasalahan lain mengindikasikan bahwa kondisi lingkungan perairan yang umumnya memiliki perputaran arus rendah di pantai pesisir Subang yang berada di pantai Utara Jawa ini dapat menimbulkan pencemaran akibat limbah internal. Akibat yang ditimbulkan adalah masuknya senyawa organik dari pakan ke air, bisa mematikan mikrorganisme perairan karena bahan organik itu tidak terbawa arus. Kemampuan self purifying lingkungan sudah tidak bisa dipertahankan lagi karena beban polutan dari pemberian pakan terlalu tinggi. Proses perusakan di sekitar lokasi tambak juga terus terjadi.
Arahan Penyelesaian Kasus Pencemaran
Permasalahan yang timbul akibat pencemaran perairan sungai Cilamaya merupakan salah satu penyebab yang mengakibatkan penurunan produktivitas perikanan tambak di Subang. Kondisi perairan sungai yang menjadi salah satu penyebab penurunan kualitas perairan dan timbulnya hama dan penyakit pada budidaya tambak perlu segera diambil tindakan-tindakan penyelesaian. Beberapa arahan penyelesaian yang dianggap perlu menurut penulis adalah sebagai berikut :
a. Koordinasi;
perlu segera dilakukan koordinasi baik di tingkat pusat maupun daerah daerah untuk penanganan kasus pencemaran yang terjadi di Sungai Cilamaya. Koordinasi dilakukan pada lintas level dan lintas sektor dengan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan. Koordiasi litas level dilakukan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten, agar pelaksanaan penataan dan rencana pembangunan ke depan dapat terintegrasi dan terpadu. Koordinasi lintas level dilaksanakan dengan melibatkan berbagai instansi, lembaga, dan pihak-pihak lain yang memiliki fokus sektor berbeda namun memiliki keterkaitan dalam penyelenggaraan pembangunan wilayah. Koordinasi lintas level dapat dilakukan dengan melibatkan sektor pertanian, perikanan dan kelautan, penataan ruang, perencanaan daerah, pemukiman dan prasarana wilayah, kehutanan, industri, lembaga swadaya masyarakat, tokoh masyarakat, dan lain-lain. Hasil dari koordinasi ini adalah dengan terbentuknya tim koordinasi yang bertanggungjawab secara bersama untuk menangani kasus. Dimana secara periodik melakukan pertemuan untuk melaporkan dan mengetahui perkembangan penanganan kasus.
b. Penelitian;
perlu segera dilakukan penelitian secara mendalam untuk mengetahui penyebab pencemaran dan memberikan gambaran kondisi nyata saat ini agar diketahui perbedaannya dengan kondisi sebelum adanya penggundulan hutan, adanya pemukiman, berkembangnya lahan pertanian, pembangunan industri, dan konversi lahan tambak. Penelitian dilakukan untuk menganalisis berbagai parameter seperti fisika, kimia, dan biologi perairan sebagai bahan anaslis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Selain itu, penelitian juga dilakukan terhadap berbagai komponen indikator penyebab pencemaran seperti penelitian terhadap kondisi sosial pemukiman masyarakat, pengikisan lahan hutan akibat penebangan, bahan dan dampak pembuangan limbah industri, dampak penggunaan pestisida terhadap kondisi perairan, penataan ruang dan wilayah dari hulu sampai hilir perairan sungai, dan lain-lain.
c. Penataan Ruang;
selain hanya melakukan penelitian penataan ruang dan wilayah dari hulu sampai hilir, tahap implementasi tata ruang dan wilayah harus dapat dilaksanakan oleh berbagai sektor yang akan mengembangkan wilayah di sekitarnya baik industri, pemukiman, pertanian, tambak dan lain-lain.
d. Sumberdaya Manusia;
pelaksanaan pembangunan merupakan hasil dari pengambilan perencanaan yang dilakukan oleh manusia khususnya yang bekerja di pemerintahan sebagai perencana dan pengambil kebijakan publik. Banyak sekali berbagai masalah timbul akibat suatu pembangunan yang diambil tanpa mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait dan ancaman yang mungkin timbul sebagai dampak pembangunan tersebut. Oleh karena itu, sumberdaya manusia sebagai perencana dan pengambil kebijakan, khususnya dalam masalah lingkungan, perlu diberikan berbagai pengetahuan dan pengalaman lapangan seperti pendidikan, pelatihan, dan lain-lain.
e. Pengelolaan Air Buangan Tambak (Effluent);
faktor yang diduga sebagai dampak pencemaran perairan yang mengalir di tambak khususnya di pesisir Subang adalah proses pencemaran limbah internal. Untuk itu perlu dilakukan pengelolaan air buangan tambak yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai produksi bersih dalam usaha budidaya. Air buangan tambak (effluent) tergolong limbah yang mengandung bahan bernilai nutrisi tinggi (protein, lemak, dan karbohidrat) yang mudah terdegradasi menghasilkan nutrien. Air buangan tambak (Effluent) adalag air yang keluar/dikeluarkan melalui pintu air tambak secara periodik saat penggantian air maupun pengurasan tambak saat panen. Pada umumnya air buangan tambak merupakan air yang kualitasnya sudah menurun dari sifat alamiahnya atau sudah tidak terpakai lagi uttuk budidaya.
f. Kebijakan;
sebagai penentu kebijakan, aturan dan mekanisme penyelesaian masalah pada penanganan kasus ini tidak dapat berjalan tanpa didukung dengan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik berupa peraturan pemerintah, surat keputusan (presiden, menteri, gubernur, atau bupati). Selain itu, bagi pelaksanaan penanganan secara bersama juga diperlukan adanya nota kesepahaman (MoU) lintas sektoral apabila diperlukan.
g. Monitoring dan Evaluasi;
salah satu proses penting yang menjadi faktor kunsi penentu keberhasilan penanganan adalah dengan melakukan monitoring dan evaluasi. Monitoring dilakukan untuk memantau perkembangan yang dilakukan pada point-point di atas. Evaluasi dilakukan untuk menilai perkembangan yang dilakukan, apakah pelaksanaannya sesuai dengan capaian yang diharapkan pada penanganan kasus ini di awal. Hasil akhir dari monitoring dan evaluasi ini adalah matrik capaian yang diharapkan, catatan perbaikan dan tugas arahan bagi berbagai pihak yang terlibat.
Potensi Budidaya Ikan Karamba di Sungai Batanghari Jambi
Sungai, danau dan waduk banyak terdapat di Indonesia. Wilayah tersebut merupakan lokasi yang dapat digunakan oleh masyarakat setempat sebagai lokasi usaha yang menguntungkan. Usaha yang dapat dilakukan secara tradisional secara turun menurun adalah kegiatan usaha memancing dan menangkap ikan menggunakan jaring tabur. Saat ini, bentuk usaha perikanan yang dapat dilakukan di wilayah sungai, danau dan waduk adalah budidaya ikan mengunakan karamba.
Salah satu bentuk usaha budidaya ikan dalam karamba yang dikembangkan di Sungai Batanghari Propinsi Jambi dilakukan oleh masyarakat sebagai pekerjaan utama dan sampingan. Usaha pemeliharaan ikan dalam karamba ini mulai dikembangkan di Kabupaten Muaro Jambi Propinsi Jambi. Pengembangan budidaya ikan ini merupakan bentuk bantuan Program DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan c.q. Direktorat Jenderal Budidaya) melalui pelatihan dan bimbingan bagi kelompok pengembang budidaya karamba. Dalam kurun waktu 3 bulan program ini berhasil dilakukan, dimana ikan yang dibesarkan sudah dapat dipanen dan dijual dengan berat antara 0.5-.7 kg.
Sungai Batanghari di Jambi merupakan lokasi yang memenuhi syarat bagi budidaya ikan yang berkelanjutan, karena sungai ini bebas dari banjir, pertukaran air tidak terlalu sering, dan letaknya jauh dari gangguan pengrusakan dan pencurian. Kondisi yang tepat tersebut, menjadikan wilayah ini dapat mengembangkan budidaya ikan secara massal dan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat sekitarnya.
Pembuatan Karamba
Sistem budidaya perikanan didefinisikan sebagai wadah produksi beserta komponennya dan teknologi yang diterapkan pada wadah tersebut yang bekerja secara sinergis menghasilkan produksi. Komponen tersebut di dalam sistem budidaya perikanan bekerja sinergis sehingga tercipta lingkungan terkontrol dan optimal bagi upaya mempertahankan kelangsungan hidup ikan dan memacu pertumbuhan dan perkembangbiakan ikan. Dalam upaya pengembangan budidaya ikan dalam karamba yang di lakukan di Muaro Jambi, kelompok masyarakat mulai mengembangkan ikan dalam karamba.
Pemberian Pakan
Agar ikan dapat tumbuh pesat, pemberian pakan dilakukan 1 hari 3 kali selama 3 bulan. Pemberian pakan dilakukan sampai ikan benar-benar sudah kenyang. Pakan yang baik adalah yang timbul, sehingga memudahkan kontrol, apakh ikan sudah kenyang atau masih lapar. Salah satu kiat yang digunakan agar ikan dapat tumbuh pesat, ikan diberi makanan tambahan dari bahan campuran berupa dedak halus dan tepung jagung yang dibuat bulat-bulat dan diberikan bergantian diantara makanan pokok.
Panen dan Pasca Panen
Usaha pengembangan budidaya karamba yang dilakukan di Sungai Batanghari Muaro Jambi dipelahara dengan baik oleh masyarakat, sehingga dalam tempo 3 bulan berat ikan mencapai 0,5 – 0,7 kg per ekor dan siap dipanen dan dipasarkan dengan harga sekitar Rp.15.000,- sampai Rp.17.000,- per kg.
Ikan yang dipanen diambil dari karamba menggunakan tangguk (jaring ambil) yang terbuat dari nilon. Penanganan ikan yang siap dipasarkan diproses dengan baik agar menjaga kualitas dan harga ikan, seperti ikan yang diangkat langsung dijual kepada pembeli agar ikan masih dalam kondisi segar. Oleh karena itu, calon pembeli sudah diberitahu 1 minggu sebelumnya atau ikan langsung diantar kepada pembeli.
Pengelolaan Perikanan di Kabupaten Kepulauan Seribu
Kepulauan seribu terdiri atas 110 pulau, dan 11 diantaranya yang dihuni penduduk. Pulau-pulau lainnya digunakan untuk rekreasi, cagar alam, cagar budaya dan peruntukan lainnya. Luas Kepulauan Seribu kurang lebih 108.000 ha, terletak di lepas pantai utara Jakarta dengan posisi memanjang dari Utara ke Selatan yang ditandai dengan pulau-pulau kecil berpasir putih dan gosong-gosong karang.
Aktifitas budidaya laut yang dilakukan oleh sebagian masyarakat di Kepulauan Seribu merupakan mata pencaharian alternatif selain kegiatan menangkap ikan di laut sebagai nelayan. Kegiatan usaha budidaya laut yang dikembangkan antara lain budidaya rumput laut dan ikan kerapu.
Usaha budidaya rumput laut banyak dikembangkan oleh masyarakat karena biaya investasi yang tidak terlalu besar namum mempunyai hasil yang cukup baik. Kegiatan budidaya lain yang telah diusahakan juga yaitu teripang, walaupun masih dalam bentuk pengumpulan dari alam.
Budidaya Rumput Laut
Usaha budidaya rumput laut (seaweed) banyak diusahakan disemua pulau besar yang berpenghuni, seperti Pulau Pramuka, Pulau Panggang dan Pulau Tidung, serta diskeitar P. Ayer, P. Tikus, P. Kongsi, P. tengah dan P. Burung. Perkembangan kegiatan budidaya rumput laut dibeberapa pulau di Kepulauan Seribu menunjukan kecenderungan yang sangat pesat dan diperkirakan telah melampuai daya dukung lingkungan setempat. Budidaya rumput laut membutuhkan nutrien yang berasal dari air di terumbu karang yang memiliki kemampuan menstabilkan nutrien. Namun, perkembangan luasan budidaya rumput laut dapat menghambat penetrasi cahaya untuk kelangsungan proses fotosintesa.
Budidaya Ikan Kerapu
Budidaya ikan kerapu (Epinephelus spp) dan ikan baronang (Siganus sp) di wilayah Kepulauan Seribu umumnya berlokasi di sekitar P. Lancang, P. Kongsi, P. Tidung, P. Panggang, P. Pramuka, dan P.Kelapa. Budidaya kerang mutiara dikembangkan disekitar perairan P. Pamegaran. Budidaya teripang berlokasi di P. Pramuka dan P. Pari. Budidaya ikan Baronang dikembangkan di perairan P. Panggang, P. Kelapa, dan P. Pari.
Sampai saat ini kegiatan budidaya terus berlangsung yang pada umumnya dilakukan didalam jarring apung (karamba apung) namun belum berkembang pesat dan banyak menghadapi permasalahan baik dari sisi teknis maupun non teknis.
Subscribe to:
Posts (Atom)