Saturday, September 27, 2008

Indonesia Jajaki Ekspor Perikanan Eropa Timur

Indonesia mulai menjajaki ekspor perikanan ke Timur Tengah dan Eropa Timur untuk meningkatkan nilai ekspor produk perikanan.

"Sekarang ini kita mencoba menjajaki peluang ekspor perikanan ke Timur Tengah dan Eropa Timur. Kedua negara tersebut merupakan pasar baru yang belum pernah dimasuki secara serius," kata Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Martani Huseini, di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, pasar di kedua kawasan tersebut cukup menjanjikan mengingat negara-negara di kawasan tersebut merupakan negara kaya.

"Permintaan ada dari Eropa Timur, mulai dari Rusia, Polandia, dan Syria. Tentara mereka meminta tuna impor dalam bentuk beku, bisa dibayangkan berapa besar kebutuhannya, ini peluang untuk Indonesia," ujarnya.

Sedangkan pasar ekspor lainnya yang sedang dijajaki, menurut Martani, adalah Timur Tengah. Selama ini kebutuhan ikan negara Timur Tengah baru dipasok dari Thailand, China dan Vietnam, padahal China pun mengimpor dari Indonesia.

"Bulan November rencananya kita akan ke Timur Tengah untuk
menindaklanjuti peluang yang ada. Pasar di sana nilainya mencapai 40 juta dolar AS per tahun, tidak terlalu besar memang tapi pasar ini sangat mungkin berkembang mengingat perkembangan Timur Tengah sangat pesat," katanya.

Berbagai produk perikanan yang diekspor antara lain ikan laut maupun air tawar berupa filet maupun dalam bentuk utuh, ujar dia. Ikan yang ekspor mulai dari tuna, udang, nila, hingga patin.

Sementara itu, Direktur Pemasaran Luar Negeri, Saut P Hutagalung mengatakan, pasar Timur Tengah lebih kecil jika dibanding pasar China yang mencapai 65 juta AS dolar. Pasar Timur Tengah yang hampir separuhnya diperuntukan untuk Arab Saudi mencapai 18 juta dolar, sisanya untuk Yordania mencapai 15 juta dolar dan Mesir mencapai tujuh juta dolar.

"Untuk saat ini baru MoU dengan Mesir yang hampir siap, sedangkan untuk Arab Saudi masih harus melalui penjajakan. Dan untuk Yordania sama sekali belum dicoba pembicaraan antara dua negara," katanya.

Menurut dia, selama ini kendala dalam melakukan ekspor perikanan ke Timur Tengah karena pihak Indonesia belum mengenal dengan baik pasar tersebut. Jika dilihat secara politis, hubungan Indonesia dan negara-negara di Timur Tengah memang tidak ada masalah, tetapi dalam kaitan dengan dunia ekonomi masih perlu pembelajaran.

"Tarif bea masuk di sana tinggi memang, 20 hingga 40 persen. Tapi tidak masalahkan karena negara lain juga dapat membayar sebesar itu," ujarnya.

Justru yang menjadi masalah, menurut dia, adalah belum adanya sertifikat halal untuk produk perikanan Indonesia, sedangkan Filipina telah memilikinya. Pembahasan sertifikasi halal telah dibicarakan dengan MUI, tetapi terhambat dengan adanya RUU Label Halal.

"Hal lain yang diperlukan dalam hal ini MoU Perdagangan antar negara. Ini sangat penting sebagai payung hukum, kita sudah ada MoU dengan Iran, menyusul Mesir dalam waktu dekat," katanya.(*)Jakarta, (ANTARA News)

Tuesday, September 23, 2008

Pemberdayaan Masyarakat pada Coremap II Kabupaten Pangkep



Kabupaten Pangkep merupakan salah satu kabupaten kepulauan di Sulawesi Selatan yang masuk dalam wilayah pengelolaan COREMAP Fase II. Wilayah kerja kegiatan COREMAP II di kabupaten Pangkep sampai tahun 2010 meliputi 10 Kecamatan terdiri dari 7 (tujuh) kecamatan pesisir dan 3 (tiga) kecamatan kepulauan.
Salah satu program coremap yang menjadi fokus kegiatan CBM ini adalah pemberian bantuan dana bergulir (seed fund) yang bertujuan untuk memberi bantuan modal usaha masyarakat melalui sistem dana bergulir yang dikelola oleh LKM Desa dan pemberian dana pembangunan desa (village grant) untuk pembangunan sarana sosial yang berkaitan dengan pengelolaan terumbu karang.
Berdasarkan hasil diskusi dan pemantauan di lapangan diperoleh data dan informasi mengenai perkembangan pelaksanaan kegiatan CBM di Kabupaten Pangkep adalah sebagai berikut :

A. Perkembangan Kegiatan :
Umum
1. Program Coremap II telah memberikan bantuan permodalan (seed fund) pada tahun 2007 sebesar Rp.1.450.000.000. yang didistribusikan kepada 37 LKM Desa Coremap dalam jumlah antara Rp.25.000.000 sampai Rp.50.000.000. Bantuan seed fund direncanakan dilanjutkan pada tahun anggaran 2008 sehingga semua desa coremap mendapat bantuan masing-masing mencapai Rp.50.000.000.
2. Dana seed fund pada tahun 2008 sebanyak 400 juta saat ini sudah siap untuk dicairkan dan diberikan kepada LKM untuk dikelola sesuai dengan peruntukkannya. Rencana pembagian akan diberikan ke 16 desa masing-masing sebesar 25 juta rupiah.
3. Tujuan seed fund adalah untuk meningkatkan kapasitas usaha masyarakat terutama kegiatan usaha ekonomi produktif ramah lingkungan yang tidak berdampak kepada kerusakan terumbu karang.
4. Berdasarkan usulan penggunaan dana seed fund yang masuk ke PMU terdapat beberapa jenis usaha yang memerlukan modal antara lain adalah: usaha budidaya rumput laut, budidaya kerapu, pembelian alat tangkap pancing, pembelian alat tangkap jaring, usaha pengolahan ikan kering, sedangkan di wilayah pesisir terdapat permintaan modal untuk peternakan itik, usaha menjahit, dan usaha jual-jualan kue dan jualan barang campuran.

Desa Mattiro Bombang
1. Lokasi desa program yang dikunjungi adalah Desa Mattiro Bombang dan Desa Tekolabbua. Desa Mattiro Bombang merupakan salah satu desa di Kecamatan Liukang Tuppabiring, yang terdiri dari empat buah pulau berpenghuni yaitu Pulau Salemo, Pulau Sagawa, Pulau Sabangko dan Pulau Sakuala dan beberapa gugus karang. Pusat desa berpenduduk 450 KK ini berada di Pulau Salemo.
2. Pelaksanaan Seed Fund pada tahun 2007 diberikan sebesar Rp 50juta untuk masing-masing desa. Pelaksanaan Seed Fund di Desa Mattiro Bombang sudah berjalan dengan baik, dimana saat ini jumlah peminjam sebanyak 44 orang dengan pinjaman antara 1-2 juta rupiah per orang.
3. Sarana prasarana yang telah diadakan atau dibangun melalui pendanaan Village Grant di desa ini antara lain kapal pengawas, fasilitas pondok informasi (informasi center), dan papan-papan informasi.
4. Sesuai dengan rencana pengelolaan terumbu karang yang telah disusun, maka desa ini lebih diarahkan pada rencana pengembangan usaha yang dikelola oleh kelompok masyarakat.
5. Pelaksanaan AIG Fund tidak dapat dilanjutkan berkaitan dengan terbenturnya pola pendanaan dengan Permen Keuangan Nomor........, sehingga dana yang telah tersedian dikembalikan ke negara.
6. Pengelolaan wilayah perairan dalam rangka pengelolaa sumberdaya perikanan dan terumbu karang sudah berjalan dengan baik, hal ini ditunjukkan dengan berjalannya radio masyarakat untuk berkomunikasi dalam pengawasan sumberdaya perairan bersama PIU dan kepolisian.
7. Selain Program Coremap II, desa ini juga mendapat program MCRMP (Marine Coastal Resources Management Project) dan PPK (Program Pengembangan Kecamatan), sehingga telah terbangun berbagai sarana sosial lainnya dan pengembangan ekonomi masyarakat.

Desa Tekolabbua

1. Berbeda dengan desa di atas, Desa Tekolabbua merupakan desa pesisir yang terletak di Kecamatan Pangkajene.
2. Pendanaan seed fund sudah berjalan, perguliran dilakukan dan dikelola oleh LKM dimana saat ini jumlah dana sebesar 67 juta dari modal awal yang diberikan sebesar 50 juta. Maksimal dana pinjaman yang diberikan sebesar 2,5 juta rupiah, namun masih banyak anggota lainnya yang menunggu untuk dapat meminjam dana seed fund yang akan datang.
3. Pendanaan village grant dilaksanakan dengan membangun sarana air bersih dan fasilitas pendukung informasi center.
4. Akan dilaksanakan rencana studi banding ke wilayah pengelolaan perikanan yang berhasil di tempat lain. Diharapkan perwakilan yang akan mengikuti kegiatan tersebut dapat mewakili dan sesuai dengan kriteria.

B. Isu dan Permasalahan :
Desa Mattiro Bombang
1. Untuk memberdayakan seluruh masyarakat dan lembaga di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang ada di Kabupaten agar mampu melaksanakan kerja sama pengelolaan terumbu karang berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat maka telah dilakukan beberapa kegiatan utama yaitu: (1) pelatihan perikanan terumbu karang berkelanjutan, (2) pemasaran sosial pengelolaan terumbu karang berkelanjutan, (3) penilaian sumberdaya pedesaan secara cepat, (4) studi banding masyarakat, (5) fasilitasi desa dan bantuan teknis, (6) pembentukan pusat informasi terumbu karang desa, dan (6) pembentukan jaringan radio.
2. Desa ini terdiri dari 4 pulau berpenghuni, namun hanya Pulau Salemo sebagai pusat desa yang memiliki sarana sosial yang memadai. Oleh karena itu, dibutuhkan sarana sosial pendukung seperti sarana air bersih, MCK, dan listrik di 3 pulau lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pendanaan Village Grant perlu dialokasikan kembali.
3. Kondisi listrik berasal dari genset PLN hanya dapat dinikmati pada sore hari yakni pada pukul 6-12 malam. Apabila memungkinkan masyarakat berharap dapat menikmati listrik selama 24 jam melalui bantuan program Coremap II.
4. Pemboman ikan masih terjadi di perairan dekat pulau, namun belum dapat ditangani secara langsung dengan mengejar pelaku karena kondisi kapal pengawasan yang kecil (3GT). Diharapkan kapal untuk pengawasan dapat ditingkatkan menjadi kapal fiber dengan kapasitas dan kemampuan lebih besar.

Desa Tekolabbua

1. Sarana air bersih yang telah dibangun saat ini hanya berupa tempat penampungan air yang diambil dari sumber mata air di tempat lain menggunakan mobil pengangkut. Untuk itu, rencananya dibutuhkan fasilitas pendukung sarana air bersih lain berupa pembangunan penampungan air bersih dan pompa air di daerah sumber air bersih (3 km di luar desa). Pipa yang digunakan untuk menyambung air bersih dari sumbernya adalah pipa PDAM yang sudah ada.
2. Masih terdapat perbedaan pendapat dan pemahaman mengenai pengelolaan pendanaan seed fund diantara masyarakat.

C. Rekomendasi
Berdasarkan kondisi dan permasalahan yang terjadi di wilayah Coremap II Kabupaten Pangkep, maka perlu disarankan beberapa rekomendasi sebagai berikut :
1. PMU perlu melakukan advokasi dan mediasi kepada Bupati dan DPRD dalam rangka memperkuat peran daerah pada pelaksanaan COREMAP II di Kab. Pangkep, termasuk manefestasi komitmen daerah untuk menyediakan SDM yang memadai serta dana pendamping kegiatan,
2. PMU perlu melakukan asistensi dan pembinaan secara berkesinambungan agar pelaksanaan pengelolaan program dan pembinaan kegiatan-kegiatan masyarakat dapat berjalan dengan baik,
3. PMU melakukan identifikasi aset-aset yang telah diadakan untuk segera dibuat berita acara serah terima kepada LPSTK,
4. PMU bersama konsultan CBM, SETO dan CF perlu memahami dalam mengembangkan partisipasi dan kesepakatan berbasis mayarakat untuk pengelolaan dana village grant dan seed fund,
5. Pengadaan listrik dapat diadakan melalui pendanaan seed fund sebagai bentuk investasi oleh dan untuk masyarakat,
6. Perlunya dibuat sistem pelaporan keuangan menggunakan software komputer bagi pengelolaan dana masyarakat agar pelaksanaannya dapat dikontrol dengan baik oleh PMU. Agar dapat sistem pelaporan dapat berjalan dengan baik, diperlukan pelatihan operator komputer bagi LPSTK dan LKM.

Wednesday, September 17, 2008

Adaptasi Cahaya Pada Koral



Para ilmuwan telah menemukan sebuah gen dalam koral yang merespons siklus siang atau malam hari. Temuan ini memberikan sejumlah petunjuk penting tentang bagaimana koral simbiotik bekerja sama dengan plankton yang menjadi partner hidupnya.

Karang adalah binatang mengagumkan yang membentuk konstruksi biologis terbesar di dunia. Bentangan terumbu karang menutupi hampir 0,2 persen lantai samudra. Terumbu karang juga menyediakan habitat bagi lebih dari 30 persen kehidupan laut. Di perairan dangkal yang tidak menyediakan makanan berlimpah, koral telah mengembangkan hubungan mesra dengan organisme fotosintesis kecil yang disebut dinoflagellata.

Dinoflagellata menggunakan cahaya matahari untuk menghasilkan energi bagi karang. Energi itu digunakan oleh karang untuk membangun kerangka mineral yang berfungsi sebagai perlindungan. Produksi mineral, yang disebut dengan kalsifikasi koral, amat bergantung pada siklus siang dan malam, meski mekanisme molekuler di balik sinkronisasi tersebut masih misterius.

Aurelie Moya, ilmuwan dari Monaco Scientific Centre, bersama tim ilmuwan gabungan dari Monaco dan Prancis berhasil melakukan karakterisasi gen koral pertama yang bereaksi terhadap siklus cahaya. Dalam laporan yang dipublikasikan pada Journal of Biological Chemistry, mereka menyatakan bahwa gen yang dinamai STPCA itu membuat enzim yang mengubah karbon dioksida menjadi bikarbonat (soda kue) dan dua kali lipat lebih aktif pada malam hari daripada siang hari.

"Enzim itu terkonsentrasi dalam lapisan berair, tepat di bawah kerangka hasil klasifikasi," kata Moya. "Bila dikombinasikan dengan studi terdahulu yang memperlihatkan bahwa inhibitor STPCA membuat tingkat kalsifikasi menurun, temuan ini mengkonfirmasi peran langsung gen STPCA dalam proses tersebut."

Moya dan timnya memperkirakan bahwa STPCA menjadi lebih aktif pada malam hari untuk mengatasi pembentukan asam. Proses kalsifikasi ini membutuhkan banyak atom hidrogen atoms, yang pada siang hari dapat dibuang oleh fotosintesis. Pada malam hari, akumulasi hidrogen meningkatkan kadar keasaman koral sehingga STPCA menciptakan bikarbonat tambahan sebagai buffer untuk menghalangi kerusakan jaringan akibat asam. SCIENCEDAILY | NOVA
Sumber : KoranTempo; EDISI 17 September 2008

Wednesday, September 3, 2008

A Process for Community-based



There are many similarities, and some differences, between community-based coastal resource management (CBCRM) and co-management. When CBCRM is considered an integral part of co-management, there is a new category of co-management which can be called community-based co-management. Community-based comanagement is people-centered, community-oriented, resources-based and partnership-based. The implementation of community-based co-management has four components: resources management, community and economic development, capability building, and institutional support.

Reference : Pomeroy, R.S. NAGA, The ICLARM Quarterly, 1998. Vol. 21, No. 1, pp 71-76.

Download :

http://uploads.bizhat.com/file/348616

A Rapid Appraisal Approach to Evaluation of Community-Level Fisheries Management Systems


Framework and Field Application at Selected Coastal Fishing Villages in the Philippines and Indonesia


Among the recent attempts to use the Rapid Rural Appraisal (RRA) techniques traditionally employed in agriculture and other terrestrial resource systems is in the evaluation of the coastal and marine fisheries’ environments. One of these approaches is called Rapid Appraisal of Fisheries Management Systems (RAFMS) which was developed at the International Center for Living Aquatic Resources Management (ICLARM). The RAFMS is a diagnostic tool designed to quickly document and evaluate the operating fisheries management systems both formal and informal at the community level. As a critical first step in diagnosing the existing types of community-level fisheries management systems, the RAFMS shall provide general information on their essential features, operations and impacts. Given limited funds, time, and research personnel, it is not always possible to conduct indepth studies of community-based fisheries resource management systems at a specific site or across a country. While the RAFMS is no substitute for more detailed studies, it can provide cost-effective information and a research and/or policy direction for further study. This paper first describes the framework of the RAFMS. Then, it provides examples of output from RAFMS generated through field applications in the fishing villages of Ulugan Bay and Binunsalian Bay in Palawan Island, Philippines and Nolloth Village in Saparua Island, Indonesia. The RAFMS was found useful in generating information for use of the outside experts, the local researchers and the residents of the fishing communities. The outputs from the field application in the Philippines and Indonesia are now being used for various planning, project development and research purposes.

Reference: Pido, M.D., R.S. Pomeroy, L.R. Garces and M.B. Carlos. 1997. Coastal Management Vol. 25, No. 2, pp 183-204.

Download :

http://uploads.bizhat.com/file/348613

A note on cyanide fishing in Indonesia

In Indonesia reef fish stocks are declining as a result of over-fishing and destruction of habitats. The latter is caused by the dying of corals from cyanide and by the breaking of corals around holes where fish are hiding. In the capture of a single grouper, more than a square meter of corals is destroyed when the fish is removed from its hiding place. In areas where cyanide fishing has been practised intensively, the reef is mostly dead, overgrown with algae, and has only very few animals still living on it.


Reference : P
ET-SOEDE, L. & M.V. ERDMANN. (1998). An overview and comparison of destructive fishing

practices in Indonesia. SPC Live Reef FishInformation Bulletin 4: 28-36.


Download :

http://uploads.bizhat.com/file/348614