Thursday, July 31, 2008

Dengan Qur'an Menyelamatkan Terumbu Karang

Qur’an dan hadist merupakan pesan efektif untuk melestarikan lingkungan alam di Tanzania.

Kepulauan Zanzibar di lepas pantai Tanzania semestinya adalah surga di dunia. Di masa lalu ini merupakan pusat pertemuan niaga Timur-Barat. Kini berisi reruntuhan warisan Islam kuno, rumah-rumah Arab yang indah dengan hamparan pasir pantai putih dihuni pohon-pohon palem menuding langit. Lautnya hangat dengan airnya yang kebiruan, berisi taman terumbu karang di dalamnya.

Tapi, itu dulu. Dalam beberapa dasawarsa terakhir, taman terumbu karang bawah laut terancam oleh praktek pencarian ikan yang merusak. Larangan pemerintah agar nelayan tidak menggunakan dinamit tidak pernah digubris. Pendekatan melalui pesan-pesan adat tradisional juga tidak mempan. Sampai akhirnya sebuah pendekatan baru ditemukan: lewat masjid, Qur’an dan Hadist.

"Qur'an mengajarkan prinsip etika manusia dalam berhubungan dan melindungi mahluk lain,” kata Fazlun Khalid, direktur dan pendiri Islamic Foundation for Ecology and Environmental Sciences (IFEES) yang berpusat di Inggris. “Pesan seperti itu dapat menjadi dasar etika pelestarian alam.”

IFEES adalah salah satu dari organisasi lokal dan internasional yang pada 1998 meluncurkan proyek memanfaatkan ajaran Islam untuk meningkatkan kesadaran tentang pelestarian alam. “Kami menggali ajaran yang hilang dan merumuskannya dalam bentuknya yang modern,” katanya.

Bersama CARE, organisasi Amerika yang bergerak dalam bidang pengentasan kemiskinan, IFEES melakukan pertemuan rutin dengan ulama dan nelayan untuk mendiskusikan ajaran Qur’an yang berkaitan dengan lingkungan dan sumber daya alam.

Menggunakan Qur’an dan hadist serta praktek Nabi Muhammad, mereka berhasil meyakinkan nelayan untuk, misalnya, tidak lagi menggunakan dinamit ketika menangkap ikan.

Mereka juga bekerjasama dengan Perhimpunan Konservasi Pulau Misali, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang peduli pada pelestarian pelestarian terumbu karang, untuk melatih imam lokal memasukkan pesan pelestarian alam dalam khotbah Jumat mereka. Misali adalah satu pulau di Kepulauan Zanzibar yang mayoritas penduduknya Muslim.

Misali terkenal memiliki beragam spesies ikan dan kura-kura serta memiliki hamparan karang paling indah di belahan barat Samudera India. Kekayaan laut itu terancam oleh praktek pencarian ikan secara sembrono.

Namun, beberapa tahun setelah proyek diluncurkan, langkah menggunakan ajaran Islam ini terbukti manjur. “Saya akhirnya tahu bahwa cara lama saya mencari ikan telah merusak lingkungan,” kata Salim Haji, seorang nelayan setempat. “Teknik pelestarian ini tidak berasal dari mzungu,” katanya, merujuk pada kata dalam bahasa Afrika Timur untuk “orang kulit putih”. Tambah Salim Haji: “Melainkan dari Qur'an."

Hamza Suleiman, ketua komite pelestarian alam di Desa Wesha, mengatakan penduduk desa telah berpindah dari menggunakan teknik lama yang mengikutkan ikan langka ke dalam tangkapan mereka ke teknik baru yang lebih selektif.

Sebuah kajian CARE pada 2000 menunjukkan 34% nelayan percaya Islam memberikan panduan bagi penganutnya dalam memanfaatkan laut serta isinya. Pada 2003, lima tahun setelah proyek itu diluncurkan, studi lain menunjukkan jumlahnya meningkat menjadi 66%.

Konservasi berdasar Islam juga membawa hasil prositif di Pemba, pulau kecil lain di lepas pantai Tanzania. Ali Abdullah Mbarouk, manajer proyek CARE, mengatakan bahwa seperti di Misali, pesan konservasi tradisional tidak menunjukkan hasil yang diharapkan pada nelayan setempat. “Tapi, ketika warga diberi tahu pemimpin agama, mereka cenderung untuk mengikutinya,” katanya.

Para sponsor proyek itu kini telah menerbitkan sebuah buku panduan Islami dalam bahasa Inggris dan Swahili untuk disebarkan ke seluruh pantai Afrika yang penduduknya berbahasa Swahili dan kelak akan disebarkan pula pada komunitas Islam di seluruh dunia.

Khalid optimistik bahwa model Misali dan Pemba dapat diterapkan untuk komunitas Islam lain di seluruh dunia. Dengan metode sama, lembaga miliknya belakangan ini juga aktif membantu warga Aceh dan Sumatera pada umumnya untuk memulihkan hutan bakau dan mengelola hutan lindung di Sumatera.

“Ulama setempat adalah orang terbaik yang bisa meyakinkan masyarakat akan tanggungjawab mereka untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan,” kata Khalid.***

By : Farid Gaban from http://www.beritacerbon.com/kolom/2008-07/dengan-quran-menyelamatkan-terumbu-karang

Thursday, July 17, 2008

Wednesday, July 2, 2008

Jepang Bebaskan Bea Masuk Produk Perikanan Indonesia

Kompas, Rabu, 2 Juli 2008 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Tarif masuk 51 produk perikanan Indonesia ke Jepang turun dari 3,5 persen sampai 10,5 persen menjadi nol persen mulai Selasa (1/7). Pengusaha diminta memanfaatkan peluang itu dengan menjaga ketat mutu produk ekspornya.

Direktur Pemasaran Luar Negeri Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Saut Hutagalung yang dihubungi di Tokyo, Selasa (1/7), menjelaskan, beberapa produk yang mendapat pembebasan tarif meliputi udang, lobster, kaki kodok, mutiara, dan ikan hias di luar jenis ikan emas. Produk udang tercatat mendominasi ekspor ke Jepang, yaitu sekitar 4 juta dollar AS.

Upaya peningkatan ekspor dilakukan dengan pemenuhan ketentuan standar mutu dan keamanan produk guna memenuhi persyaratan pasar Jepang yang dikenal ketat terhadap mutu.

”Pengusaha nasional diharapkan membangun citra produk perikanan yang baik dengan memasok produk yang baik, sehat, dan aman,” kata Saut.

Pasar ekspor perikanan nasional ke Jepang merupakan kedua yang terbesar setelah Amerika Serikat. Dari total nilai ekspor produk perikanan Indonesia tahun 2007 sebesar 2,3 miliar dollar AS, nilai ekspor ke Jepang mencapai 600 juta dollar AS.

Dengan penghapusan bea masuk itu, lanjut Saut, masih terdapat 35 produk perikanan ekspor lain yang diupayakan mengalami penurunan tarif masuk secara bertahap. Di antaranya, produk tuna, ikan teri, kepiting, dan tiram yang saat ini dikenai bea masuk antara 3,5-11 persen.

Kalangan eksportir menyambut positif diberlakukannya Perjanjian Kemitraan Ekonomi atau EPA Indonesia-Jepang mulai 1 Juli 2008 karena berbagai kemudahan perdagangan yang ditawarkan. Mereka meminta diplomat Indonesia yang bertugas di Jepang aktif mengumpulkan berbagai informasi potensi pasar sehingga ekspor mudah digenjot.

”Bagi Asmindo, ada atau tidak ada perjanjian ini, kami tetap menggenjot ekspor ke Jepang. Sekarang kami membutuhkan informasi peta pasar mebel dan kerajinan di Jepang,” kata Ketua Umum Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Ambar Tjahyono, Selasa (1/7) di Jakarta.

Selama dua tahun terakhir, ekspor mebel dan kerajinan ke Jepang tumbuh 7 persen. Kondisi ini cukup menggembirakan di tengah melemahnya daya beli masyarakat Jepang.

Saat ini generasi muda Jepang menjadi target pasar baru. Kelompok yang juga berpendapatan tinggi ini mulai meminati mebel dan kerajinan produk Indonesia.

Sementara itu, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu di sela-sela pertemuan pertama Komisi Bersama Indonesia-Jepang di Tokyo, Jepang, Selasa kemarin, mengingatkan, para eksportir perlu memahami prosedur ekspor yang baru untuk memanfaatkan preferensi tarif yang diatur melalui EPA.

”Surat keterangan asal (SKA) form Indonesia-Japan EPA sudah dapat diperoleh di 85 kantor penerbit SKA di seluruh Indonesia,” ujar Mari. (lkt/ham/day)

Tuesday, July 1, 2008

Ikan Impor Didominasi Jenis Ikan Kembung

Kompas Online, Selasa, 1 Juli 2008 | 00:26 WIB

Medan, Kompas - Impor ikan di Sumatera Utara didominasi ikan jenis kembung. Selain itu, ikan yang diimpor juga ikan jenis mujair, sarden, dan patin. Ikan masuk dalam keadaan mati dan siap dikonsumsi.

Di sisi lain, koordinasi antarinstansi dalam penanganan ikan impor sangat lemah. Setiap instansi melempar tanggung jawab kepada instansi yang lain karena tak ada cantolan hukum yang mewajibkan adanya koordinasi.

Data Balai Karantina Ikan Polonia Departemen Kelautan dan Perikanan menunjukkan, pada tahun 2007 total impor ikan mencapai sekitar 2.934 ton. Sebanyak 1.063 ton di antaranya merupakan ikan kembung. Sementara itu, hingga Maret 2008 jumlah ikan impor yang masuk ke Sumut sekitar 944 ton. Separuhnya merupakan jenis ikan kembung.

Kepala Balai Karantina Ikan Polonia Departemen Kelautan dan Perikanan Victor I Sinuraya mengatakan, pihaknya bertanggung jawab pada kesehatan ikan, apakah mengandung penyakit tertentu yang akan mengganggu kehidupan ikan di Sumut.

Namun, soal mutu ikan, dalam arti kelayakan untuk konsumsi manusia, bukan sepenuhnya tanggung jawab karantina.

”Tolong dibedakan antara mutu ikan dan kesehatan ikan,” kata Victor, Senin (30/6).

Sertifikat

Victor mengatakan, sejauh impor dilaporkan ke karantina, mempunyai sertifikat kesehatan ikan dari negara asal, dan masuk secara resmi, ikan bisa masuk ke Sumut. Apalagi, Indonesia sudah menandatangani perjanjian WTO.

Sebelumnya, Balai Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan yang berada di bawah Dinas Perikanan dan Kelautan menyatakan belum pernah meneliti mutu ikan itu untuk konsumsi manusia. (WSI)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/01/00264591/ikan.impor.didominasi.jenis.ikan.kembung