Friday, May 25, 2007

ANALISA TERHADAP POKOK-POKOK PIKIRAN RUU PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR

Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Kekayaan sumberdaya tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan sumberdayanya dan berbagai instansi untuk meregulasi pemanfaatannya. Kekayaan sumberdaya pesisir, meliputi pulau-pulau besar dan kecil sekitar 17.500 pulau, yang dikelilingi ekosistem pesisir tropis, seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, berikut sumberdaya hayati dan non-hayati yang terkandung di dalamnya.

Semua kerusakan biofisik lingkungan tersebut adalah gejala yang terlihat dengan kasat mata dari hasil interaksi antara manusia dengan sumberdaya pesisir yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian dan daya dukung lingkungannya. Sehingga persoalan yang mendasar adalah mekanisme pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak effektif untuk memberi kesempatan kepada sumberdaya hayati pesisir yang dimanfaatkan pulih kembali atau pemanfaatan sumberdaya non-hayati disubstitusi dengan sumberdaya alam lain dan mengeliminir faktor-faktor yang menyebabkan kerusakannya.

Untuk mewujudkan sistem pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu tersebut, maka dipandang perlu landasan hukum tersendiri berupa Undang-Undang (UU). Karena sampai saat ini 20 Undang-Undang (UU) dan berbagai konvensi internasional terkait belum ada yang mengatur keterpaduan pemanfaatan sumberdaya darat dan laut, dan belum memberikan kepastian hukum bagi para pengguna sumberdaya yang melestarikannya. Selama ini, kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir hanya dilakukan berdasarkan pendekatan sektoral yang didukung UU tertentu dan dunia usaha terkait. Untuk mengintegrasikan berbagai perencanaan sektoral, mengatasi tumpang tindih pengelolaan, konflik pemanfaatan dan kewenangan, serta memberikan kepastian hukum, maka perlu disusun suatu Rancangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RUU PWP-PPK).

Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam RUU PWP-PPK meliputi :
a. Wilayah pesisir rentan tersebut mengalami kerusakan akibat dari aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumber dayanya atau bencana alam.
b. Kegiatan eksploitasi yang bersifat parsial/sektoral di wilayah pesisir atau dampak kegiatan lain di hulu
c. Peraturan perundangan yang ada lebih berorientasi pada eksploitasi sumber daya pesisir tanpa memperhatikan kelestarian sumber daya.
d. Kurangnya kesadaran pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat
e. Kurang dihargainya hak masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan sumber daya pesisir seperti sasi, seke, panglima laot.
f. Terbatasnya ruang untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pesisir.

Poin-poin yang terkandung dalam pokok-pokok pikiran RUU tersebut merupakan manifestasi dari kondisi yang terjadi di wilayah pesisir secara umum di Indonesia. Aspek-aspek yang dapat dilihat dalam pengelolaan suatu wilayah seperti ekonomi, ekologi, dan sosial budaya. Dilihat dari aspek ekonomi, wilayah pesisir memiliki potensi berlimpah yang dapat memberikan keuntungan ekonomi instansi sektor dan dunia usaha terkait. Bahwa sumberdaya pesisir adalah open acces property sebagaimana pandangan secara umum masyarakat kita merupakan pertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 dan UU Pokok Perairan No.6/1996 yang menyatakan sebagai milik pemerintah. Namun, karena pandangan ekonomi yang absurd maka di beberapa wilayah baik pesisir maupun pulau-pulau kecil terjadi pemilikan pribadi dan pemilikan kaum atau adat.

Dilihat dari sudut pandang ekologi, wilayah pesisir di Indonesia merupakan mega diversity, kekayaan sumberdaya yang berlimpah, mulai dari ikan, terumbu karang, mangrove, padang lamun, sumberdaya mineral, muatan kapal tenggelam, OTEC, dan lain-lain. Pengelolaan masing-masing sumberdaya sebelum dibentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan masih parsial, dimana masing-masing sektor memiliki kewenangan pengembangan yang berbeda-beda. Instansi pemanfaat sumberdaya berbeda dengan instansi pengelola, dan berbeda juga dengan instansi yang memiliki kewenangan pengawasan (monitoring, controling and survailance). Oleh karena itu, betapa pentingnya pengelolaan secara terpadu, sehingga pemanfaatan sumberdaya khususnya sumberdaya hayati laut yang berkelanjutan.

Secara sosial budaya, masyarakat pesisir sebagai komponen lingkungan alam beserta komponen alam lainnya, hidup bersama dan mengelola lingkungan disekitarnya. Bukan tanpa kita sadari atau kita mungkin menyadarinya bahwa pengelolaan lingkungan pesisir bukan hanya dilakukan oleh masyarakat pesisir saja, melainkan masyarakat yang mengetahui nilai ekonomi wilayah pesisir beserta sumberdaya yang terkandung di dalamnya. Tentu saja, karena sebagai manusia adalah makhluk yang memiliki akal dan pikiran, peranannya dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya pesisir sangat besar. Menggunakan ilmu dan teknologi yang di kembangkannya, manusia dapat memperoleh berbagai kemudahan dan dapat mengatur alam sesuai dengan yang diinginkannya. Yang menjadi jawaban pada RUU ini untuk masalah sosial budaya ini adalah melakukan akomodasi, dukungan dan fasilitasi masayarakat yang terkait melalui kebijakan yang jelas, tapi tidak bersifat sektoral, sentralistik dan birokratik, akan tetapi yang mampu menjamin hak-hak akses masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya secara lestari.

Pertanyaannya adalah, apakah dengan adanya RUU PWP-PPK ini pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil dapat sesuai tujuan dan mencapai sasaran yang diinginkan?

Melihat poin pokok-pokok pikiran RUU di atas, serta jawaban yang terkandung dalam RUU tentu saja keyakinan itu ada. Artinya, masih ada ketidakyakinan karena isu-isu dan permasalahan yang ada di wilayah pesisir dari sampai saat ini masih dalam rangka penjajagan, pemantapan dan kordinasi. Kapan aksinya? Pada saat adanya komitmen antar sektor, antar instansi, antar pengguna/pengusaha, antar pengambil kebijakan (Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota), antar masyarakat dan antara semua pelaku tersebut.

Beberapa prinsip pengelolaan yang perlu dilakukan sesuai komitmen antar dan antara stakeholders adalah :
a. Prinsip kelestarian sumberdayaPengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pada dasarnya memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat pesisir. Oleh karena itu kelestarian sumberdaya harus dipertahankan sebagai landasan utama untuk mencapai kesejahteraan tersebut. Misalnya, upaya menghindari sumberdaya yang ever-exploitation dan dilakukan MCS melalui upaya pembentukan kawasan konservasi laut.
b. Prinsip kelestarian budayaDengan adanya UU 32 tahun 2004 mengenai otonomi daerah sebaiknya pengelolaan memperhatikan kebijakan kewenangan pengelolaan oleh daerah dan memperhatikan eksistensi kearifan lokal dan hukum adat.
c. Prinsip ekonomiMemberikan kemandirian dan keadilan ekonomi melalui pemerataan alokasi dan distribusi sumberdaya secara efisien dan berkelanjutan tanpa memprioritaskan atau memarjinalkan masyarakat tertentu.
d. Prinsip partisipatifPelibatan semua pihak yang terkait, yaitu pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat. Sehingga semua pihak mempunyai rasa memilki dan bertenggung jawab bersama-sama dalam menjaga kelestarian sumberdaya.
e. Prinsip akuntabilitas dan transparansiSemua kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan daerah dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir harus dapat diketahui dan dipertanggungjawabkan kepada publik sehingga masyarakat dapat memberikan penilaian dan evaluasi.
f. Prinsip keterpaduanTerpadu antara pemangku kepentingan, meliputi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat, proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dapat berjalan dengan baik.

Hari Itu Sabtu, Kata Amihku…

Aku terlihat lucu, berwajah lebar, putih, tampak rata. Seperti ooh cina tua katanya. Setelah dihangatkan sebentar, aku langsung diazdanin apihku. Allahu Akbar Allahu Akbar…. Sunggung indah bagi amih dan apihku kata ayah yang juga ikut disana bersama ibu.
RS itu RS Bersalin Putera Bahagia. bulan lalu apih dan amih melewati rumah sakit itu waktu mampir ke rumah amih di pinggiran kota. Wah sudah berubah katanya. Waktu itu, rumah sakitnya masih dalam perbaikan. Sekarang sudah rapi, bagus dan menarik. Katanya kalo adeku nanti lahir mau disana lagi. Tapi amih bilang liat ntar aja.
Sabtu itu tepatnya 26 Pebruari 2005 aku tidak langsung pulang ke rumah ayah di kampung. tapi nginep dulu tiga hari sampai amihku kondisinya membaik, dan aku sudah diperbolehkan untuk pulang. Aku ditengokin oleh semua orang yang menjadi keluarga besarku. Ada bapak, mamah, tante lilis, tante dedeh, ema, dll dehhhhh….
Aku boleh pulang lho pada hari ketiga. Aku tersenyum kata apih. Aku tidak manja kata amih. Aku tidak nagis loh waktu itu, emang ga bisa nangis katanya. Wah ga rame donk pih?tanyaku….