Wednesday, March 26, 2008

Hadiri Anjungan Coremap II pada DEEP INDONESIA 2008 di JCC; 28-30 Maret 2008

DINAMIKA SUMBERDAYA CUCUT (ELASMOBRANCHII ) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, JAWA BARAT

Oleh:

Maria M. Wahyono
Peneliti pada Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur, Jakarta 14430. Telp. (021) 681940; Fax. (021) 6402640; E-mail : purispt@indosat.net.id

Tuti Susilowati
Peneliti pada Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Serang. Jl. Raya Bojonegara. P.O. Box 01. Cilegon 42454. Telp. (0254) 20065; Fax. (0254) 201969. E-mail : Melati_fish@hotmail.com

I. PENDAHULUAN
Pada dasarnya keberlanjutan usaha penangkapan ikan sangat ditentukan oleh ketersediaan stock (sediaan) komoditas yang bersangkutan. Ketersediaan dan keberadaan stock suatu komoditas disuatu perairan ,dipengaruhi oleh perilaku dan pola pikir manusia dalam menerapkan system pengelolaan yang kelak dipilih. Pilihan terhadap system pengelolaan sumberdaya perikanan yang dapat menjamin usaha penagkapan yang berkelanjutan di masa datang , perlu mencermati komponen mana yang sudah mendesak dieliminasi , ditinjau kembali atau bahkan dihapus dari penerapan yang kurang berdayaguna tinggi selama ini. Kegiatan penangkapan sumber daya perikanan dimasa lalu cenderung bersifat eksploitatif. Sejalan dengan dianutnya system pengelolaan dengan menggunakan pendekatan produksi (production approach). System pengelolaan itu telah berdampak pada penurunan populasi beberapa jenis komoditas perikanan yang tergolong andalan komoditas ekspor seperti : tuna dan udang dan juga cucut (elasmobrachi). Cucut (Elasmobranchii) di Indonesia merupakan salah satu sumberdaya perikanan ekonomis penting, baik sebagai komoditas ekspor maupun untuk pemenuhan kebutuhan domestik. Cucut adalah hewan yang mempunyai banyak manfaat, disamping merupakan bahan makanan juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri kosmetik, obat-obatan dan asesoris seperti tas dan sepatu. Hampir seluruh bagian tubuh cucut dapat dimanfaatkan, mulai dari sirip dan minyak hati sampai daging, tulang, kulit dan mata.

Tingkat pemanfaatan dan pengembangan perikanan cucut di Indonesia belum dapat diketahui secara pasti, hal ini dikarenakan data dan informasi mengenai cucut masih sangat kurang baik mengenai biologi dan potensi maupun distribusi kelimpahannya. Hal ini dikarenakan penangkapan cucut di Indonesia umumnya masih merupakan penangkapan tradisional dan hasilnya masih sebagai hasil tangkapan sampingan (by catch) dari upaya penangkapan tuna sehingga pencatatan data penangkapan belum dilakukan dengan baik.

Dewasa ini, perkembangan perdagangan cucut dunia telah memacu meningkatnya pemanfaatan sumberdaya cucut di beberapa negara produsen termasuk Indonesia. Hal ini telah diantisipasi adanya penurunan populasi apabila terjadi penangkapan berlebih, oleh karena itu diperlukan pengelolaan yang baik agar dapat menjaga kelestarian dan kesinambungan sumberdayanya.

Tulisan ini menyajikan sebagian hasil penelitian sumberdaya cucut yang merupakan langkah awal penelitian sumberdaya cucut di Indonesia. Data dan Informasi yang menjadi ilustrasi dalam tulisan ini menyajikan data penelitian dari daerah Pelabuhan Ratu, dan Binuangeun, Jawa Barat yang juga merupakan komponen-komponen pengelolaan sumberdaya perikanan yang dapat menjadi bahan masukan bagi pengelolaan sumberdaya cucut.di perairan Indonesia.

II. BAHAN DAN METODE
Bahan tulisan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan dalam kurun waktu dua tahun (2000-2001). Lokasi penelitian di Palabuhanratu dan Binuangeun, pantai selatan Jawa Barat.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dan wawancara dengan penarikan contoh secara acak. Sampel dikumpulkan dari tempat pendaratan ikan (TPI/PPI) dan di atas kapal nelayan.

Identifikasi dan determinasi jenis (ordo, famili, genus dan spesies) menggunakan buku-buku Panduan Identifikasi dari Compagno (1984); Saintbury, Kailola dan Leyland (1985); Gloerfelt-Tarp dan Kailola (1984); Last dan Stevens (1994). Analisis regresi digunakan untuk melihat hubungan panjang berat.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN
1 Biodiversitas jenis
Pelabuhanratu (Jawa Barat) merupakan salah satu daerah produsen cucut di terbesar di pantai selatan Pulau Jawa. Keanekaragaman jenisnya cukup tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya seperti Cilacap (Jawa Tengah) dan Prigi (Jawa Timur). Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Palabuhanratu terdapat 28 spesies (12 famili), sedangkan di Cilacap dan Prigi masing-masing 30 spesies dan 5 spesies. Dibandingkan dengan hasil temuan Gloerfelt–Tarp dan Kailola (1984), di perairan selatan Indonesia dan barat laut Australia yang menghasilkan 73 spesies dari 8 famili, maka biodiversitas cucut di Palabuhanratu lebih tinggi. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Sainsbury, Kaiola dan Leiland (1985) menunjukkan 30 spesies cucut yang terdapat di perairan bagian barat Australia. Ahmad (1998) mengemukakan bahwa di perairan Malaysia telah ditemukan 48 spesies cucut dari 12 famili. Jenis cucut yang mempunyai spesies terbanyak adalah famili Carcharhinidae. Jenis cucut ini di Palabuhanratu ada 19 spesies, sedangkan di perairan Australia ada 29 spesies (Tarp dan Kailola, 1984).

Dari seluruh spesies hasil pengamatan terdapat 10 spesies dominan yaitu : Odontaspis ferox, Carcharhinus amblyrhynchos, Sphyrna lewini, C. sorrah, Centrophorus moluccensis, C. hemiodon, Alopias pelagicus, Sphyrna Zygaena, C. plumbeus, C. brevipinna. Nelayan setempat telah menggunakan nama lokal bagi beberapa spesies yang sudah diketahui.

2. Sebaran ukuran panjang berat
Beberapa spesies cucut di Palabuhanratu telah diketahui hubungan panjang beratnya (Wiewiet An Pralampita dan Umi Chodriyah, 2000), diantaranya adalah Carcharhinus hemiodon , Y = 0.0389X2.5911 (n= 43, r = 0.8655) ; Alopias pelagicus, Y = 0.4626X2.0519 (n = 27, r = 0.6557) dan Sphyrna lewini, Y = 0.0765X2.4627 (n=100, r= 0.7511).

3. Aspek Penangkapan
Alat tangkap dominan yang digunakan untuk menangkap jenis ikan cucut meliputi : Jaring insang hanyut dan Pancing rawai (perawe-long-liner) .

3.1. a. Jaring Insang Hanyut.
Jaring insang hanyut biasa menangkap cucut sebenarnya adalah jaring insang hanyut yang ditunjukkan untuk penangkapan tuna dan cakalang. Alat ini dipakai nelayan Palabuhanratu, Binuangeun, Cilacap dan Prigi. Hasil pengamatan menunjukan bahwa deskripsi umum jaring tersebut adalah sebagai berikut : panjang jaring umumnya sekitar 45 m per pis (tinting). Badan jaring terbuat dari bahan nylon multifilamen dengan ukuran benang d/9 hingga d/21 dan ukuran mata jaring 114,3 – 139,7 mm (4,5 – 5,5 inci). Koifisien peningkatan (hanging ratio) 0,55. Karena ukuran ikan cucut yang umumnya sangat besar dibanding ukuran mata jaring, maka umumnya cucut tertangkap secara terpuntal.
Dalam pengoperasian jaring insang hanyut digunakan kapal berukuran 15 – 30 GT dengan motor penggerak berkekuatan 60-180 HP. Jumlah awak kapal sekitar 10 - 13 orang. Hasil tangkapan ditempatkan dalam palkah dengan es sebagai bahan pengawet. Jumlah jaring yang dioperasikan antara 40 - 60 pis.
Daerah penangkapan nelayan biasanya ke arah barat, yaitu di sekitar perairan P. Tinjil, P. Deli, P. Panaitan, Ujung Kulon dan Krakatau sampai kep. Nias. Jumlah hari di laut biasanya 10 – 20 hari dengan jumlah tawur 8-18 kali setiap trip.
Jumlah hasil tangkapan rata-rata 17 – 40 okor per trip. Jenis Cucut yang tertangkap oleh jaring insang hanyut didominasi oleh jenis cucut monyet (Alopiidae), cucut monyet (Alopias pelagicus), cucut lutung (Alopias supeciliosus ); cucut lanjam (Odontaspis ferox); cucut caping (Sphyrna lewini Carcharhinidae), yang dominanasi oleh cucut aron (C. amblyrhynchos ) dan lanjaman ().

a. Pancing Rawai.

Pancing rawai yang dimaksud adalah pancing rawai khusus untuk menangkap cucut. Terdapat dua jenis pancing rawai cucut ditemui selama penelitian yaitu pancing rawai cucut dasar dan permukaan (hanyut). Pancing rawai dasar khusus ditujukan untuk menangkap cucut botol (famili Squalidae) dan pancing rawai permukaan ditujukan khusus menangkap jenis – jenis cucut yang berada di lapisan tengah hingga permukaan air misalnya cucut Alopias supeciliosus. Pancing rawai cucut botol digunakan nelayan di Palabuhanratu, Binuangeun dan Cilacap, namun saat ini nelayan sudah jarang mengoperasikannya karena tidak menguntungkan lagi.
Pancing rawai cucut permukaan (hanyut) saat ini terutama dipakai nelayan Tanjung Luar, Binuangeun dan Cilacap. Alat ini biasanya dioperasikan bergantian dengan alat tangkap jaring insang hanyut. Sedangkan di Palabuhanratu alat tangkap pancing dan jaring insang hanyut dioperaasikan secara bersamaan dengan cara digandeng (seri).

Kapal yang digunakan untuk pengoperasian pancing rawai hanyut cucut sama dengan menggunakan kapal untuk pengoperasian jaring insang hanyut. Kapal yang digunakan 7 - 10 GT dengan mesin penggerak 30 – 60 HP. Kapal ini menggunakan es sebagai bahan pengawet hasil tangkapannya. Jumlah anak buah kapal 4 - 5 orang jumlah mata pancing yang dioperasikan 200 – 500 buah. Daerah penangkapan sama dengan daerah penangkapan jaring insang hanyut. Lama operasi 8 – 20 hari, jumlah tawur 5 – 16 kali per trip. Umpan yang digunakan adalah ikan kembung, daging tuna, daging ikan layaran dan daging setuhuk. Cara memperoleh umpan adalah dengan cara menangkap dengan menggunakan jaring insang hanyut sebelum pancing dioperasikan.

Jumlah hasil tangkapan pancing nelayan Palabuhanratu dan Binuangeun rata – rata 6 ekor per trip. Jika tiap trip pancing dioperasikan banyak rata – rata 7 kali dengan jumlah pancing 250 buah, maka laju pancing (hook rate) adalah 0.34. lebih kecil dibandingan dengan di Tanjung Luar, bahwa dari 96 kapal cucut yang mendarat September – Oktober 2000, rata-ratra laju pancingnya 0,41 dan spesies cucut yang tertangkap didominasi oleh cucut kejen (Carcharhinus hemiodon), cutu karet (Prionance glauca), cucut eho (C. amboinensis) dan cucut bengkoh (Sphyrna lewini).

3.2. Perkembangan hasil tangkapan
Penangkapan cucut dapat dilakukan sepanjang tahun, variasi hasil tangkapan tahunan dapat dilihat pada Gambar 1. Hasil tangkapan tahunan berfluktuasi naik turun, yang tertinggi diperoleh pada tahun 1998 (159.59 ton) dan yang terendah pada tahun 1997 (29.23 ton). Dilihat dari hasil tangkapan bulanan rata-rata selama 8 (delapan) tahun, diketahui bahwa hasil tangkapan tinggi (lebih dari 5 ton) terjadi pada bulan-bulan Februari, Maret, Mei, April, Juni, Juli, Agustus, September dan Oktober.

IV. KEGIATAN PENGANAN DAN PENGOLAHAN IKAN CUCUT
Di TPI pelabuhan ratu , kegiatan perekomonian warga berlangsung seirirg dengan mulai berlangsungnya pendaratan kapal-kapal penangkapan ikan yang sudah mulai sejak dini hari (sekitar pk.5.30-11.00 sinag tiap harinya. Ketersediaan sarana dan prasarana pengelolaan ikan di tempat pelelangan ikan (TPI)merupakan modal dasar bagi berlangsungnya kegiatan penanganan hasil tangkapan yang didaratkan disana.

A. PENANGANAN IKAN CUCUT
Secepat kaapal nelayan merapat dermaga ikan , buruh –buruh darat segera menyongsong kapal dan langsung bekerja memindahkan sambil memilah-milah /menyortir jenis-jenis tangkapan ke dalam keranjang-keranjang ikan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Untuk jenis ikan cucut berukuran besar (lebih dari 100 kg/ekor)ditimbang dulu baru dikumpulkan di ssuatu tempat, menanti penanganan selanjutnya oleh pimilik ikan tersebut . tidak setiap jenis ikan cucut akan selalu di olah dilokasi TPI , walaupun pada dasarny dapat dikatakan hampir semua bagian dari ikan cucut ini sudah mungkin diolah untuk berbagai kepentingan yang berguna bagi kelangsung hidup manusia,baik untuk bahan pangan mmaupun yang digunakan untuk bahan baku obat2an.
Komoditas cucut ang didaratkan di TPI pelabuhan ratu tergolong ukuran besar , bberkisar antara 30 kg – 50 kg/ekornya. Setelah ditimbang , kepala iakan cucut langsung dipotong dan dijual ditempat. Dari setiap kepla ikan cucut ,akan dipotomg-potong menjadi ukuran kecil-kecil (lihat gambar )kkemudian dari potongan yang ada di tumpuk-tumpuk menjadi tumpukan kecil2. tiap tumpukan potongan kepala cucut berjumlah antara 8-10 potong.dari tiap kepala ikan pari dapat dijadikan antara 10-15 tumpukan. Penjualan tumpukan kepala ikan cucut dilakukan di tempat. Pembeli/konsumen dari iken cucut ini , adalah pengolag ikan asingskala kecil yang berdomisil di desa sekitar pelabuhan ratu.

B.KEGIATAN PENGOLAHAN IKAN

Komoditas perikanan dikenal sebagai bahan pangan yang tergolong mudah ddan cepat mengalami penurunan mutu (parishable food). Hal ini sebagai salah satu alasan bahwa penangan ikan cucut dan ikan2 lainnya langsung dilaksanakan secepat mungkin oleh para pekerja perikanan dimasing-masing TPI. Secara teknis,kegiatan penangan dan pengolahan produk-produk perikanan harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan mutu produk. Hal ini merupakan syarat utama yang harus diperhatiakan oleh parapeelaku pengilahan ikan.

Usaha pengolahan ikan di pelabuhan ratu , dilaksanakan dengan beberapa cara sbb:
a. cara sangat sederhana, baik teknologi maupun pengetahuan pengolhan
dan peralatan penunjang yang digunakan .
b. cara yang sudah maju, dengan menggunkan tenaga mesin(a.1:mesin
penghancur bumbu, mesin penyortir).

Dari hasil pengamatan ketempat 2 pengolahna ikan cucut dan ikan pari di desa cipatuguran , dapat dikatakan bahwa kegiatan penanganan ikan dan kegiatan pengolahan produk sebagian besar masih dengan cara sederhana / bersifat tradisional. Untuk menghasilkan ikan pari/ ikan cucut asin misalnya, kegiatan tradisional yang umum dilakukan aadala :penggaraman , perebusan dan pengeringan /penjemuran dibawah treik matahari..

Adanya jamina kebersihan dan keamana mutu haasil ikan olahan merupakan hak konsumen. (Menurut Prehati,No.2001)adanya jamina kualitas (quality assurance)produk adalah hak yang harus didapatkan konsumen. Hak konsumen ini tertera dalam UU perlindungan konsumen (UUPK)N0.8 tahun 1999 pasal 4 ayat 1, yang menegaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa , juga hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa. Adnya hak konsumen ini harus dipahamibetul oleh para pelaku usaha ikan olahan , baik yang akan diolah dalaam keadaan segar/beku,maupun diolah menjadi beragam jenis produk olahan yang dikehendaki.

V. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Sumberdaya cucut di Palabuhanratu cukup potensial, hasil identifikasi dan determinasi jenis menunjukkan 28 spesies dari 13 Famili, yang merupakan sebagian besar jenis-jenis cucut yang tertangkap di wilayah perairan Samudera Indonesia (selatan Jawa, Bali dan Lombok) yaitu 50 spesies dari 13 Famili (BPPL, 2000). Hasil temuan ini dapat menambah inventarisasi sumberdaya perikanan dan khasanah ilmu pengetahuan.
2. Perkembangan hasil tangkap masih berfluktuasi dan pada akhir-akhir ini, sampai dengan tahun 2000 masih menunjukkan kecenderungan naik kembali walaupun pada tahun 1997 terjadi penurunan hasil tangkapan yang sangat rendah pada tahun 1997 dan kemudian terjadi kenaikan yang sangat drastis pada tahun 1998. Gejala ini sangat menarik karena merupakan peluang sekaligus tantangan bagi manajemen perikanan cucut.

DAFTAR PUSTAKA
Bonfil, R. 1994. Overview of World Elasmobranch Fisheries. FAO Fisheries Technical Paper 341. FAO, Rome.
Compagno, L.J.V. 1984. FAO Species Catalogue. Vol. 4, Sharks of the World Part I, Part II. FAO Fisheries Synopsis 125. FAO, Rome. 655 pp.
Last, P.R. and J.D. Stevens, 1994. Sharks and Rays of Australia Fisheries Research and Development Corporation.
Sainsbury, K.J., P.J. Kailola and G.G. Leyland. 1985. Continental Shelf Fishes of Northern and North-Western Australia, An Illustrated Guide. CSIRO Division of Fisheries Research, Australia. 11-41.
Tarp, T.G. and P.J. Kailola. 1982. Trawl Fishes of Southern Indonesia and Northwestern Australia. ADAB-DGF-GTZ, Singapore. 406 pp.

Monday, March 24, 2008

Nelayan Tak Cukup Hanya Diberi "Ikan", "Kail" Pun Penting...

Kompas Online, Senin, 24 Maret 2008 | 01:47 WIB

R adhi kusumaputra

Saryono (58), nelayan Kaliadem, Muara Angke, Jakarta Utara, gelisah. Sudah tiga bulan ini dia tidak bisa melaut akibat buruknya cuaca di laut. Untuk bertahan hidup, Saryono mengaku harus irit, sehari makan sekali. ”Habis bagaimana lagi? Tiga bulan ini tak ada pendapatan,” ungkap Saryono, Minggu (23/3).

Kedatangan Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi dan Direktur Utama PT Bank BRI Tbk Sofyan Basyir ke Muara Angke dan tiga lokasi lainnya di Bekasi dan Karawang untuk membagikan ribuan paket bahan pokok disambut gembira para nelayan.

Meski terkesan hanya seperti ”memberi ikan” untuk sesaat, pembagian bahan pokok untuk nelayan yang berbulan-bulan tak melaut ini agak menghibur hati. Hidup serba kekurangan selama berbulan-bulan membuat nelayan frustrasi.

Usman (63), nelayan Marunda Pulo, Cilincing, Jakarta Utara, bercerita, untuk meringankan penderitaan keluarganya, dua dari lima anaknya terpaksa menjadi kuli di pelabuhan sejak akhir tahun lalu. Sebab, perahunya sekarang sudah hancur dan dia tak bisa lagi melaut. Setiap hari Usman hanya makan dengan menu seadanya, nasi, tahu, tempe, atau mi instan.

Ungkapan senada disampaikan Minin (45), warga Pantaimekar, Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

Selama empat bulan terakhir Minin tidak dapat melaut akibat gelombang pasang dan ombak besar di Laut Jawa. Padahal, dalam sehari, dari hasil tangkapan ikan sebagai nelayan, Minin bisa memperoleh pendapatan kotor Rp 80.000 atau pendapatan bersih sekitar Rp 40.000 per hari.

Akibat kondisi ini, Minin dan sejumlah nelayan Muara Gembong lainnya terpaksa beralih menjadi pemulung dengan pendapatan kotor Rp 30.000 sehari atau penghasilan bersih separuhnya. Minin mencari timah, botol air mineral, dan barang rongsokan lainnya hingga sejauh 4 kilometer.

Jatah makan sehari biasanya 2 liter untuk keluarga dengan dua anak sekarang menjadi 1 liter. Menu makan pun terpaksa diubah dan dikurangi dengan lauk ikan asin dan kangkung.

Nasib nelayan di sepanjang pantai utara memang kian terpuruk. Menteri Kelautan dan Perikanan mengakui ini merupakan langkah awal untuk mengurangi beban ekonomi keluarga nelayan.

Belum jawab masalah

”Memberikan ikan” seperti yang dilakukan BRI, diakui Freddy, belum menjawab masalah. ”Namun, paket bahan pokok ini bisa membuat mereka tidur nyenyak selama beberapa hari ke depan,” ujarnya.

Ada 32.000 keluarga nelayan di 36 titik lokasi perkampungan nelayan yang tersebar antara lain di Muara Angke (8 lokasi), Muara Baru (2 lokasi), Tanjung Priok (3 lokasi) di Jakarta Utara; Muara Gembong (3 lokasi) di Bekasi; dan Karawang (15 lokasi) yang menerima paket bahan pokok dari BRI.

Paket bahan pokok itu berupa beras, mi instan, gula, dan minyak goreng yang diserahkan secara simbolis kepada para nelayan.

”Kami mengerahkan 5.000 pekerja, termasuk 30 kepala cabang berikut sekitar 300 karyawan BRI di Jabodetabek untuk mempersiapkan paket bahan pokok tersebut,” kata Corporate Secretary PT Bank BRI Tbk Hartono Sukiman.

”Ini langkah untuk menanggapi harapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menginginkan corporate social responsibility (CSR) badan usaha milik negara (BUMN) memberikan sebagian keuntungan diarahkan untuk pangan masyarakat miskin dan yang terkena musibah atau bencana alam,” kata Sofyan.

Nelayan yang sudah berbulan- bulan tak melaut akibat gelombang besar menjadi perhatian BUMN yang tahun lalu mendapat predikat sebagai bank pelat merah dengan pendapatan terbesar.

BRI merupakan BUMN pertama yang melakukan CSR dengan cara membagikan paket bahan pokok kepada para nelayan. BRI yang mencatat laba tahun lalu Rp 4,3 triliun menyisihkan 4 persen untuk kegiatan CSR.

”Dari 4 persen itu, 2 persen ditujukan untuk kemitraan dan 2 persen lainnya untuk bina lingkungan,” kata Direktur Operasi PT Bank BRI Tbk Sarwono Sudarto.

”Memberi kail”

BRI yang saat ini memiliki 4.950 cabang di Indonesia memang tak hanya ingin ”memberi ikan”, tetapi juga ”memberi kail”. Untuk itu, kata Sofyan, BRI tahun ini mengucurkan Rp 2 triliun-Rp 3 triliun dalam kredit usaha rakyat kepada 800.000 debitor baru.

”Jumlah itu sangat signifikan dan merupakan masyarakat akar rumput, dari menengah bawah. Satu keluarga bisa memperoleh Rp 5 juta-Rp 10 juta yang dapat digunakan untuk memperbaiki perahu yang rusak misalnya,” katanya.

Friday, March 14, 2008

Merangkul Nelayan, Menyelamatkan Terumbu Karang

Kompas Online, Rabu, 12 Maret 2008 | 02:19 WIB

Oleh DWI AS SETIANINGSIH

Kehidupan masyarakat Bajo yang lekat dengan laut menjadikan keberadaan masyarakat setempat itu diakui dunia internasional sebagai bagian tak terpisahkan dari kelestarian laut.

Penyelamatan terumbu karang yang kini terus digenjot pemerintah melalui program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (Coral Reef Rehabilitation and Management Project/ Coremap) melibatkan banyak komunitas nelayan, salah satunya masyarakat Bajo.

Di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra), populasi masyarakat Bajo mencapai 380.000 jiwa. Mereka tersebar di 328 desa di seluruh Sultra, menggantungkan hidup dari laut sejak berpuluh- puluh tahun lalu.

Di Kabupaten Wakatobi, nelayan Bajo kini aktif menjadi motivator dalam hal pelestarian terumbu karang. Penyelamatan terumbu karang di Wakatobi memiliki peran penting karena luas areal terumbu karang Wakatobi yang merupakan bagian dari segitiga karang dunia mencapai 90.000 hektar terdiri dari 750 jenis terumbu karang.

Jumlah itu mencapai 90 persen dari terumbu karang dunia yang saat ini sekitar 850 jenis. Sekitar 942 jenis ikan hidup di laut Wakatobi. Selain tuna dan cakalang, salah satu spesies laut yang hingga kini hanya ditemukan di laut Wakatobi adalah kuda laut moncong babi (pigmy sea horse).

Dengan keanekaragaman hayati yang dimiliki, Wakatobi adalah jantung segitiga karang dunia. Menyelamatkan terumbu karang di Wakatobi sama artinya dengan menyelamatkan mayoritas jenis terumbu karang di dunia.

Terumbu karang sangat besar perannya sebagai tempat bagi banyak spesies ikan untuk bertumbuh kembang. Tidak hanya itu, terumbu karang juga bermanfaat sebagai sumber bahan obat dan medis. Menyelamatkan terumbu karang, berarti menjaga ketersediaan ikan bagi kelangsungan kehidupan.

Aktivitas pengeboman yang banyak dilakukan nelayan, termasuk nelayan Bajo, diakui mengakibatkan terumbu karang rusak, bahkan mati. Padahal, kerusakan dan matinya terumbu karang merupakan lonceng kematian bagi spesies ikan di dalamnya.

Saat ini, kerusakan terumbu karang juga mengancam jantung terumbu karang dunia Wakatobi. Data Dinas Kelautan dan Perikanan Sultra menunjukkan, kerusakan terumbu karang di seluruh Sultra diperkirakan 80 persen.

Kerusakan itu selain diakibatkan bom dan sianida, juga karena pemangsa alami terumbu karang seperti bulu babi atau mahkota berduri. Pemanasan global yang tengah menjadi pembicaraan dunia turut andil menyebabkan kerusakan terumbu karang karena mengakibatkan pemutihan.

Rustam (39), nelayan Bajo yang kini dirangkul Coremap, adalah satu dari sekian nelayan Bajo yang sekitar 15 tahun lalu menggunakan bom dan sianida untuk mencari ikan. Dengan bom dan sianida, kakek satu cucu ini mengakui, hasil laut yang diperoleh jauh lebih besar daripada hanya mengandalkan alat tangkap tradisional, seperti pancing dan jaring.

Dalam satu hari Rustam bisa mendapat uang Rp 100.000. Namun, menurut dia, keuntungan lebih besar justru dinikmati penampung. ”Sementara risiko yang kami hadapi jauh lebih besar,” kata Rustam.

Nelayan seperti Rustam memang tidak paham jika menangkap ikan menggunakan bom dan sianida dapat membahayakan terumbu karang, yang berakibat mengurangi ketersediaan ikan. Bagi mereka, selama hasil tangkapan ikan melimpah, segala cara akan ditempuh.

Kesadaran pentingnya kelestarian terumbu karang yang menjadi ”rumah” bagi ratusan jenis ikan baru timbul sejak Rustam dirangkul Coremap sebagai motivator. Perlahan tetapi pasti, Rustam paham bahwa mengelola terumbu karang dengan baik dan berkesinambungan menjadi hal penting demi keberlanjutan kehidupan masyarakat Bajo yang mengandalkan hidup dari laut.

Sebagai motivator, kini Rustam aktif memotivasi nelayan Bajo untuk menghentikan penggunaan bom dan sianida. Kesadaran akan pentingnya kelestarian terumbu karang ditularkan Rustam kepada nelayan lainnya. Sebagai penopang penghasilan, Rustam dan nelayan lainnya kini belajar membudidayakan ikan menggunakan karamba yang difasilitasi Coremap. Hasil panen karamba per enam bulan sekali itu bisa dijadikan tabungan, di sela-sela aktivitas mencari ikan-ikan karang sebagai pekerjaan utama.

Setidaknya, saat ini setiap hari Rustam bisa mendapat uang dari hasil tangkapan ikan, Rp 50.000. Baru-baru ini hasil yang diperoleh bahkan cukup fantastis, Rp 12 juta dalam 10 hari. Itu diraih dari hasil penjualan ikan karang yang ditangkap seiring dengan kondisi terumbu karang yang semakin baik.

Kondisi itu menyadarkan Rustam bahwa tanpa menggunakan bom dan sianida pun hasil tangkapan tetap berlimpah asalkan terumbu karang tetap terjaga.

Kaum perempuan di komunitas Bajo, yang juga menjadi garda depan ekonomi masyarakat Bajo, tidak luput dari upaya pemberdayaan yang dilakukan Coremap. Pada saat kaum lelaki sibuk mencari ikan di laut, perempuan-perempuan Bajo juga diajari membuka usaha, di antaranya membuka kios.

Nurjanah (31), motivator untuk kaum ibu, mengatakan, upaya itu tidak mudah. ”Ibu-ibu juga banyak yang ke laut mencari teripang,” paparnya.

Kelak, kaum ibu akan diarahkan membentuk koperasi simpan pinjam dan arisan sebagai salah satu upaya mengelola keuangan keluarga. Dengan upaya itu, kehidupan masyarakat Bajo menjadi lebih baik tanpa harus merusak terumbu karang yang menjadi komponen penting keanekaragaman hayati laut Indonesia.

Tidak mudah

Berbeda dengan nelayan di Wakatobi, yang mulai tergerak turut serta dalam penyelamatan terumbu karang, kaum nelayan di Pulau Kapoposang, Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan, mengaku sulit menularkan kesadaran untuk menghentikan penggunaan bom dan sianida. Sekelompok nelayan yang ditemui di Desa Mattiro Ujung, Pangkep, menyatakan hal itu.

Borahima (32), nelayan asal Pulau Satando, yang berjarak empat jam perjalanan laut dari Kapoposang, mengatakan sulit mencegah nelayan di sekitar Taman Laut Kapoposang untuk mengubah tabiat mereka. Pasalnya, mencari ikan dengan bom dan sianida berhubungan erat dengan mata pencarian nelayan.

”Jadi, meskipun tahu mereka menggunakan bom atau sianida, kami tidak bisa menegur mereka. Kami sama-sama nelayan, kami paham bagaimana sulitnya hidup dari laut,” ujar Borahima. Kerusakan terumbu karang di wilayah Pangkep diperkirakan 70-80 persen.

Menurut Borahima, kesadaran akan pentingnya kelestarian terumbu karang memang sudah ada. Apalagi sejak Coremap menyasar Pangkep untuk membangun kesadaran masyarakat, banyak informasi diterima nelayan.

Namun, kembali karena mencari ikan di laut adalah mata pencarian mereka, sulit bagi nelayan menghentikan ketergantungan mereka pada penggunaan bom dan sianida. Bagi sebagian besar masyarakat nelayan, bom dan sianida dianggap mampu meningkatkan pendapatan mereka.

Kesadaran semakin sulit dibangun karena, menurut Zaenal (26), juga dari Pulau Satando, banyak aparat keamanan yang tidak sungguh-sungguh menindak pelaku pengeboman dan pembiusan. Akibatnya, aktivitas pengeboman dan pembiusan sulit dicegah dan dihentikan.

Meski demikian, di tengah pesimisme kalangan nelayan, saat ini kondisi terumbu karang di Kapoposang mulai menunjukkan peningkatan. Salah satu indikasi, sebagaimana diungkapkan Ketua Pengawas Masyarakat Kapoposang Haruna, jumlah ikan di salah satu titik meningkat dari 5 menjadi 10 ekor.

Kerja keras untuk membangun kesadaran nelayan agar terlibat dalam penyelamatan terumbu karang memang masih panjang. Tidak hanya bagi nelayan, tetapi juga bagi semua lapisan masyarakat yang berpotensi menjadi perusak kelestarian terumbu karang.

Monday, March 3, 2008

CATATAN RINGAN; DISKUSI PENGELOLAAN PESISIR SECARA TERPADU (ICM)

Kampus Dramaga IPB, 9 Januari 2008
Oleh :Imam Bachtiar



Hari terakhir dari tahun 1428 H merupakan hari dimana mimpi banyak pemerhati sumberdaya pesisir seperti saya menjadi kenyataan. Wacana Pesisir IPB mengadakan diskusi tentang Pengelolaan Pesisir Terpadu (ICM, Integrated Coastal Management) di kampus Dramaga, yang menghadirkan praktisi atau implementator dari para pengelola Proyek Pesisir (Prof. Dr. Dietriech G. Bengen), Proyek PEMSEA (Ir. Zulhasni, M.Sc.), Proyek MFCDP (Ir. Sri Wahyuningsih, M,Sc.), Proyek MCRMP (Ir. Eko Rudianto, M.Bus.) dan Proyek COREMAP (Prof. Dr. Jamal Jompa), serta Dr. Karen von Juterzenska (dosen tamu IPB). Diskusi tersebut dihadiri oleh semua mahasiswa S2 dan S3 serta sebagian dosen (Dr. Sulistiono, Ir. Ki Agus Azis, M.Sc.) dari Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Walaupun demikian, sebagian dosen dosen-dosen yang peduli dengan pengelolaan pesisir dari progran studi lain juga hadir, misalnya Dr. Arif Satria, Dr. Fredinand Yulianda, Dr. Budi. Sebagai pembahas adalah Prof. Dr. Tridoyo Kusumastanto pada diskusi pertama, dan Dr. Unggul Aktani pada diskusi kedua. Moderator diskusi pertama dan kedua berurutan adalah Dr. Neviati Jamani dan Dr. Luky Adrianto.

Diskusi ini dimaksudkan sebagai wahana belajar dari pengalaman-pengalam an impelementasi proyek dalam mewujudkan suatu ICM di lapang. Bagi mahasiswa pascasarjana, diskusi tersebut merupakan kesempatan yang sangat baik untuk lebih memahami apa dan bagaimana implementasi ICM di Indonesia. Perbedaan pengalaman dari para mahasiswa juga dapat memberikan perspektif dan kesimpulan yang berbeda sehingga dapat memperkaya pencarian solusi-solusi dari permasalahan yang muncul ketika dalam melakukan inisiasi dan implementasi ICM.

Tulisan ringan ini merupakan catatan kecil yang subyektif dari keseluruhan diskusi tersebut. Belajar dari pengalaman keempat proyek tersebut, saya mendapati bahwa kita belum memiliki contoh dari ”best practice” ICM yang monumental sebagaimana di Filipina dan Cina. ”Dengan jumlah pakar pengelolaan pesisir yang banyak dan dana proyek yang besar, keyataan ini agak ironis”, demikian pernyataan Pak Aziz. Ketika proyek telah dapat mencapai tujuannya, sustainabilitas dari pencapaian tersebut juga menjadi masalah. Banyak lembaga yang dibentuk oleh proyek menjadi mati suri ketika proyek berakhir. Penegakan aturan pengelolaan juga menyisakan tanda tanya besar. Jika ketika proyek masih berjalan penegakan aturan sulit dilakukan, apalagi setelah proyek berakhir.

Dalam pemaparannya, Pak Dietriech telah menunjukkan sejumlah keberhasilan Proyek Pesisir yang mencatat sejarah baru dalam pengelolaan pesisir di Indonesia. Tetapi sustainabilitas keberhasilan tersebut masih meragukan. Hal yang sama berlaku untuk semua proyek yang sudah berakhir maupun yang sedang berjalan seperti COREMAP. Hal ini menjadi tantangan yang menarik bagi akademisi yang memiliki komitmen dan optimisme bahwa ICM dapat diterapkan di Indonesia. Kita hanya perlu waktu untuk mendemonstrasikan kepada masyarakat dan pemerintah bahwa ICM merupakan suatu keharusan jika kita memiliki mimpi mempunyai kawasan pesisir yang indah, produktif dan sustainable.



Butuh cinta sejati

Sesuatu yang besar tidak dapat tercapai tanpa kegairahan, demikian bunyi sebuah pepatah dari barat. Pencapaian tujuan sebuah proyek ICM sangat tergantung bagaimana kegairahan para pengelola (implementator). Para pengelola proyek dapat dipisahkan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang memiliki kegairahan atau semangat tinggi dalam mencapai tujuan proyek. Pak Eko menyebutnya sebagai pejuang atau ”champion”. Bagian proyek yang terpenting bagi mereka adalah adalah tercapainya tujuan, yaitu terwujudnya kegiatan ICM di lokasi proyek. Kelompok kedua adalah mereka yang melakukan kegiatan proyek sebagai kewajiban atau tugas, atas honor yang mereka terima. Jika dianalogkan dengan olahraga sepakbola, kelompok pertama adalah pemain yang ingin sekali timnya membuat gol; sedangkan kelompok kedua tidak begitu peduli dengan gol yang dihasilkan, yang penting mereka sudah bermain dan menendang bola. Bagi kelompok yang kedua, proyek merupakan kegiatan pemerintah yang harus dilaksanakan dan dapat dipertanggungjawabk an. Bagian proyek yang terpenting bagi mereka adalah adalah tertib administrasi.

Tujuan sebuah proyek yang menelan biaya puluhan juta dollar tentunya bukanlah tujuan yang kecil, maka untuk mencapai tujuan itu dibutuhkan kegairahan. Kegairahan yang paling besar hanya muncul dari ”cinta sejati”. Pak Jamal menyebut kegairahan dengan komitmen atau ”cinta sejati”. Cinta sejati memang akan membuahkan kegairahan yang sangat besar pada diri manusia. Cinta sejati tersebut hanya dimiliki oleh kelompok pertama dari pengelola proyek. Tanpa cinta sejati, pelaksanaan suatu proyek merupakan sekedar rutinitas pekerjaan menghabiskan anggaran dan mempertangungjawabk annya.

Bagi akademisi yang menjadi pelaksana proyek, membuat sesuatu yang belum pernah dibuat oleh orang lain merupakan misi dan tantangan yang sangat menarik. Para ilmuwan sangat berkeinginan membuat sejarah, bahwa kehadirannya di muka bumi ini memberi makna tertentu bagi kebaikan umat manusia. Misi pribadi para ilmuwan ini merupakan energi sangat penting bagi pencapaian proyek. Kecintaan ilmuwan kepada ilmu dan tantangan untuk mewujudkan ICM di arena terbuka akan menjadi kunci sukses sebuah proyek. Hal ini dapat dilihat dari pemaparan Pak Dietriech tentang sejarah yang telah dibuat oleh timnya di Proyek Pesisir dan Mitra Pesisir. Tetapi bagi masyarakat pesisir, birokrasi atau politisi, sejarah-sejarah kecil tersebut dapat menjadi tidak penting.

Memang patut disayangkan, kegairahan dari cinta sejati para akademisi masih sulit untuk ditularkan kepada para mitra mereka di dalam proyek. Hal inilah yang dapat menyebabkan sustainabilitas hasil-hasil proyek rendah. Setelah proyek berakhir, para akademisi menarik diri dari proyek sehingga daerah binaan proyek kehilangan sentuhan cinta tersebut. Idealnya, cinta sejati para akademisi dapat menular kepada para birokrasi di tingkat kabupaten, sehingga daerah binaan proyek tidak pernah kekurangan cinta dan kegairahan. Pak Tridoyo yang peduli dengan sustainabilitas proyek akan sangat senang jika di dalam proyek ICM lebih banyak dihuni oleh orang-orang yang memiliki cinta sejati. Banyak pejabat daerah kurang berani melakukan sesuatu yang baru seperti ICM tanpa didampingi secara dekat oleh akademisi. Penggunaan akademisi lokal yang menjadi konsultan proyek merupakan pilihan yang baik untuk mengatasi kurangnya kegairahan setelah proyek berakhir. Hanya dengan cara ini hasil-hasil proyek dapat dipelihara sustainabilitasnya.

Bagi Proyek COREMAP yang ditangani Pak Jamal, issue sustainabilitas pasca proyek ini mesti diantisipasi sejak awal. COREMAP harus mampu menumbuhkan cinta sejati pada terumbu karang di dalam hati para birokrat dan akademisi di kabupaten. Dengan cara ini sustainabilitas hasil-hasil proyek akan terpelihara. Bagi para mahasiswa pascasarjana SPL, ini merupakan tantangan kita bersama mencari metode yang efektif untuk menyebarkan rasa cinta dan kegairahan pada banyak orang. Perlu diingat bahwa cinta itu bukan hanya di bibir saja melainkan jauh di dalam lubuk hati.



Tanpa sanksi aturan tidak berbunyi

Pengelolaan yang efektif sangat membutuhkan penegakan aturan. Pelanggar aturan pengelolaan harus menerima sanksi secara adil. Penegakan aturan pengelolaan juga harus dijalankan secara konsisten sehingga aturan pengelolaan memiliki wibawa. Jika aturan pengelolaan tidak dapat dijalankan, maka hal ini tidak bebeda dengan kondisi tanpa pengeloaan. Kesadaran masyarakat untuk menegakkan aturan pengelolaan memang sangat penting, karena di laut kita tidak dapat mengandalkan aparat penegak hukum formal.

Proyek PEMSEA di Bali, mendapatkan keuntungan besar dalam hal ini. Masyarakat Bali memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap masyarakat adatnya (banjar) sehingga melanggar kesepakatan masyarakat merupakan sebuah tabu. Pelanggar kesepakatan banjar biasanya langsung dapat dikenai sanksi. Sanksi untuk sebuah pelanggaran yang berat dapat berupa pengeluaran pelanggar dari adat banjar. Pengucilan dari banjar ini berdampak sangat besar, misalnya kematian si pelanggar tidak lagi diurus oleh banjar sehingga tidak ada upacara agama untuk kematiannya.

Dengan kondisi sosial yang memiliki tingkat kohesi tinggi, maka keberhasilan Proyek PEMSEA di Bali akan sulit ditiru di lokasi lain di Indonesia. Masyarakat Lombok yang memiliki budaya mirip dengan Bali berpotensi dapat mencapai kesuksesan yang kurang lebih sama walaupun kohesi sosial masyarakat Lombok lebih longgar. Proyek Co-Fish pernah menggunakan pendekatan ICM di Lombok Timur, tetapi tidak diundang dalam diskusi ini.

Proyek Pesisir mencoba mendekati penegakan aturan pengelolaan melalui Perdes dan Perda. Ini merupakan pendekatan yang dapat diimitasi secara nasional jika berhasil dengan baik. Sayangnya, Pak Dietriech tidak memberikan deskripsi tentang bagaimana efektivitas pengelolaan di Proyek Pesisir. Proyek COREMAP, MFCDP dan MCRMP juga menggunakan paradigma yang sama. Di dalam diskusi, sayangnya, Proyek PEMSEA tidak mengelaborasi pendekatan ini sehingga belum jelas bagi peserta.

Pada umumnya Perda tidak secara serius diimplentasikan di Indonesia. Dalam Era Reformasi banyak sekali Perda dibuat oleh kabupaten atau propinsi, tetapi implementasinya biasanya sangat rendah. Hanya Perda yang berkaitan dengan retribusi daerah yang dilaksanakan. Perda Miras dan Perda Anti Maksiat, misalnya, telah dibuat di banyak kabupaten tetapi hampir tidak pernah diimplementasikan, atau hanya sekali menjelang bulan Ramadlan. Apalagi jika ada Perda Pengelolaan Pesisir yang lebih jauh jaraknya dari kehidupan ekonomi dan agama masyarakat kota kabupaten. Penggunaan Perdes dalam pengelolaan pesisir juga menyisakan pertanyaan untuk kawasan teluk yang digunakan oleh masyarakat dari dua desa atau lebih.

Pak Jamal juga mengkhawatirkan tentang penegakan aturan pengelolaan di wilayah COREMAP. Kekhawatiran tersebut memang sangat beralasan jika kita mengandalkan penegakan aturan oleh polisi atau aparat pemerintah lainnya. Tetapi jika penegakan aturan itu dilaksanakan oleh masyarakat di desa itu sendiri, maka ada harapan bahwa aturan pengelolaan masih dapat berjalan. Sebaiknya masyarakat tidak diminta menangkap pelanggar aturan pengelolaan dan menyerahkannya kepada polisi. Di banyak daerah kepercayaan masyarakat pada ”cinta sejati” polisi sangat rendah. Polisi juga sangat terikat dengan hukum formal yang mensyaratkan adanya bukti dan saksi yang cukup. Kebanyakan kasus pelanggaran aturan pengelolaan pesisir tidak didukung oleh bukti dan saksi yang cukup. Perda tentang Pengelolaan Perikanan Secara Partisipatif di Lombok Timur menyediakan alternatif dalam penegakan aturan pengelolaan, yang berbeda dari lokasi Proyek Pesisir dan COREMAP.



Sayangnya koordinasi dari bahasa Inggris

Di dalam pengelolaan pesisir terpadu (ICM), koordinasi merupakan komponen yang paling penting. Hanya dengan koordinasi kita dapat mencapai suatu keterpaduan antar sektor. Pada pengelolaan pesisir, sektor-sektor utama yang harus dipadukan programnya meliputi sektor-sektor perikanan, perhubungan, pariwisata, dan pertambangan.

Pak Eko dari Proyek MCRMP menyatakan bahwa ketika tidak ada sektor, maka keterpaduan mudah dicapai. Sebaliknya ketika sektor mulai muncul, maka keterpaduan merupakan barang yang susah sekali didapatkan. Di tingkat desa, kita lebih mudah untuk membangun keterpaduan daripada di tingkat kabupaten. Tampaknya ada kecenderungan semakin tinggi tingkatan birokrasi, keterpaduan menjadi semakin langka. Tidak mengherankan jika Dewan Maritim Nasional yang memiliki misi sangat besar menjadi lembaga yang mati suri (seperti lembaga yang dibentuk proyek), karena membutuhkan koordinasi dari sejumlah kementerian.

Koordinasi juga bukan kata yang asli dari bahasa Indonesia, melainkan kata jadian yang berasal dari bahasa Inggris. Pak Luky secara berkelakar mengatakan hal ini untuk menghibur dan menyadarkan hadirin bahwa kita memang tidak memiliki budaya koordinasi. Tetapi budaya terus berkembang, demikian juga budaya kita dalam koordinasi.

Koordinasi sulit dilaksanakan dengan baik, saya kira, karena menyangkut siapa yang mendapat proyek. Adanya proyek dari suatu koordinasi berarti ada uang ekstra yang masuk ke saku pejabat di sektor yang mengelola proyek, sehingga koordinasi dianggap hanya menguntungkan sektor tertentu dan merugikan sektor yang lain karena hanya jadi penonton. Akan berbeda jika suatu proyek tidak menghasilkan uang ekstra bagi pejabat, sehingga semua peserta koordinasi hanya memikirkan tujuan dari koordinasi tersebut. Tidak ada kecemburuan sosial. Sayangnya, hal ini masih sebagai mimpi di negeri ini.



Roma tidak dibangun dalam satu hari

Yang paling penting dari diskusi tersebut adalah kita menyadari bahwa kita belum memiliki suatu contoh ”best practice” dari ICM di Indonesia. Kita sekarang sangat membutuhkan contoh tersebut, dan harus dapat mewujudkannya sebelum generasi kita digeser oleh generasi berikutnya. Kita harus mampu mewariskan minimal sebuah ”best practice”. Tekad seperti ini tidak dapat muncul setiap hari, sehingga harus segera ditindaklanjuti sebelum menjadi layu atau terkubur dengan kesibukan rutin sekolah pascasarjana.

Sebagai tindak lanjut dari tekad tersebut, PKSPL bersama Wacana Pesisir perlu mengkomunikasikan hal ini kepada Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Kita juga perlu mengambil langkah pertama ke arah sana, yaitu mengidentifikasi sejumlah kabupaten yang sedang atau pernah menjadi lokasi proyek di pesisir yang potensial dikembangkan untuk menjadi contoh ”best practice” ICM. PKSPL dan Wacana Pesisir sebaiknya jangan fanatik terbatas pada proyek yang dekat dengan PKSPL IPB seperti yang didiskusikan hari ini, tetapi sebaiknya juga menengok proyek lain yang menginisiasi pengelolaan sumberdaya di kawasan pesisir, misalnya Co-Fish Project dari Ditjen Perikanan Tangkap.

Kekurangan-kekurang an dari implementasi proyek yang lalu sebaiknya dapat dikaji secara ilmiah dan dipaparkan secara jujur agar menjadi pelajaran bagi kita semua. Memang agak sulit atau bahkan agak tabu untuk menceritakan semua kekurangan kita, sedangkan yang paling tahu kekurangan kita adalah kita sendiri. Tetapi hanya dengan belajar dari kekurangan-kekurang an tersebut kita dapat mengimplementasikan proyek ICM lebih baik.

Pak Dietriech telah menyebarkan banyak optimisme dan kegairahannya kepada kita. Di dalam kondisi Indonesia yang sering dianggap terpuruk ini, kita masih dapat melakukan inisiasi dan implementasi ICM, asalkan kita masih memiliki cinta sejati yang menggebu pada sumberdaya pesisir. Roma tidak dibangun dalam satu hari. Kita juga tidak berharap dapat membangun ICM dalam satu dasawarsa. Jejak-jejak kecil yang telah ditorehkan dalam perjalanan akan menjadi bagian dari sejarah perkembangan ICM di Indonesia. Kegagalan yang telah kita alami bukanlah sesuatu yang tidak berarti, tetapi akan menjadi modal pengalaman yang sangat penting untuk meraih keberhasilan di masa depan.

Mari kita ekspresikan cinta sejati kita untuk sumberdaya pesisir bukan hanya terbatas dalam kata-kata. ”Semua bisa bilang sayang, apalah artinya cinta tanpa kenyataan”, demikian kata sebuah lagu. Mari kita bangun bersama ICM di Indonesia.



Bogor, 12 Januari 2008
disadur dari milist coremap2@yahoogroups.com