Friday, January 18, 2008

lanjutan.... Upaya Pengelolaan Sumberdaya Kelautan yang Optimal



a. Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu amanat dari pertemuan Bumi (Earth Summit) yang diselenggarakan tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. Dalam forum global tersebut, pemahaman tentang perlunya pembangunan berkelanjutan mulai disuarakan dengan memberikan definisi sebagai pembangunan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dengan tanpa mengabaikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.
Pengelolaan sumberdaya laut perlu diarahkan untuk mencapai tujuan pendayagunaan potensi untuk meningkatkan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi nasional dan kesejahteraan pelaku pembangunan kelautan khususnya, sertauntuk tetap menjaga kelestarian sumberdaya kelautan khususnya sumberdaya pulih dan kelestarian lingkungan.

b. Keterpaduan
Sifat keterpaduan dalam pembangunan kelautan menghendaki koordinasi yang mantap, mulai tahapan perencanaan sampai kepada pelaksanaan dan pemantauan serta pengendaliannya. Untuk itu , dibutuhkan visi, misi, strategi, kebijakan dan perencanaan program yang mantap dan dinamis. Melalui koordinasi dan sinkronisasi dengan berbagai pihak baik lintas sektor maupun subsektor, tentu dengan memperhatikan sasaran, tahapan dan keserasian antara rencanan pembangunan kelautan nasional dengan regional, diharapkan diperolah keserasian dan keterpaduan perencanaan dari bawah (bottom up) yang bersifat mendasar dengan perencanaan dari atas ( top down) yang bersifat policy, sebagai suatu kombinasi dan sinkronisasi yang lebih mantap.

Keterpaduan dalam pengelolaan sumberdaya kelautan meliputi (1) keterpaduan sektoral yang mensyaratkan adanya koordinasi antar sektor dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan, (2) keterpaduan pemerintahan melalui integrasi antara penyelenggara pemerintahan antarlevel dalam sebuah konteks pengelolaan kelautan tertentu, (3) keterpaduanspasial yang memberikan arah pada integrasi ruang dalam sebuah pengelolaan kawasan laut, (4) keterpaduan ilmu dan manajemen yang menitikberatkan pada integrasi antarilmu dan pengetahuan yang terkait dengan pengelolaan kelautan, dan (5) keterpaduan internasional yang mensyaratkan adanya integrasi pengelolaan pesisir dan laut yangmelibatkan dua atau lebih negara, seperti dalam konteks Transboundary species, high migratory species maupun efek polusi antar ekosistem.

c. Desentralisasi Pengelolaan

Dari 400-an lebih kabupaten dan kota di Indonesia, maka 240-an lebih memiliki wilayah laut. Memperhatikan hal ini maka dalam bagian kesungguhan mengelola kekayaan laut Diharapkan stabilitas politik di negara kita dapat ditingkatkan, penegakan hukum dapat segera dilaksanakan sehingga segala upaya dalam pembangunan SDM, pembangunan ekonomi dapat memperoleh hasil yang optimal. Budaya negeri kita paternalistik, sehingga perilaku pemimpin nasional dan daerah, perilaku pejabat pusat dan daerah akan menjadi refleksi masyarakat luas.
Usaha pemberian otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan dan pembangunan merupakan isu pemerintahan yang lebih santer di masa-masa yang akan datang. Proses perencanaan dan penentuan kebijaksanaan pembangunan yang sekarang masih nampak sentralistis di pemerintahan pusat kiranya perlu didorong untuk mendesentralisasikan ke daerahdaerah.


Selain itu, peranan daerah juga sangat besar dalam proses pemberdayaan masyarakat untuk ikut serta secara aktif dalam proses pembangunan, termasuk di dalamnya pembangunan wilayah pesisir dan lautan. Namun peran tersebut masih perlu ditingkatkan di masa mendatang mengingat peranan sumberdaya pesisir dan lautan dalam pembangunan di masa mendatang makin penting. Peranan daerah juga makin penting, terutama apabila dikaitkan dengan pembinaan kawasan, baik yang berkaitan dengan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya alam maupun masyarakat di daerah, terutama yang berada di kawasan pesisir, yang kehidupannya sangat tergantung pada lingkungan di sekitarnya (lingkungan pesisir dan lautan).
Daerah juga harus dapat meningkatkan peranannya melalui pembinaan dunia usaha di daerah untuk mengembangkan usahanya di bidang kelautan. Artinya proses pemberdayaan bukan hanya diperuntukkan bagi masyarakat pesisir atau masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor kelautan (nelayan), tetapi juga para usahawan (misalnya perikanan) mengantisipasi potensi pasar dalam negeri maupun luar negeri yang cenderung meningkat. Di sektor lain, misalnya budidaya laut juga merupakan potensi untuk mendorong pembangunan baik secara nasional maupun untuk kepentingan masyarakat pesisir.

Secara empiris, trend menuju otonomisasi pengelolaan sumberdaya kelautan ini pun di beberapa negara sudah teruji dengan baik. Contoh bagus dalam hal ini adalah Jepang. Dengan panjang pantai kurang lebih 34.590 km dan 6.200 pulau besar kecil, Jepang menerapkan pendekatan otonomi melalui mekanisme “coastal fishery right”-nya yang terkenal itu. Dalam konteks ini, pemerintah pusat hanya memberikan “basic guidelines” dan kemudian kebijakan lapangan diserahkan kepada provinsi atau kota melalui FCA (Fishebry Cooperative Association). Dengan demikian, terdapat mozaik pengelolaan yang bersifat site-spesific menurut kondisi lokasi di wilayah pengelolaan masing-masing.

d. Pengelolaan Berbasis Masyarakat
Pendekatan pembangunan termasuk dalam konteks sumberdaya kelautan, seringkali meniadakan keberadaan organisasi lokal (local organization). Meningkatnya perhatian terhadap berbagai variabel local menyebabkan pendekatan pembangunan dan pengelolaan beralih dari sentralisasi ke desentralisasi yang salah satu turunannya adalah konsep otonomi pengelolaan sumberdaya kelautan.

Dalam konteks ini pula, kemudian konsep CBM (community based management) dan CM (Co-Management) muncul sebagai “policy badies” bagi semangat ”kebijakan dari bawah” (bottom up policy) yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam. Hal ini diarahkan sesuai dengan tujuan pengelolaan sumberdaya kelautan yang dilakukan untuk mencapai kesejahteraan bersama sehingga orientasinya adalah pada kebutuhan dan kepentingan masyarakat sehingga tidak hanya menjadi objek, melainkan subjek pengelolaan.

e. Isu Global
Memasuki abad ke-21, Indonesia dihadapkan pada tantangan internasional sehubungan dengan mulai diterapkannya pasar bebas, mulai dari AFTA (pasar bebas ASEAN) hingga APEC (pasar bebas Asia Pasifik). Seiring dengan itu, terjadi berbagai perkembangan lingkungan strategis internasional, antara lain (1) proses globalisasi, (2) regionalisasi blok perdagangan, (3) isu politik perdagangan yang menciptakan non-tariff barier, dan (4) isu tarifikasi dan tariff escalation bagi produk agroindustri, dan (5) perkembangan kelembagaan perdagangan internasional.

Terdapat dua aspek globalisasi yang terkait dengan sektor kelautan dan perikanan, yakni aspek ekologi dan ekonomi. Secara ekologi, terdapat berbagai kaidah internasional dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (fisheries management), seperti adanya Code of Conduct for Responsible Fisheries yang dikeluarkan FAO (1995). Aturan ini menuntut adanya praktek pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan, dimana setiap negara dituntut untuk memenuhi kaidah-kaidah tersebut, selanjutnya dijabarkan di tingkat regional melalui organisasi/komisi-komisi regional (Regional Fisheries Management Organizations-RFMOs) seperti IOTC (Indian Ocean Tuna Comission) yang mengatur penangkapan tuna di perairan India, CCSBT, dll. Selain itu, Committee on Fisheries FAO telah menyepakati tentang International Plan of Action on Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing yang mengatur mengenai (1) praktek ilegal seperti pencurian ikan, (2) praktek perikanan yang tidak dilaporkan atau laporannya salah, atau laporannya di bawah standar, dan (3) praktek perikanan yang tidak diatur sehingga mengancam kelestarian stok ikan global.

Sementara itu dalam aspek ekonomi, liberalisasi perdagangan merupakan ciri utama globalisasi. Konsekuensinya adalah ketatnya persaingan produk-produk perikanan pada masa datang. Oleh karenanya produk-produk perikanan akan sangat ditentukan oleh berbagai kriteria, seperti (1) produk tersedia secara teratur dan berkesinambungan, (2) produk harus memiliki kualitas yang baik dan seragam, dan (3) produk dapat disediakan secara masal. Selain itu, produk-produk perikanan harus dapat pula mengantisipasi dan mensiasati segenap isu perdagangan internasional, termasuk: isu kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 14000), isu property right, isu responsible fisheries, precauteonary approach, isu hak asasi manusia (HAM), dan isu ketenagakerjaan.

Wednesday, January 16, 2008

lanjutan.... Isu dan Masalah Pengelolaan Kelautan yang Optimal



a. Isu Kerusakan Ekosistem

Kerusakan ekosistem yang sangat berpengaruh pada tingkat produktivitas sumber daya kelautan meliputi: ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, padang lamun dan estuaria, serta ekosistem budidaya laut. Kondisi terumbu karang saat ini mencapai kerusakan rata-rata 40% dengan rincian : rusak berat 40,14%, rusak sedang 29,22%, dan baik 6,41-24,23%. Di Indonesia Barat kondisi memuaskan tinggal 3,93%, di Indonesia Tengah tinggal 7,09%, sedangkan di Indonesia Timur kondisi memuaskan tinggal 9,80%.

Degradasi ekosistem mangrove juga saat ini terjadi, dimana luasan mangrove dari 4 juta hektar menjadi sekitar 2,5 juta hektar pada periode 1982-1993. Kerusakan ini terjadi akibat konversi kawasan mangrove menjadi lahan tambak, pemukiman, industri, dan lain sebagainya.
Permasalahan kerusakan ekosistem juga terjadi akibat terjadi pemanfaatan sumberdaya ikan yang berlebih (overfishing) di beberapa wilayah perairan Indonesia. Masalah tersebut berdampak pada ketidakberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan.

Kerusakan ekosistem juga terjadi akibat pencemaran ekosistem laut yang bersumber dari dampak kegiatan-kegiatan manusia di darat dan di laut dan berakibat pada penurunan kualitas dan daya dukung ekosistem laut. Kegiatan manusia di laut yang dapat mencemari ekosistem laut diantaranya kegiatan perkapalan dengan arus transportasi lautnya, kegiatan pertambangan, penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, wisata pantai, dan lain sebagainya. Sedangkan kegiatan manusia di darat yang mencemari ekosistem laut diantaranya adalah kegiatan pertanian, pemukiman, industri, kegiatan pertambangan, dan lain-lain.

b. Isu Sosial Ekonomi
Laut sebagai media kontak sosial dan budaya memberikan gambaran kepada kita bahwa dengan terbukanya akses perhubungan di laut akan terjadi kemudahan interaksi secara sosial antar daerah bahkan antar negara. Kemudian interaksi tersebut dapat berimplikasi positif dan dapat juga sebaliknya yang menjadikan akses tindakan criminal seperti illegal logging, perompakan, pencurian sumberdaya, perdagangan illegal dan perdagangan manusia.

Selain itu, masalah ekonomi yang terjadi adalah kemiskinan nelayan yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya di laut. Kemiskinan nelayan ini menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya laut dan potensi-potensi pendukungnya belum dimanfaatkan secara optimal dan bijaksana.

c. Isu Hukum dan Kelembagaan
Isu hukum yang terjadi baik di level nasional maupun daerah antar sektor berkaitan dengan penanganan pengendalian sumberdaya seperti pengawasan, MCS, pengendalian pencemaran lingkungan laut. Beberapa instansi sudah memiliki peraturan mengenai penanganan ini, sedangkan beberapa instansi yang lain belum ada dan masih mengacu pada peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian LH yang masih bersifat umum dan tidak mengatur secara teknis mengenai aktivitas kegiatan yang merupakan instansi teknis. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas, perkapalan dan kepelabuhan serta pariwisata pantai dan laut memerlukan peraturan perundangan detail dan teknis dari masing-masing instansi tersebut.

Isu kelembagaan berkaitan dengan permasalahan koordinasi baik secara horizontal maupun vertical. Koordinasi secara horizontal dimana implementasi koordinasi yang terjadi pada instansi horizontal seperti antar instansi teknis dalam satu level pemerintahan yang masing-masing masih terdapat perbedaan persepsi dan pelaksanaan dalam pengelolaan kelautan. Koordinasi secara vertical dimana implementasi koordinasi yang terjadi pada instansi vertical yaitu pusat, propinsi dan kabupaten/kota yang dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dapat diimplementasikan sebagaimana diamanatkan UU No.32/2004.

d. Isu Pemanfaatan Ruang
Laut dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, misalnya area perikanan, pertambangan, jalur transportasi, jalur kabel komunikasi dan pipa bawah air, wisata bahari dan area konservasi. Artinya laut sebagai ruang dimungkinkan adanya terdapat beberapa jenis pola pemanfaatan dalam satu ruang yang sama. Konflik pemanfaatan ruang dapat saja terjadi apabila penetapan pola-pola pemanfaatan pada ruang yang sama atau berdekatan saling memberikan dampak yang negatif.

Ketidakselarasannya peraturan atau produk hokum dalam pola-pola pemanfaatan laut antar sektor dapat meningkatkan kerentanan konflik kepentingan. Selain itu, kepentingan pemerintah daerah saat ini yang diberikan kewenangan untuk mengelola wilayah lautnya masing-masing banyak disalah tafsirkan, sehingga laut dianggap milik sendiri dan tidak boleh dimanfaatkan oleh orang lain atau pemanfaatan sumberdaya laut dilakukan hanya sekedar untuk menambah devisa tanpa melihat berbagai aspek keberlanjutannya.


lanjutan.... Isu dan Masalah Pengelolaan Kelautan yang Optimal

a. Isu Kerusakan Ekosistem
Kerusakan ekosistem yang sangat berpengaruh pada tingkat produktivitas sumber daya kelautan meliputi: ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, padang lamun dan estuaria, serta ekosistem budidaya laut. Kondisi terumbu karang saat ini mencapai kerusakan rata-rata 40% dengan rincian : rusak berat 40,14%, rusak sedang 29,22%, dan baik 6,41-24,23%. Di Indonesia Barat kondisi memuaskan tinggal 3,93%, di Indonesia Tengah tinggal 7,09%, sedangkan di Indonesia Timur kondisi memuaskan tinggal 9,80%.

Degradasi ekosistem mangrove juga saat ini terjadi, dimana luasan mangrove dari 4 juta hektar menjadi sekitar 2,5 juta hektar pada periode 1982-1993. Kerusakan ini terjadi akibat konversi kawasan mangrove menjadi lahan tambak, pemukiman, industri, dan lain sebagainya.
Permasalahan kerusakan ekosistem juga terjadi akibat terjadi pemanfaatan sumberdaya ikan yang berlebih (overfishing) di beberapa wilayah perairan Indonesia. Masalah tersebut berdampak pada ketidakberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan.

Kerusakan ekosistem juga terjadi akibat pencemaran ekosistem laut yang bersumber dari dampak kegiatan-kegiatan manusia di darat dan di laut dan berakibat pada penurunan kualitas dan daya dukung ekosistem laut. Kegiatan manusia di laut yang dapat mencemari ekosistem laut diantaranya kegiatan perkapalan dengan arus transportasi lautnya, kegiatan pertambangan, penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, wisata pantai, dan lain sebagainya. Sedangkan kegiatan manusia di darat yang mencemari ekosistem laut diantaranya adalah kegiatan pertanian, pemukiman, industri, kegiatan pertambangan, dan lain-lain.

b. Isu Sosial Ekonomi
Laut sebagai media kontak sosial dan budaya memberikan gambaran kepada kita bahwa dengan terbukanya akses perhubungan di laut akan terjadi kemudahan interaksi secara sosial antar daerah bahkan antar negara. Kemudian interaksi tersebut dapat berimplikasi positif dan dapat juga sebaliknya yang menjadikan akses tindakan criminal seperti illegal logging, perompakan, pencurian sumberdaya, perdagangan illegal dan perdagangan manusia.

Selain itu, masalah ekonomi yang terjadi adalah kemiskinan nelayan yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya di laut. Kemiskinan nelayan ini menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya laut dan potensi-potensi pendukungnya belum dimanfaatkan secara optimal dan bijaksana.

c. Isu Hukum dan Kelembagaan
Isu hukum yang terjadi baik di level nasional maupun daerah antar sektor berkaitan dengan penanganan pengendalian sumberdaya seperti pengawasan, MCS, pengendalian pencemaran lingkungan laut. Beberapa instansi sudah memiliki peraturan mengenai penanganan ini, sedangkan beberapa instansi yang lain belum ada dan masih mengacu pada peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian LH yang masih bersifat umum dan tidak mengatur secara teknis mengenai aktivitas kegiatan yang merupakan instansi teknis. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas, perkapalan dan kepelabuhan serta pariwisata pantai dan laut memerlukan peraturan perundangan detail dan teknis dari masing-masing instansi tersebut.

Isu kelembagaan berkaitan dengan permasalahan koordinasi baik secara horizontal maupun vertical. Koordinasi secara horizontal dimana implementasi koordinasi yang terjadi pada instansi horizontal seperti antar instansi teknis dalam satu level pemerintahan yang masing-masing masih terdapat perbedaan persepsi dan pelaksanaan dalam pengelolaan kelautan. Koordinasi secara vertical dimana implementasi koordinasi yang terjadi pada instansi vertical yaitu pusat, propinsi dan kabupaten/kota yang dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dapat diimplementasikan sebagaimana diamanatkan UU No.32/2004.

d. Isu Pemanfaatan Ruang
Laut dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, misalnya area perikanan, pertambangan, jalur transportasi, jalur kabel komunikasi dan pipa bawah air, wisata bahari dan area konservasi. Artinya laut sebagai ruang dimungkinkan adanya terdapat beberapa jenis pola pemanfaatan dalam satu ruang yang sama. Konflik pemanfaatan ruang dapat saja terjadi apabila penetapan pola-pola pemanfaatan pada ruang yang sama atau berdekatan saling memberikan dampak yang negatif.
Ketidakselarasannya peraturan atau produk hokum dalam pola-pola pemanfaatan laut antar sektor dapat meningkatkan kerentanan konflik kepentingan. Selain itu, kepentingan pemerintah daerah saat ini yang diberikan kewenangan untuk mengelola wilayah lautnya masing-masing banyak disalah tafsirkan, sehingga laut dianggap milik sendiri dan tidak boleh dimanfaatkan oleh orang lain atau pemanfaatan sumberdaya laut dilakukan hanya sekedar untuk menambah devisa tanpa melihat berbagai aspek keberlanjutannya.

lanjutan... Potensi Sumberdaya Kelautan

Potensi dan peluang pengembangan kelautan meliputi (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan dan perikanan, (5) pengembangan pulau-pulau kecil, (6) pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal Tenggelam, (7) deep sea water, (8) industri garam rakyat, (9) pengelolaan pasir laut, (10) industri penunjang, (11) pengembangan kawasan industri perikanan terpadu, dan (12) keanekaragaman hayati laut.

a. Perikanan
Laut Indonesia memiliki luas lebih kurang 5,8 juta km2 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, dengan potensi sumberdaya ikan diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan perairan ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia), yang terbagi dalam sembilan wilayah perairan utama Indonesia.
Di samping itu terdapat potensi pengembangan untuk (a) budidaya laut terdiri dari budidaya ikan (antara lain kakap, kerapu, dan gobia), budidaya moluska (kerang-kerangan, mutiara, dan teripang), dan budidaya rumput laut, dan (e) bioteknologi kelautan untuk pengembangan industri bioteknologi kelautan seperti industri bahan baku untuk makanan, industri bahan pakan alami, benih ikan dan udang, industri bahan pangan.

b. Pertambangan dan energi
Potensi sumberdaya mineral kelautan tersebar di seluruh perairan Indonesia. Sumberdaya mineral tersebut diantaranya adalah minyak dan gas bumi, timah, emas dan perak, pasir kuarsa, monazite dan zircon, pasir besi, agregat bahan konstruksi, posporit, nodul dan kerak mangan, kromit, gas biogenic kelautan, dan mineral hydrothermal.

c. Perhubungan Laut
Transportasi laut berperan penting dalam dunia perdagangan internasional maupun domestik. Transportasi laut juga membuka akses dan menghubungkan wilayah pulau, baik daerah sudah yang maju maupun yang masih terisolasi. Sebagai negara kepulauan (archipelagic state), Indonesia memang amat membutuhkan transportasi laut, namun, Indonesia ternyata belum memiliki armada kapal yang memadai dari segi jumlah maupun kapasitasnya. Data tahun 2001 menunjukkan, kapasitas share armada nasional terhadap angkutan luar negeri yang mencapai 345 juta ton hanya mencapai 5,6 persen. Adapun share armada nasional terhadap angkutan dalam negeri yang mencapai 170 juta ton hanya mencapai 56,4 persen. Kondisi semacam ini tentu sangat mengkhawatirkan terutama dalam menghadapi era perdagangan bebas. Selain diperlukan suatu kebijakan yang kondusif untuk industri pelayaran, maka Peningkatan kualitas SDM yang menangani transportasi sangatlah diperlukan.

Karena negara Indonesia adalah negara kepulauan maka keperluan sarana transportasi laut dan transportasi udara diperlukan. Mengingat jumlah pulau kita yang 17 ribu buah lebih maka sangatlah diperlukan industri maritim dan dirgantara yang bisa membantu memproduksi sarana yang membantu kelancaran transportassi antar pulau tersebut. Potensi pengembangan industri maritim Indonesia sangat besar, mengingat secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau. Untuk menjangkau dan meningkatkan assesbilitas pulau dapat dihubungkan melalui peran dari sarana transportasi udara (pesawat kecil) dan sarana transportasi laut (kapal, perahu, dan sebagainya).

d. Pariwisata Bahari
Indonesia memiliki potensi pariwisata bahari yang memiliki daya tarik bagi wisatawan. Selain itu juga potensi tersebut didukung oleh kekayaan alam yang indah dan keanekaragaman flora dan fauna. Misalnya, kawasan terumbu karang di seluruh Indonesia yang luasnya mencapai 7.500 km2 dan umumnya terdapat di wilayah taman laut. Selain itu juga didukung oleh 263 jenis ikan hias di sekitar terumbu karang, biota langka dan dilindungi (ikan banggai cardinal fish, penyu, dugong, dll), serta migratory species.

Potensi kekayaan maritim yang dapat dikembangkan menjadi komoditi pariwisata di laut Indonesia antara lain: wisata bisnis (business tourism), wisata pantai (seaside tourism), wisata budaya (culture tourism), wisata pesiar (cruise tourism), wisata alam (eco tourism) dan wisata olah raga (sport tourism).

Optimalisasi Sumberdaya Kelautan Indonesia

Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 menyatakan, bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dariperairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia. Karena diawali oleh Deklarasi Djuanda 13 Desember1957 itulah, maka negara Indonesia memiliki wilayah laut sangat luas 5,8 juta km2 yang merupakan tiga per empat dari keseluruhan wilayah Indonesia. Di dalam wilayah laut tersebut terdapat sekitar 17.500 lebih dan dikelilingi garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Fakta fisik inilah yang membuat Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia.

Selain peran geopolitik, wilayah laut kita juga memiliki peran geokonomi yang sangat penting dan strategis bagi kejayaan dan kemakmuran bangsa Indonesia. Sebagai negara kepulauan dan maritimterbesar di dunia, Indonesia diberkahi Tuhan YME dengan kekayaan laut yang sangat besar dan beraneka-ragam, baik berupa sumberdaya alam terbarukan (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumputlaut, dan produk-produk bioteknologi); sumberdaya alam yang takterbarukan (seperti minyak dan gas bumi, emas, perak, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya); energi kelautan sepertipasang-surut, gelombang, angin, dan OTEC (Ocean Thermal EnergyConversion); maupun jasa-jasa lingkungan kelautan seperti pariwisata bahari dan transportasi laut.

Sayangnya, kita bangsa Indonesia di masa lalu melupakan jati diri sebagai bangsa maritim terbesar di dunia. Sumberdaya kelautan hanya dipandang "sebelah mata". Kalaupun ada kegiatan pemanfaatan sumberdaya kelautan, dilakukan secara kurang profesional dan ekstraktif, kurang mengindahkan aspek kelestarian sumberdaya. Sebaliknya, laut dipersepsikan sebagai tempat buangan (keranjang sampah) berbagai macam jenis limbah baik yang berasal dari kegiatan manusia di darat maupun di laut. Dukungan infrastruktur, IPTEK, SDM, sumberdaya keuangan, hukum dan kelembagaan terhadap bidang kelautan di masa lalu sangat minim. Pengelolaan dan pendayagunaan kekayaan laut berjalan tidak optimal yang dicerminkan antara lain dengan adanya kesenjangan yang tajam di sisi kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat serta terjadinya kerusakan lingkungan kawasan pesisir dan laut hingga mengancam kelestariannya.

Padahal berbagai kegiatan ekonomi berbasis sumber daya kelautan yang sangat luas dan beragam bila dikelola secara berkelanjutan dapat memberikan pendapatan yang sangat besar. Pertanyaan yang kemudian muncul mengapa potensi ekonomi kelautan yang demikian besar pencapaiannya masih terlalu rendah. Salah satu penyebab yang terpenting adalah rendahnya perhatian dan komitmen pemerintah yang diberikan selama ini. Di samping itu terdapat persoalan internal dan eksternal yang secara struktural masih menjadi kendala. Permasalahan internal yang dimaksud antara lain tingkat pemanfaatan sumber daya, teknologi dan manajemen yang rendah disertai tingkat kemiskinan serta keterbelakangan masyarakat pesisir dan lautan yang masih meluas. Adapun permasalahan yang bersifat eksternal, umumnya karena kebijaksanaan ekonomi makro (political economy), antara lain kebijakan moneter maupun fiskal yang belum mendukung pembangunan berbasis kelautan dengan masih tingginya suku bunga, maupun belum adanya suatu program kredit lunak yang diperuntukkan bagi sektor kelautan.
Akibat itu semua, potret pembangunan berbasis kelautan Indonesia pada masa lalu dicirikan secara dominan oleh kegiatan yang bersifat ekstraktif, seperti penangkapan ikan, penambangan bahan tambang dan mineral, penebangan dan konversi hutan mangrove, aktivitas pelabuhan dan perhubungan laut yang tidak mengindahkan aspek kelestarian lingkungan.

Oleh karena itu, sangatlah penting pengembangan potensi kelautan yang optimal bagi peningkatan kesejahteraan bangsa Indonesia. Pengembangan kelautan tersebut diawali dengan adanya isu-isu permasalahan yang ada dan ditindaklanjuti dengan upaya pengelolaan kelautan dengan menggunakan prinsip-prinsip pengelolaan yang berkelanjutan, terpadu, desentralisasi pengelolaan, pemberdayaan masyarakat dan kerjasama internasional.

bersambung......

Tuesday, January 8, 2008

Sebuah Tinjauan: Beberapa Kendala Pemberdayaan Masyarakat Perikanan



Faktor-faktor yang menjadi kendala dalam upaya pemberdayaan oleh lembaga-lembaga formal yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perikanan
  1. Rendahnya sumber daya manusia (SDM); masyarakat nelayan yang menjadi sasaran pemberdayaan umumnya merupakan nelayan tradisional yang tergolong masyarakat berpendidikan dan berpenghasilan rendah. Dengan kondisi tersebut, dibenak mereka hanya ada bagaimana saya bisa melangsungkan hidup. Ini berarti yang mereka pikirkan hanya perut. Secara psikologis, mereka cepat puas dengan yang apa diperolehnya, sehingga mereka tidak tertarik dengan segala macam aturan, himbauan dan sebagainya termasuk program-program pemberdayaan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga formal. Kondisi ekonomi yang terkekang secara sosial dan kondisi alam menyebabkan psikologis masyarakat nelayan ini mudah puas dan kurang berpandangan untuk kepentingan masa depan. Sumberdaya manusia yang rendah dinilai dari aspek pendidikan yang umumnya diabaikan oleh masyarakat nelayan tradisional. Bukan hanya karena factor psikologis saja, tetapi karena aksesibilitas menuju sarana pendidikan juga umumnya masih kurang dan memerlukan biaya tambahan. Program pemberdayaan bagi masyarakat yang mengerti dan memahami aspek-aspek sosial ekonomi dan budaya masing-masing obyeklah yang mampu mengatasi kendala sumberdaya manusia ini.
  2. Program hibah; Adanya anggapan masyarakat nelayan tradisional umumnya bahwa bantuan pemerintah dengan jenis apapun yang disalurkan tersebut, tidak perlu dikembalikan. Akibatnya, penggunaan bantuan itu tidak optimal. Kurangnya sosialisasi dan pendekatan terhadap masyarakat sasaran merupakan salah satu pemicu timbulnya anggapan tersebut selain budaya tradisional yang menganggap bahwa menjadi kewajiban pemerintah menyalurkan dana gratis dan juga karena tingkat pendidikan yang rendah. Padahal, sebenarnya tidak semua bantuan pemerintah bisa digratiskan, seperti dana bantuan PEMP. Dana tersebut harus digulirkan ke kelompok lain, baik yang telah melunasi bantuan yang diterima sebelumnya atau kelompok lain yang menerimanya.
  3. Kelembagaan; Dalam penyaluran dana pemberdayaan, program yang akan dan sudah berjalan, menganggap bahwa semua masyarakat nelayan sasaran program memiliki nilai sosial yang sama. Sehingga dalam penyaluran dana melalui lembaga berdasarkan panduan yang dibuat dianggap sama atau disamaratakan. Hal ini kurang memahami perlunya lembaga yang harus dibentuk tanpa dilakukan identifikasi masing-masing lokasi sasaran berdasarkan kondisi sosial masyarakatnya. Yang terjadi adalah lemahnya pembentukan lembaga yang menyalurkan dana pemberdayaan tersebut. Selain lembaga saat itu belum berbadan hukum, juga tidak memiliki modal yang cukup. Bahkan, pembentukan lembaganya terkesan terburu-buru sehingga menyulitkan untuk menarik pengembalian dana pemberdayaan tersebut.
  4. Lemahnya pendampingan; Untuk melakukan sosialisasi, fasilitasi dan pendampingan, umumnya dibentuk dan diberdayakan Tenaga Pendamping Program (TPP) masing-masing lokasi sasaran. TPP tersebut terdiri dari sarjana-sarjana baru yang mana sebelumnya dilatih secara nasional. Selain itu juga disediakan Konsultan Manajemen (KM) untuk membantu mengembangkan dan meningkatkan kinerja kelembagaan dan pemasaran. Tetapi kenyataannya, proses pendampingan oleh TPP dan supervise oleh KM ini pada tataran teknis pelaksanaan masih mengedepankan sistem up down dan kurang mampu berintegrasi dengan masyarakat sasaran. Program pemberdayaan yang mengerti nilai sosial masyarakat sasaran adalah pada saat pendamping dan superviser dianggap sebagai keluarga sendiri dan tidak adanya jarak dengan masyarakat. Di beberapa lokasi pemberdayaan, pendamping dan superviser yang dianggap berhasil melaksanakan program pemberdayaan adalah pada saat mereka masuk ke rumah masyarakat sasaran melalui pintu belakang. Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan masyarakat terhadap program pemberdayaan dinilai dari seberapa tangguhnya pendamping dan superviser sebagai penggerak dan motivator bagi masyarakat sasaran.
  5. Peran tengkulak dan rentenir; Tidak dapat dipungkiri, bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan tradisional sebagai sasaran program umumnya masih terikat secara moral dalam tradisi patron-klien. Patron sebagai pemilik modal telah memberikan keleluasaan dan kebebasan bagi kliennya dalam pengelolaan sumberdaya ikan, walaupun sekaligus sebagai pengekang yang sulit untuk dibebaskan. Sudah menjadi aturan yang tidak tertulis, bahwasanya hubungan antara patron dan klien ini sebagai suatu ikatan yang saling membutuhkan. Segala kebutuhan klien dalam usaha perikanan yang dilakukannya dipenuhi oleh patron sebagai pemilik modal atau sebagai penguasa usaha local. Sistem ini selain menjerat nelayan tradisional, juga memberikan kekuatan pandangan bagi mereka bahwa menerima apa yang dibutuhkan dari patron lebih mudah dan lebih leluasa dibandingkan dengan menerima bantuan bergulir dari program pemberdayaan. Oleh karena itu, program pemberdayaan yang mampu bersaing dalam strategi pemenuhan kebutuhan masyarakat sasaranlah yang dapat berjalan dan berhasil.
  6. Pinjaman kurang mencukupi kebutuhan; Modal bantuan program pemberdayaan yang diberikan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga formal umumnya terbatas dan dibatasi. Akibatnya, kebutuhan yang harus dipenuhi dalam meningkatkan usaha atau mengembangkan usaha kurang mencukupi. Dampaknya, modal yang diberikan tidak memberikan efek yang berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat sasaran. Selain itu, dana yang sudah sangat terbatas tersebut masih di “kuliti” ketika hendak disalurkan kepada sasarannya, sehingga yang tersisa tinggal daging dan atau tinggal tulangnya saja.

Gelombang Tinggi tak Pengaruhi Target Produksi Perikanan

Republika Online, Selasa, 08 Januari 2008 21:30:00
Laporan: Lilis Sri Handayani

Jakarta-RoL -- Gelombang tinggi yang kerap melanda sejumlah perairan Indonesia, tak mempengaruhi target produksi hasil perikanan. Pasalnya, peningkatan hasil produksi perikanan lebih dibebankan pada perikanan budidaya dibandingkan perikanan tangkap.

‘’Perikanan tangkap hanya kita targetkan peningkatan sebesar 4 persen pada 2008,’’ kata Dirjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Made L Nurjana, dalam jumpa pers Refleksi Pelaksanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan Tahun 2007 dan Rencana Pembangunan Keluatan dan Perikanan Tahun 2008 di Jakarta, Senin (8/1).

Sementara peningkatan produksi perikanan budidaya, sambung Made, mencapai 40 persen. Dia mengatakan, selama ini, perikanan budidaya tak banyak dipengaruhi oleh kondisi gelombang tinggi di laut.

Made menjelaskan, pada 2007, produksi perikanan mencapai 8,02 juta ton, atau meningkat sebesar 8,05 persen dari produksi 2006 yang hanya mencapai 7,44 juta ton. Dari jumlah tersebut, imbuh dia, produksi perikanan budidaya mencapai 3,08 juta ton dan perikanan tangkap 4,94 juta ton.

Sementara itu, Menteri DKP, Freddy Numberi, mengakui, perikanan budidaya akan terhalang masalah permodalan bagi usaha skala kecil. Hal tersebut dikarenakan pihak perbankan sulit untuk mengucurkan bantuan dana bagi usaha skala kecil.

‘’Karena itulah, kami tengah bekerja sama dengan Menkokesra untuk mengupayakan bantuan permodalan bagi usaha kecil,’’ tandas Made.

Freddy menambahkan, komoditas utama dalam perikanan budidaya itu terdiri dari udang, tuna, dan rumput laut. Dia mengungkapkan, ketiga komoditas tersebut memiliki nilai ekspor yang tinggi.

Untuk produksi udang, kata dia, nilai ekspor udang budidaya mencapai 87.917 ton dengan nilai 545,88 juta dolar Amerika. Jumlah tersebut, setara dengan angka 70 persen dari volume dan nilai total ekspor udang Indonesia yang mencapai 125.596 ton dengan nilai 779,8 juta dolar Amerika.

‘’Peluang pasar udang cukup terbuka dan peningkatan produksi udang budidaya dilakukan melalui ekstensifikasi, revitalisasi, serta diversifikasi spesies udang budidaya,’’ ujar Freddy.

Lebih lanjut Freddy mengatakan, selain peningkatan produksi perikanan yang berdampak pada peningkatan pemberdayaan masyarakat, pihaknya juga akan memfokuskan kegiatan selama 2008 pada penanggulangan illegal fishing. pur

Nelayan dan Pembudidaya Ikan; Apa bedanya?



Masyarakat nelayan dan masyarakat pembudidaya ikan memiliki perbedaan secara ekonomi dan sosial budaya. Realita ini jelas tergambar dalam kehidupan antara kedua kelompok masyarakat tersebut di Indonesia. Berdasarkan UU No 31 Tahun 2004, masyarakat nelayan diartikan sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan, dimana penangkapan ikan dilakukan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya. Sedangkan masyarakat pembudidaya ikan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan pernbudidayaan ikan, yaitu kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat,mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya

Berdasarkan aspek ekonomi dan sosial budaya, perbedaan kedua kelompok masyarakat diidentifikasi sebagai berikut :
  1. Mata pencaharian; masyarakat nelayan banyak menggantungkan hidupnya sehari-hari pada sumber daya laut. Pekerjaan menangkap ikan merupakan pekerjaan yang penuh resiko dan umumnya karena itu hanya dapat dikerjakan oleh lelaki, hal ini mengandung arti keluarga yang lain tidak dapat mebantu secara penuh. Selain itu, jam kerja yang harus mengikuti siklus bulan yaitu dalam satu bulan yang dapat dimanfaatkan untuk melaut hanya 20 hari sisanya mereka relatif menganggur. Berbeda dengan masyarakat pembudidaya ikan, dimana keberhasilan usaha yang dilakukan berdasarkan pengetahuan dan teknologi berdasarkan kualitas dan daya dukung perairannya serta kemampuan dalam ketepatan penanganan. Usaha budidaya juga dapat melibatkan seluruh keluarga serta dapat berlangsung secara terus menerus bergantung pada siklus usaha budidaya yang dilakukan. Contohnya budidaya rumput laut yang dapat dipanen selama 45 hari dan dapat dilanjutkan kembali pemanenan pada 45 hari selanjutnya.
  2. Lokasi usaha atau kegiatan; kegiatan usaha masyarakat nelayan yang pada umumnya mendiami sepanjang pesisir dan daerah kepulauan, hanya akan melakukan usaha penangkapan ikan di wilayah laut, baik di wilayah pesisir pantai dan laut lepas. Sedangkan masyarakat pembudidaya ikan bisa melakukan kegiatan usahanya di darat dan dilaut, mulai wilayah pegunungan, perbukitan, dataran rendah, pantai, perairan dangkal dan laut lepas. Usaha budidaya di laut contohnya budidaya rumput laut dan tiram mutiara, usaha budidaya di perairan payau atau wilayah pesisir adalah tambak, dan usaha budidaya di darat contohnya budidaya karamba ikan di sungai dan danau.
  3. Teknologi; teknologi usaha penangkapan ikan yang dilakukan masyarakat nelayan dibedakan berdasarkan tujuan ikan tangkapan dan dapat dimodifikasi berdasarkan kemampuan dan kebutuhan nelayan pemiliknya. Alat tangkap yang digunakan untuk ikan perenang cepat dan berukuran besar harus menggunakan longline, sedangkan untuk ikan yang bergerombol menggunakan purse seine, ikan yang berukuran kecil atau jenis crustacean menggunakan gillnet, dan lain-lain. Proses transformasi teknologi pada masyarakat nelayan tradisional umumnya lambat, karena berfikir masalah efektifitas penggunaan bahan bakar dan modal usaha yang bertambah, jangkauan penangkapan yang jauh sehingga jumlah hari juga bertambah. Berbeda dengan masyarakat nelayan modern.
  4. Sedangkan pada usaha budidaya ikan, teknologi yang digunakan untuk keberhasilan usahanya harus memperhatikan lokasi budidaya, desain konstruksi, benih, pakan, pengelolaan produksi, serta hama dan penyakit. Penentuan lokasi budidaya yang dikembangkan untuk mencapai produksi jenis komoditas budidaya secara optimal memerlukan kecermatan serta kecocokan metoda yang digunakan. Dalam hal ini, pemilihan lokasi untuk budidaya ikan harus mempertimbangkan aspek teknis dan non teknisnya. Desain konstruksi sarana usaha budidaya yang dilakukan seperti untuk tambak atau karamba atau kolam harus mempertimbangkan metoda yang digunakan. Persyaratan pembenihan yang digunakan untuk budidaya perlu diperhatikan penyediaan benihnya, penanganan dan transportasinya agar benih yang betul-betul sehat. Begitu juga dengan penanganan pakan yang perlu diperhatikan sampai ikan siap dipanen. Pengelolaan produksi yang dilakukan meliputi pengaturan pola tanam yang perlu disesuaikan dengan ketersediaan seperti (benih, pakan) dan pengaruh dari musim serta ketersediaan pasar, carapembenihan, cara pemberian pakan, dan penanganan hasil. Permasalahan dalam usaha budidaya seperti hama dan penyakit harus diketahui cara-cara pencegahan dan penanganannya.
  5. Strata sosial; struktur sosial nelayan sering kali dicirikan dengan adanya pola patron-klien. Kuatnya ikatan patron klien tersebut merupakan konsekwensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh resiko dan ketidakpastian. Berdasarkan kelas sosialnya, nelayan terbagi atas juragan bakul, juragan kapal dan nelayan buruh. Kelas pemilik sebagai juragan relatif kesejahteraannya lebih baik karena menguasai factor produksi seperti kapal, mesin alat tangkap maupun factor pendukungnya seperti es , garam dan lainnya. Kelas lainnya yang merupakan mayoritas adalah pekerja atau penerima upah dari pemilik factor produksi dan kalaupun mereka mengusahakan sendiri factor/ alat produksinya masih sangat konvensional, sehingga produktivitasnya tidak berkembang, kelompok inilah yang terus berhadapan dan digeluti oleh kemiskinan. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi yang dalam kegiatannya, nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa atau tenaganya dengan hak-hak yang sangat terbatas. Jumlah nelayan buruh di desa nelayan sangatlah besar. Sedangkan pada masyarakat pembudidaya ikan umumnya kelas sosial terbagi atas pemilik dan buruh saja. Untuk usaha budidaya skala kecil pembudidaya ikan pemilik juga sekaligus merangkap sebagai buruh.
  6. Mobilitas; mobilitas teritorial masyarakat nelayan di Indonesia dikenal sangat tinggi, Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya perpindahan masyarakat antar daerah. Banyak kita jumpai nelayan asal Indramayu dan Cirebon berada di Muara Angke, atau nelayan Bugis dan Bajo di banyak tempat di wilayah pesisir Indonesia. Berbeda sekali sekali dengan masyarakat pembudidaya ikan yang cenderung lebih menetap seperti layaknya masyarakat pertanian.
  7. Potensi konflik; masyarakat nelayan pada umumnya memiliki persoalan yang lebih komplek yang memiliki ciri-ciri khusus seperti pengunaan wilayah pesisir dan lautan sebagai milik bersama (common property) dan bersifat terbuka (open access). Namun demikian dengan diberikannya wewenang daerah berdasarkan UU No 22 Tahun 1999 dan dirubah pada UU No.32 Tahun 2004, persepsi masyarakat nelayan mengenai wilayah laut yang manganggap adanya pembatasan kepemilikan menjadi pemicu timbulnya konflik antar nelayan yang berbeda daerah yang melakukan kegiatan penangkapan ikan didaerah lain. Selain itu, upaya penangkapan ikan yang dilakukan sebagian masyarakat nelayan yang dianggap merusak habitat dan ekosistem sumberdaya seperti penggunaan trawl atau pembiusan ikan karang juga menyebabkan timbulnya konflik antar nelayan, karena saat ini sudah banyak sosialisasi kepada nelayan tentang pentingnya menjaga ekosistem dan penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan. Luasnya perairan laut menyebabkan tingkat heterogenitas nelayan yang sering berinteraksi merupakan bagian dari terjadinya konflik antar nelayan. Berbeda sekali dengan masyarakat pembudidaya ikan yang umumnya melakukan kegiatan yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya, baik pada budidaya laut, budidaya tambak, dan budidaya di danau atau sungai dan lainnya. Sehingga intensitas interaksi yang sedikit meminimalisir terjadinya potensi konflik. Adapun terjadinya konflik seperti yang terjadi pada budidaya perikanan, adalah karena pengaruh jangka panjang akibat pencemaran di wilayah hulu. Kejadian pembudidaya ikan di Sidoarjo yang rusak areal tambaknya akibat pencemaran langsung dari buangan lumpur Lapindo adalah pengecualian.
  8. Budaya dan ritual; masyarakat nelayan dikenal sebagai masyarakat yang memiliki cara berfikir, pandangan dan sikap yang diwariskan secara turun menurun, masih berpegang pada adat dan kebiasaan yang sudah ada sebagaimana masyarakat tradisional lainnya. Sistem kepercayaan masyarakat nelayan terhadap “penguasa” laut yang diwujudkan dalam upacara-upacara persembahan sesaji seperti upacara petik laut, atau buang saji atau labuh saji atau nyadran atau nadran atau pesta laut merupakan peristiwa budaya yang biasa dilakukan masyarakat nelayan. Kegiatan ini harus diakui sebagai sejarah tradisi masyarakat pesisir yang berasal dari anyaman nilai-nilai yang sangat dinamis,dan merupakan gabungan berbagai elemen masyarakat pesisir yang menjadi ciri dari kebudayaan pantai, dikemas dalam bentuk ritus sosisal. Umumnya, kegiatan budaya ini merupakan bentuk upacara rasa sukur kepada Tuhan YME, atas limpahan tangkapan ikan serta permohonan keselamatan di laut. Pada masyarakat perikanan budaya, kegiatan ritual seperti ini tidak ditemui.